Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 18 Agustus 2010

Buku Dalam Mimpi

Oleh: Dini Yahdini Nurhasanah (@dhanarun)
http://dhynhanarun.posterous.com/


Dengan jantung yang terus berdebar semakin kencang, aku menitipkan sebuah bungkusan coklat berisi sebuah novel. Seorang cewek yang aku titipi itu tersenyum geli melihat paket itu. Entah mengapa, ada angin dari mana atau dapat ilham apa, tiba-tiba saja aku sangat nekat dan berani mengirimi Sandy novel itu.

Sandy adalah kakak kelasku sekaligus kecengan abadiku. Sudah hampir 2 tahun aku hanya memandang dan bisa mengangguminya saja. Padahal aksesku untuk kenalan bahkan dekat sangat banyak. Aku akrab dengan teman sekelasnya dan teman itu adalah teman baiknya Sandy juga. Betapa bodohnya aku.

Sesudah menitipkan buku itu, aku tak ingat apapun. Semuanya bagai angin lalu. Tak kuperhatikan karena aku pikiranku terlalu penuh dengan Sandy, Sandy dan Sandy. Antara penasaran dengan ekspresi dia saat menerima novel itu dan apa yang dia lakukan jika tau yang mengirim novel itu adalah aku, adik kelasnya yang selalu muncul didepan kelasnya setiap istirahat.

Ah, sampai dalam tes olahragapun aku tidak bisa konsentrasi. Pikiranku benar-benar gelisah. Pak Hadi, guru olahraga sekaligus walikelasku tampak sedikit bingung melihat perubahan drastisku. Mungkin beliau akan mencoretku dari daftar peserta pekan olahraga bulan depan. Aku bahkan tidak peduli pada pekan itu.

Setelah olahraga, Pak Hadi menghampiriku. Beliau pasti akan menanyakan perihal perubahanku. Tapi ternyata tidak. Tangannya terulur dan ada sebuah amplop coklat ada disana. Pak Hadi hanya mengatakan bahwa amplop itu berasal dari salah satu murid cowok. Aku langsung bisa menebak siapa. Tepat! Siapa lagi selain Sandy?
Dia pasti tidak suka dengan novel ini dan mengembalikannya. Dua kecemasan itu berputar-putar dalam kepalaku. Mungkin saja dia tidak suka novel cinta remaja itu. Aku juga tak tau mengapa aku kirim novel itu. Sambil melangkah ke kelas untuk ganti baju, aku menimang-nimang amplop itu. Rasanya aneh, amplop itu agak ringan. Tidak seperti kirimanku. Apakan dia membalasnya? Jangan bermimpi terus!

Teman-teman yang melihatku dengan amplop itu bertanya mengenai amplop itu. Aku hanya membalas dengan senyuman. Aku takut melihat kenyataan yang mungkin sangat pahit dan akan teringat selamanya. Tapi karena desakan teman-temanku dan firasatku tentang berat amplop itu, akhirnya aku berani untuk merobek salah satu sisinya.
Sebuah novel kecil ada didalamnya. Bukan novelku. Ternyata dia suka! Sandy suka novel yang aku berikan. Terdapat sebuah catatan kecil yang memberitahukan tentang itu. Aku merobek seluruh amplop itu dan terlihatlah novel itu. Sebuah novel terjemaham anak-anak. Begitulah pikiranku ketika melihat sampulnya yang berilustrasi sangat lucu. Judulnya The, The Litt, kenapa aku jadi susah membaca judul novel itu? Padahal aku lumayan pandai Bahasa Inggris. Th-ee, The-ee Lit-ttl-ee, The Liii—ttelleee . . .

Seorang temanku tiba-tiba mendorongku ketika aku sibuk membaca buku itu. Yang mengangetkan teman-teman yang lain juga mengikutinya. Mereka mendorongku jatuh kedalam sebuah lubang hitam yang ujungnya akupun tak tau. Lalu aku jatuh. Novel pemberian itu juga ikut denganku. Sambil berteriak minta tolong, aku meraih novel itu. Judulnya The Litte . . .

Akhirnya aku sampai didasar. Kakiku menghantam dasar lubang itu. Anehnya kakiku sama sekali tidak sakit. Aku malah merasa nyaman dan hangat. Dengan kebingungan, aku melihat sekeliling. Dasar lubang itu dipenuhi poster-poster film luar. Dan setelah beberapa detik berpikir, aku merasa sangat bodoh. Ternyata ini kamarku.

# # #

Temanku, yang aku mendorongku dalam mimpi, heran melihatku terus memikit keningku. Dia tampak agak cemas juga. Tapi aku menolak saat dia menawariku untuk beristirahat di UKS. Temanku yang lain juga ikut cemas karena aku tidak ceria seperti biasanya. Aku hanya tersenyum kecil.

Saat istirahat, aku memisahkan diri dari teman-teman yang biasanya selalu mengerumuniku. Aku melawan arus dengan berjalan menjauhi kantin. Tentu saja aku punya tujuan. Pergi ke kelas temanku yang setingkat diatasku dan meminjam buku. Kelas temanku itu juga sekaligus kelasnya Sandy. Sayang dia tidak ada saat aku tiba. Mungkin dia sedang ada dikantin atau koperasi. Sesudahnya aku agak terburu-buru. Aku lupa harus mencari buku untuk tugas resensi. Gurunya memang sangat sabar dan memahami kalau siswa-siswanya masih labil. Tapi aku tak mau mengecewakan guru yang satu ini. selain sabar, beliau juga terlalu baik.

Aku masuk ke perpustakaan dengan cepat. Tak sengaja beberapa orang aku senggol dan ada buku yang jatuh. Ini saking penuhnya perpustakaan. Sebagian teman-temanku juga sedang ada disitu dan mencari juga. Karena lumayan sering berkunjung ke perpustakaam, aku hafal rak-rak yang menyimpan buku-buku seperti novel, komik dan majalah. Sehingga aku tak perlu melihat sampul buku satu-persatu seperti yang teman-temanku lakukan. Aku hanya mendatangi salah satu rak dan memilih buku yang ada. Selesai!

5 menit lagi bel berbunyi. Aku bergegas menghampiri meja untuk peminjam. Tapi disana penuh sekali. Agar tidak bosan, aku tak sengaja membolak-balik sebuah buku catatan yang aku temui. Buku itu mencatat puluhan buku sumbangan dari yayasan. Jariku menyusuri judul-judul novel itu dan aku menemukan sebuah judul yang membuatku agak tersentak. The Little Prince.

Aku segera menghampiri ibu penjaga perpustakaan dan menanyakan buku itu. Ibu yang bernama Ibu Sri itu membenarkan adanya buku itu dan menyuruhku mencarinya dirak yang berisi buku-buku sumbangan dari yayasan. Ketika berjalan menuju rak yang dimaksud, aku merasa antara sadar dan tidak. Berbagai pertanyaan muncul dibenakku. Apakah benar buku itu buku yang sama persis seperti dalam mimpiku? Apakah itu benar-benar buku yang Sandy berikan padaku, walaupun hanya dalam mimpi?

Aku terus berpikir sambil terus berharap. Begitu sampai didepan rak, tanpa buang waktu aku langsung membolak-balik buku yang ada. Baris pertama, tak ada. Baris kedua juga nihil. Ketika hampir selesai memeriksa baris ketiga, pikiranku jadi ragu. Jangan-jangan buku itu bukan buku yang aku cari. Mungkin hanya judulnya saja yang sama. Seperti waktu aku berkunjung ke salah satu toko buku yang lumayan terkenal. Dibagian novel remaja, hampir disetiap rak aku bisa menemukan novel yang berjudul Soulmate. Mau itu ditulis dengan bahasa yang benar atau di ubah, seperti jadi Solmet.

Bel tanda masuk berbunyi. Aku mendadak jadi sangat putus asa. Baris ketiga sudah ku selesaikan, tapi buku itu masih belum nampak juga. Belum lagi dugaanku yang semakin kuat mengenai buku itu. Ah, mungkin hanya kebetulan saja. Lalu aku melangkah dengan gontai menuju meja Ibu penjaga perpustakaan. Misi mencari buku dalam mimpi itu memang gagal, tapi tugas resensi tak bisa diabaikan begitu saja.

Meja kecil itu ternyata masih penuh. Apalagi didorong faktor bel yang sudah berbunyi. Aku tadinya akan sabar mengantri, tapi guru pengajar selanjutnya sudah datang. Aku tidak mau terlambat dan dicap tidak rajin. Aku mencoba menyelinap sedikit dan untungnya aku memiliki badan yang lumayan mungil. Aku akhirnya bisa sampai didepan meja. Tapi sepertinya Ibu Sri tahu kalau aku berbuat curang dalam antrian. Buktinya beliau lebih dulu memilih buku yang disodorkan oleh orang disebelahku, padahal buku yang aku ingin pinjam sudah teracung dan dilengkapi suaraku.

” Maaf, Ren” Bu Sri berkata pelan ” Didy sudah mengantri dari tadi”

Aku tersenyum kecut. Bu Sri memang sudah hafal denganku dan aku juga hafal dengan prinsip beliau mengenai pinjam meminjam. Aku akui aku salah dan aku memilih menunggu. Toh giliranku akan datang juga.

” Di, ini sudah telat seminggu” kata Bu Sri ketika memeriksa buku catatan

” Yah, ibu . . .” cowok disebelahku yang dipanggil Didy oleh Bu Sri berguman pelan.

Aku tidak mengacuhkan hal itu. Mataku lebih tertarik pada buku yang dikembalikannya. Sebuah buku kecil, tipis dan berwarna putih dan hijau muda. Kombinasi yang bagus, pikirku. Buku itu seperti buku dongeng anak-anak. Entah mengapa bisa tersesat diperpustakaan sekolahku. Gambarnya biasa saja tapi bentuk yang ditampilkan unik. Tampak sebuah planet yang ditumbuhi bunga-bunga kecil, disana berdiri seorang anak laki-laki berambut pirang dan judul buku itu . . .

” The Little Prince!” pekikku kaget

Bu Sri dan Didy otomatis menoleh padaku dan aku membalas tatapan mereka. Bu Sri hanya menatapku sejenak dan melanjutkan memeriksa buku catatan. Sementara cowok disebelahku . . .

” Kamu nyariin buku itu, ya?”

Ya, Tuhan! Aku tidak percaya! Ternyata cowok yang dipanggil Didy itu adalah Sandy, kakak kelas sekaligus kecengan abadiku!

” Ah, Iya . . .” jawabku pelan. Jantung dalam tubuhku sudah berdetak tak karuan.

” Maaf ya, minjemnya kelamaan” ucapnya lagi ” Nih, kalau kamu mau minjem”

Tangan Sandy mengulur padaku, didalam genggamannya ada buku kecil itu. Sepertinya Bu Sri sudah selesai dengan buku tersebut dan sedang memproses bukuku.

” Nih, hm . . .” Sandy sepertinya bingung dengan aku yang tiba-tiba membatu. Dia melirik seragamku ” Rena . . .” tersentak aku tersadar

” Ah, makasih . . .” jawabku masih dengan suara pelan.

Sandy tersenyum, senyum yang setiap hari hanya bisa aku lihat dari jauh. Tapi sekarang aku bisa melihatnya dari jarak dekat dan terasa istimewa. Tentu saja, karena sekarang dia tersenyum padaku. Lalu dia keluar dari perpustakaan. Tak sadar mataku mengikutinya. Dari dia mengambil sepatu sampai dia melangkah pergi. Dan tak kusangka dia menoleh kebelakang dan tersenyum lagi.

Suara Bu Sri yang memanggilku terdengar samar ditelingaku. Aku seperti tidak berpijak dibumi. Pikiranku melayang. Tentang Sandy, senyumannya dan buku. Buku yang semula hanya dalam mimpi sekarang jadi kenyataan. Buku itu sekarang ada dalam genggamanku. Aku menatap sampul buku itu dan kini aku bisa membaca judulnya dengan jelas.

The Little Prince, Pangeran Kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!