Oleh: Astari Indahingtyas (@astarindah)
Wanita itu berbisik dan menarikku ke belakang.
”Kinanti, kamu jangan teriak dan jangan takut karena aku mau membantu kamu.” ucapnya sambil menuntun aku ke suatu tempat.
Dalam hati aku mengutuk, Huh! Kenapa wanita ini harus muncul dari belakangku dan menarikku ke arahnya? Kenapa tidak bertatap muka dulu saja denganku?
Bukan main takutnya aku. Sebelum aku ditariknya, aku memang sedang duduk termenung, sendirian, di suatu kedai kopi. Sekarang detak jantungku pun semakin kencang. Perlahan kuperhatikan baik-baik wajah wanita itu dan entah kenapa suara hatiku seolah memberi petunjuk. Sepertinya aku kenal wanita itu. Tapi di mana? Kapan aku mengenalnya?
Sebenarnya apa yang ada di kepalaku? Apa yang kupikirkan hingga patuh saja kepada dia? Kenapa sampai sekarang aku tidak memberontak? Memang, saat dia bilang dia ingin membantu, aku tergerak dan sungguh mempercayai kata-katanya. Sepertinya wanita itu pernah kukenal di suatu tempat. Mungkin aku menuruti keinginannya karena aku memang sedang mengalami banyak masalah. Sungguh kalut dan gundah meraja. Masalah pekerjaan dan tentu saja masalah hati.
Beberapa hari belakangan ini, pekerjaan sangat menumpuk. Belum lagi ada rekan kerja yang sepertinya ingin menjatuhkanku. Jangan bilang aku berburuk sangka, tapi aku secara jujur berdalih bahwa itu adalah pemikiran preventif. Aku seperti mendapat firasat yang tak baik tentang orang itu tapi atas nama profesionalitas, aku harus tetap bekerja sama dengannya. Yang membuatku sakit adalah caranya menjelekanku ke atasan. Apakah itu adalah satu-satunya cara untuk menaikkan jabatan? Sungguh bukan gayaku.
Sudah lelah fisik dan pikiran di kantor, Rizki bukannya membantu membuatku merasa lebih baik. Oh ya, Rizki adalah pacarku dan kami sudah 4 tahun bersama. Di saat beban kantor begitu berat rasanya kupikul sendiri, dia malah tidak peduli. Dia bahkan memintaku untuk sedikit lebih dewasa dalam menanggapi hal tersebut. Bukannya aku tidak bisa menyelesaikannya sendiri, aku hanya butuh teman untuk berbagi duka. Padahal selama ini Rizki selalu menjadi kekasih, abang dan sahabat terbaik dalam suka dan duka. Dia pun seakan menjauh. Sebenarnya apa yang terjadi?
Tibalah aku di depan mobilku yang aku parkir cukup jauh dari kedai. Maklum hari itu sedang ramai pengunjung dan aku tidak dapat tempat yang dekat.
”Kinanti, masuklah dan nyalakan mesinnya.”
”Ok. Tapi tolong kasih tau saya siapa kamu sebenarnya?”
”Tolong...jangan paksa saya. Kamu hanya perlu mengikuti arahanku. Kamu pun akan selamat.”
Oh Tuhan, kenapa kalimat terakhirnya tadi seperti ancaman? Apakah aku dalam bahaya?
”Kinanti, percaya sama aku. Kamu tidak akan disakiti. Aku datang untuk membantu.”
Aku pun bergegas masuk ke dalam mobil dan wanita itu pun melakukan hal yang sama. Mesin kunyalakan dan AC juga segera kupasang. Aku merasa dingin dan panas bersamaan. Mungkin perpaduan antara takut dan penasaran telah membuatku seperti ini.
”Kinanti, mari berangkat sekarang ke Bogor. Aku yakin kamu akan mendapat jawaban atas suatu pertanyaan.”
Kenapa wanita itu selalu membuatku penasaran. Kenapa dia tidak langsung memberitahuku saja apa jawaban yang dia maksud itu.
”Ok.” jawabku singkat.
Selama perjalanan dari Kemang ke Bogor, aku dan dia banyak berbincang. Suasana pun menjadi cair dan aku merasa dekat dengannya. Wanita itu juga telah membantuku merasa lebih lega terkait dengan masalah yang kuhadapi di kantor. Mendengar pendapatnya, cara bicaranya dan melihat gestur tubuhnya, aku semakin yakin kalau aku pernah mengenal wanita itu. Sungguh ingatanku sepertinya bermasalah.
”Ok, Kinanti. Kita berenti di sini.”
“Di sini? Kamu yakin?”
“Iya. Setelah kita parkir, kita akan menuju ke restoran itu.” ucapnya lembut sambil menunjuk ke suatu rumah model jaman Belanda.
Tunggu...sepertinya aku pernah ke tempat itu. Sebaiknya aku bertanya.
”Maaf, apa nama restorannya ya? Aku merasa pernah ke tempat itu.” Berkat obrolan selama perjalanan aku pun mengubah percakapan aku dengan wanita itu menjadi lebih akrab, ya, dengan menggunakan aku dan bukan lagi saya.
“Sudahlah, Kinanti. Kamu nanti juga akan tau sendiri, kan?”
Sungguh kesal karena wanita itu selalu memiliki jawaban untuk menghindari pertanyaanku.
“Ok, kalo gitu. Tapi setidaknya, boleh kan aku tau nama kamu?”
“Nanti juga tau kok.”
Aku pun mengikutinya dari belakang. Apa dan kenapa sih wanita itu harus membawa aku sejauh ini? Kenapa harus Bogor. Untung saja Bogor tidak mangkir dari sebutannya sebagai Kota Hujan. Hujan tepat berhenti saat aku memarkir mobil. Udara sejuk pasca guyuran hujan selalu membawa kedamaian buat aku. Ternyata semilir angin dingin di kota lain bisa membantuku melupakan beberapa masalah. Rasanya aku berterima kasih untuk kejadian ini.
“Kinanti, kita duduk di sini saja ya.” ucap wanita itu sambil menunjuk satu meja.
“Ok. Aku ikut saja.”
Kami pun memesan makanan dan ternyata ini restoran yang menawarkan menu-menu masakan Belanda. Karena aku tidak bergairah makan besar, aku memesan pannekoek dan secangkir susu cokelat panas.
”Kinanti, aku tinggal ke toilet sebentar ya. Aku harap kamu sudah merasa lebih tenang setelah berbagi keluh kesah ke aku.”
”Iya. Terima kasih.”
Lagi-lagi aku pun duduk sendiri di suatu tempat dan kali ini adalah sebuah restoran di Bogor. Pikiranku kembali melayang ke Rizki. Dimana dia sekarang? Kenapa dia tidak menanyakan aku ada dimana? Aku kangen kamu banget, Ki.
Mendadak badanku kaku. Pandanganku gelap karena ada tangan yang menutupi kedua mataku. Jantungku kembali berdegup kencang. Oh Tuhan, kenapa harus dua kali berturut-turut kurasakan ketakutan ini? Tangan itu pun dilepas dan aku kembali bisa melihat tapi aku tak sanggup menoleh. Astaga!! Orang yang ada di belakangku ini tiba-tiba memelukku. Rasanya ini pingsan tapi tunggu...orang ini berbisik kepadaku.
”Kinanti, aku sayang sama kamu. Cinta bahkan. Apa kamu juga sayang dan cinta aku?”
Suara itu, suaranya berat tapi entah mengapa seperti suara Rizki. Aku yakin itu suara Rizki. Belum sempat kujawab, dia meneruskan.
“Maaf ya kalo aku bikin kamu bingung tapi aku mau tau, apakah kamu ingat tempat ini?”
Sungguh ini menjadi semakin aneh. Tapi aku semakin berusaha untuk mengingat tempat ini. Pelukannya dilepas dan dia mengecup lembut pipi kananku. Kaget! Dan yang lebih mengagetkan bahwa dia memang Rizki saat dia duduk di hadapanku.
“Kinanti, ini tempat kita pertama kencan. Dan aku ingin kamu ke tempat ini lagi.”
”Tapi aku kesini bukan karena kamu tapi karena...”
”Karena seorang wanita memaksamu ke sini?”
”Iya. Kok kamu tau?”
”Wanita itu Kak Nada, kakak sepupu aku. Kamu pernah ketemu dia 2 tahun yang lalu. Tapi mungkin kamu ga inget karena dia tinggal di Tokyo dan hanya kembali sesekali waktu.”
Aku pun tercekat dan tak mampu berkata sehingga aku hanya mendengar penjelasan Rizki.
Aku pun tercekat dan tak mampu berkata sehingga aku hanya mendengar penjelasan Rizki.
”Aku tau kamu lagi banyak masalah, maaf kalo aku bikin kamu tambah kepikiran. Aku selalu ingin ada buat kamu, Kinan. Kebetulan Kak Nada di Jakarta dan aku minta tolong sama dia untuk ’menculik’ kamu. Aku tau kamu di Kedai karena itu memang tempat favoritmu saat kamu sedang banyak masalah. Lagian mama kamu juga kasih info sama aku. Jadi Kinan, aku ingin jadi pendamping hidupmu. Apakah kamu mau?”
Saat pertanyaan itu terlontar, aku merasakan air mataku menetes pelan ke pipiku dan hujan pun kembali turun. Aku pun mengangguk pelan. Rizki pun memelukku dan kemudian menyematkan cincin di jari manisku. Kak Nada pun kembali ke meja dan memelukku untuk mengucapkan selamat.
Tuhan memang punya cara yang aneh untuk membahagiakanku. Dan memang situasi apapun bisa dengan mudah dibalikNya. Memang benar pepatah orang, setiap ujian dalam hidup pasti memiliki pelajaran tersendiri dan semua akan indah pada waktunya. Ternyata selalu ada pelangi setelah hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!