Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 22 Agustus 2010

Saksi Bisu

Oleh: aditryan

Aku berada di jalanan besar. Ini Ibu Kota. Jalanan besar ini hanya Ibu Kota yang punya. Anehnya, aku berada di tengah jalan. Tak ada satupun kendaraan yang melewati jalan ini. Satu-satunya kendaraan di jalan ini hanya mobil minibus di seberang jalan yang sekarang sedang terbakar dilalap api yang berkobar.

Yang berkobar bukan hanya kendaraan itu, tapi juga para anak Adam yang sedang saling lempar teriakan, cacian, serapah, bahkan batu, botol dan tongkat-tongkat kayu. Mereka melempari anak Adam lainnya, yang sedang berlindung di balik tameng plastik dan pelindung kepala fiber.

Termakan kobaran semangat. Aku mengambil batu yang ada di dekatku. Ku lempar batu itu jauh menuju para anak Adam yang menggunakan pelindung. Entah kepada siapa aku melempar. Tak peduli siapa yang kena, yang penting aku mengenai salah satu dari mereka. Ya! Aku sudah termakan amarah rekan-rekan di dekatku yang meneriakan para pengguna pelindung itu.

Siapa yang salah? Aku tak tahu. Dari sudutku melihat, kelompokku yang benar. Orang-orang di dekatku meneriakkan bahwa para pengguna pelindung itu telah berlaku semena-mena. Polisi itu sudah melukai perasaan orang-orang ini, rekan-rekanku.

Ku ambil lagi batu yang lain. Belum sempat aku mengambil ancang-ancang untuk melempar, aku jatuh. Sebelum aku jatuh, aku hanya melihat sebuah batu seukuran kepalan tangan meluncur tepat menuju kepalaku.

Sebelum aku tak sadarkan diri, aku mengenali batu itu. Itu batu yang tadi kulempar.

***

Ini aku, memakai pelindung sebuah tameng plastik dan helm fiber. Aku berada di Ibu Kota, tepatnya di salah satu jalan protokol ini. Tak ada kendaraan yang melintas, yang ada hanya sebuah mobil yang sedang berkobar di dekat gerombolan kami.

Di seberang sana ada ratusan mahasiswa yang terus menerus menyerang kami. Mereka meneriakkan cacian, makian, serapah, dan melemparkan botol, batu, bahkan balok-balok besar kayu pada kami.

Aku baru saja melemparkan sebongkah batu seukuran kepalan tangan kearah mereka. Aku khilaf. Itu hanya bentuk perlindungan diriku. Sebelumnya batu itu hampir mengenai diriku.

Beberapa menit sebelum ini, sebuaha batu meluncur tepat mengarah ke arah kepalaku. Aku tak bisa menghindar. Batu itu sudah sangat dekat denganku. Aku hanya dapat berlindung di bawah tameng plastik ini.

Aku marah. Tak tahukah mereka bahwa aku adalah seorang ayah dari 4 orang anak yang bercita-cita tinggi, yang tak mungkin ku tinggalkan saat ini karena itu bisa merusak seluruh cita-cita mereka? Anakku mungkin akan menjadi seperti mereka, barbar, jika hidup tanpa bimbingan seorang ayah.

Kulempar kembali batu itu. Entah kepada siapa aku melempar. Tak peduli siapa yang kena, yang penting lemparanku mengenai salah satu dari mereka. Ya! Aku sudah termakan amarah dari lemparan batu itu.

Kulihat di seberang sana. Mereka memanas. Salah satu dari mereka roboh terkena lemparan batu. Kurasa itu batu dari lemparan dariku. Aku merasa bersalah. Sulit untuk bergerak.

Kulihat disana seseorang melemparkan batu dari samping tubuh rekannya yang roboh. Batu itu menuju kearahku. Aku tak sanggup bergerak. Tak lama aku jatuh. Helmku pecah.

Sebelum aku tak sadarkan diri, aku mengenali batu itu. Itu batu yang tadi kulempar.


Bandung, 21 Agustus 2010. 22.46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!