Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 18 Agustus 2010

KALAU SAJA


Oleh  17thstarlight



Kampus G, di lapangan basket, 21.30
Dug. Dug. Dug.
Bola basket yang dipantul-pantulkan oleh Arya memecah kesunyian lapangan basket yang sekelilingnya gelap gulita. Di bawah sorotan lampu dan bunyi bola basket yang dipantulkannya, Arya merasa menjadi center of attention, dilirik oleh setiap mahasiswa yang lewat di sekeliling lapangan itu. Arya tidak peduli dengan semuanya, dia cuma berharap satu orang gadis lewat dan melihatnya. Vinka. Gadis yang membuatnya selalu duduk di deretan paling belakang di kelas, hanya supaya dia tidak nervous. Dan supaya dia bisa memperhatikan Vinka terus tanpa ketahuan. Tapi di lapangan yang menjadi andalannya sejak awal masuk kampus ini, Arya merasa berani untuk show off. Seolah ada perisai maya yang mengikuti garis cahaya lampu sorot lapangan, melindunginya dari kejadian memalukan.
Slam Dunk! Loncatan diikuti lemparan mulus yang kesekian kalinya berhasil dibuat oleh Arya.
Di sisi lapangan, seorang gadis berjalan menunduk, sibuk dengan pikirannya sendiri. Suara bola basket yang berbenturan dengan lantai semen sama sekali tidak mengganggunya. Dia berjalan lurus menyusuri sisi lapangan, menuju ke arah tugu. Sama sekali tidak menoleh. Gadis itu bernama Vinka.

Kampus G, di depan tugu, 21.35
“Lawan Hedonisme!”
Vinka terlonjak kaget, saat sesosok berbaju gelap muncul mendadak dari balik bayangan tugu sambil menyerukan kalimat itu. Segala hal yang ada di pikirannya mendadak buyar.
Vinka menyisir tepi jalan setapak, sedikit memberi jarak antara dia dan sosok yang mulai terlihat merentangkan spanduk putih bertuliskan ‘ANTI HEDONISME’.
Pelan-pelan Vinka berjalan menjauh. Seruan-seruan khas demonstrasi mulai terdengar samar, berganti dengan suara musik di kejauhan, sekitar 300 meter di depannya.
Vinka terus berjalan. Lampu-lampu di kejauhan menyorot ke arah sesuatu yang tampaknya sebuah panggung. Beberapa orang tampak di atas panggung itu, yang segera dikenali oleh Vinka dari lagu yang sedang mereka mainkan.
“Oh, jadi ini hedonisme itu.” batin Vinka. Dia melambai pada seorang temannya, Resti, yang ternyata sudah lebih dulu duduk lesehan disitu, lalu bergabung bersamanya.

Kampus G, di depan plaza, 21.40
Kriuk kriuk.
Resti mengunyah keripik apel dengan santai di antara suara hingar bingar konser. Matanya tak lepas dari panggung yang berada sekitar 200 meter di depannya. Gerombolan mahasiswa yang menonton berdiri di dekat bibir panggung agak menghalangi pandangannya, tapi Resti terlalu malas untuk berdiri dan bergerak mengikuti musik seperti mereka. Ini juga bukan band favoritku, pikirnya. Tapi lumayanlah, gratis.
“Mau?” katanya, meyodorkan sebungkus keripik apel di tangannya pada Vinka yang duduk di sebelahnya. Vinka merogoh ke dalam bungkusan itu dan mengambil segenggam keripik.
Saat itulah mata Resti terpaku pada sosok di jendela lantai 4 gedung yang ada di sebelah kirinya. Dari jarak sejauh inipun, dengan cahaya seremang ini pun, Resti sangat bisa mengenali sosok itu. Sosok yang selalu memenuhi pikirannya sebulan terakhir ini. Sosok yang di mata Resti memiliki selubung maya di sekujur tubuhnya, membuat sosok itu selalu tampak sempurna. Sayangnya selubung itu juga menghalangi Resti untuk melihat isi hatinya.
Mata Resti terus tertuju ke arah sosok di jendela lantai 4, yang hanya terlihat dari kepala hingga siku tangan. “Sepertinya kau menikmati konser ini,” pikir Resti. “sayang sekali kau tidak menonton bersamaku.” desah Resti, tangannya kembali merogoh ke dalam bungkus keripik, memasukkan beberapa lapis keripik sekaligus ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan gusar.

Kampus G, di gedung 6, lantai 4, 21.35
Tik tik tik tik tik tik tik tik tik tik.
Suara halus beradunya jari tangan dengan keypad laptop terdengar di salah satu kavling sisi timur ruangan TA.
Galih mencoba untuk fokus, tapi mau tidak mau akhirnya dia berhenti juga. Lalu membuka jendela yang berada tepat di sebelah kanannya. Jendela itu sedikit berderit saat besi penyangganya diluruskan.
Udara dingin merasuk dalam ruangan saat jendela itu dibuka. Galih melihat ke bawah, “Wah, ramai sekali” serunya. Dia kemudian melihat ke arah panggung yang tersorot lampu dengan warna yang berubah-ubah secara periodik. Galih menyandarkan tangan di bahu jendela, membuat dirinya senyaman mungkin untuk menikmati konser yang terlihat tanpa halangan dari posisinya sekarang.

What I’ve done..I’ll face myself..To cross out what I’ve become..Erase myself..
Galih mengambil handphone-nya yang meraungkan lagu milik Linkin Park.
“Ya Ar?”
“Lih, di mana posisi?”
“Masih di lantai 4. Lo di mana?”
“Di lapangan basket. Gua kesana yak!”
“Cepetan Ar, posisi bagus nih, vvip.”
“Oke oke.”
Klik. Telepon ditutup.

-Lima menit kemudian-

Galih mendengar suara langkah sepatu menaiki tangga. “Pasti Arya” pikirnya.
“Galih!”
Suara perempuan yang memanggil namanya mengagetkan Galih. Serta merta Galih menengok ke arah pintu, dan mendapati Resti berdiri di sana. Wajah Resti tampak suram.
“Hey Res, ngagetin aja lo! Masih di sini juga?” tegurnya.
“Ada yang perlu gua omongin.” kata Resti sambil berjalan mendekat.

Kampus G, di selasar gedung 6, 21.45
Langkah Arya mendadak terhenti melihat sosok Vinka berdiri tak jauh di hadapannya. Wajahnya terkena pantulan cahaya lampu di atasnya, semakin cantik saja. Vinka belum menyadari kehadiran Arya, dia bersandar pada tembok, menonton konser dari kejauhan.
“Vinka” sapa Arya.
Vinka menoleh ke arahnya. “Arya?” Vinka menyipit meneliti kostum Arya yang basah oleh keringat dan bola basket di tangan kanannya.
“Lo masih main basket malam-malam begini?” tanya Vinka heran.
“Oh, iya..” jawab Arya gugup. “Lo koq sendirian di sini?” tanya Arya.
“Gua nunggu Resti. Dia lagi ke atas, ada perlu bentar ama Galih katanya.” jelas Vinka.
Detik itu Arya merasa berterimakasih sekali pada Resti dan Galih, karena memberinya waktu untuk bersama Vinka.
“Kalo gitu gua temenin lo ya Vin, gua juga mau ke Galih tadinya.” kata Arya, dibalas anggukan oleh Vinka.

Tiba-tiba tanah di bawah Arya dan Vinka bergetar hebat.
“Arya.....GEMPA!!” teriak Vinka panik.
Arya melepaskan bola basketnya lalu menarik tangan Vinka untuk berlari ke tempat terbuka beberapa meter di depannya. Tapi sesampai di tempat itu justru mereka tertubruk-tubruk oleh mahasiswa-mahasiswa lain yang juga panik.
“Resti!” jerit Vinka. “Resti dan Galih masih di atas, Arya!” raut muka Vinka ketakutan.
“Tenang Vin, lo di sini aja, jangan kemana-mana!” perintah Arya.
Arya memencet speed dial di handphone-nya, mencoba menelepon Galih.
Tidak ada jawaban.
“Vin, lo tunggu di sini. Denger Vin, tetap di tempat terbuka!” perintah Galih lagi, lalu berlari secepat kilat ke tangga gedung 6, menuju ke lantai tempat Galih dan Resti berada.

 Kampus G, di depan selasar gedung 6, 07.00 (keesokan paginya)
Sepi. Puing-puing berserakan disana-sini. Bekas panggung masih tampak di plaza, dengan tenda yang sedikit miring.

Rumah Sakit BS, 07.00 (keesokan paginya)
Vinka tersadar di tempat tidur berseprai putih, di dalam ruangan yang seluruhnya juga bercat putih. “Gua di rumah sakit?” tanyanya pada diri sendiri.
Kepalanya pusing, dan hal terakhir yang diingatnya cuma gelap. Gelap.
Siku tangan kirinya perih, lalu dia teringat ada seseorang yang menubruknya hingga terjatuh ke lantai paving.
Arya. Satu nama itu mendadak terlintas di pikirannya. Terakhir kali dia melihat Arya, temannya itu sedang berlari meniti tangga.
Resti!
“Susteeer!!” teriaknya seketika. Vinka menoleh ke kanan dan kiri, mencari-cari tombol pemanggil suster. Yap, dia menemukannya dan segera memencetnya.
Tidak berapa lama kemudian, seorang suster berwajah ramah masuk ke dalam ruangan.
Tidak menunggu suster itu menyelesaikan senyumnya, Vinka langsung memberondongnya dengan pertanyaan : “Suster, di mana teman-teman saya?! Resti, Galih, Arya!”.
“Tenang nona Vinka, nona butuh istirahat dulu. Akan saya panggilkan dokter.” jawab suster itu lembut. Kemudian suster itu beranjak keluar dari ruangan.

-Tiga Menit Kemudian-
“Halo Vinka, gimana perasaanmu? Ada yang sakit?” tanya seorang dokter berjas putih. Beberapa helai rambutnya sudah beruban.
“Sedikit, Dok. Dokter, boleh saya tahu di mana teman-teman saya?” rengek Vinka.
Dokter itu menghela nafas, lalu berkata “Kamu ingat apa yang terjadi?”.
“Iya, Dok. Detik-detik gempa itu terjadi.” jawab Vinka, matanya berkaca-kaca.
“Ada banyak korban yang dilarikan ke rumah sakit ini, salah satunya kamu. Kami masih belum bisa memastikan beberapa identitas korban. Jadi, saya mohon Vinka bisa sabar menunggu sampai kami selesai.” kata dokter itu, memberi isyarat pada suster untuk menyuntikkan sesuatu pada selang infus Vinka.
Vinka pun tertidur, dan bermimpi. Dalam mimpinya, dia melihat Arya, Resti dan Galih pergi bersama meninggalkannya. Vinka menangis dalam tidurnya.

Rumah Sakit BS, 16.00
Vinka mengerjap-ngerjapkan mata, melihat ibunya duduk di sisinya.
“Kau sudah bangun, sayang?” kata ibunya, mengusap rambut Vinka.
Vinka merasa haus, dan ibunya membantunya minum. Vinka masih mengingat dengan jelas mimpinya, ia lalu bertanya pada ibunya.

-Sepuluh Menit Kemudian-
Vinka terisak di pelukan ibunya. Punggungnya bergerak naik turun, air matanya mengalir deras. Kalau saja dia tahu, dia akan melarang Resti naik ke lantai 4.
Dia akan menyuruh Galih yang turun ke selasar.
Dia juga tidak akan membiarkan Arya menyusul naik ke lantai 4.
Kalau saja...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!