Oleh: Faizal Egi
Ada berapa buah persimpangan jalan di kota ini? Puluhan? Ratusan? Atau mungkin ribuan? Entahlah, aku belum pernah melakukan survey untuk hal ini. Lalu berapakah diantara mereka yang membutuhkan lampu pengatur lalu lintas dan sudah terpasang lampu lalu lintas? Tentang ini aku juga belum pernah menghitungnya.
Lampu Merah. Mungkin suatu benda yang dianggap lazim di saat sekarang ini, benda yang membantu untuk mengatur lalu lintas jalanan yang semakin padat merayap melebihi rayap itu sendiri. Tapi apakah benda ini akan dihargai sebagaimana fungsinya tanpa adanya penegak peraturan lalu lintas yang berjaga di sekitarnya? Dan apakah benda ini ada artinya tanpa kesadaran dari pemakai jalan itu sendiri?
Senin, 9 Agustus 2010 10.00 WIB
Sebuah mobil sedan merah melaju lurus dari arah barat menerobos lampu merah perempatan Condong Catur, Yogyakarta. Karena menghindarinya, seorang pengendara motor membanting stir dan menabrak gerobak tukang jualan klepon. Pengendara sepeda motor jatuh dari motor tak sadarkan diri, darah meleleh di pelipis sebelah kiri membasahi wajah cantiknya. Orang yang berada di sekitar kejadian dan masih memiliki nurani segera melarikannya ke rumah sakit terdekat.
Senin, 9 Agustus 2010 10.50 WIB
Di salah satu bilik Emergency Room sebuah rumah sakit internasional di Yogyakarta, bola mata itu perlahan mengintip membuka kelopaknya yang mulus tanpa cacat. Mengamati sekitarnya, mengamati dua orang, lelaki dan perempuan paruh baya yang memandangnya cemas. Sambil berusaha memulihkan kesadarannya, mulutnya bergetar menanyakan hal yang paling ingin diketahuinya.
“Sari dimana, Ma?” ucapnya lirih
“Kamu di rumah sakit, sayang” jawab lembut wanita paruh baya di depannya
“Tadi kamu jatuh, pingsan. Tapi kata dokter tidak ada luka serius, jadi setelah kamu sadar kamu langsung bisa pulang” timpal lelaki paruh baya di sebelah ibunya sambil tersenyum berusaha menenangkan putrinya
“Sidangku...” ucap Sari bergetar menahan tangis
Sidang? Ya! Sari Maharani, mahasiswi semester 8 jurusan psikologi sebuah unversitas swasta di Yogyakarta. Calon mantan mahasiswi sebenarnya, karena seandainya tidak menghindari sedan merah sialan tadi dan menabrak gerobak klepon dia sekarang sedang berada di ruang sidang pendadaran kampusnya untuk mempresentasikan skripsinya, seandainya dia tidak menghindari sedan merah yang dikemudikan oleh orang cacat “kesadaran bertoleransi” dan pingsan selama lebih dari 30 menit, awal bulan depan pasti dia dapat mengikuti wisuda. Karena seorang peringkat 1 angkatan 2006 tidak mungkin tidak lulus sidang pendadaran.
Air matanya mengalir deras membuat tubuhnya pun sedikit bergetar. Kedua orang tuanya hanya bisa memeluknya dan mengatakan “Sabar anakku, masih ada waktu lain”.
Senin, 9 Agustus 2010 06.00 WIB
“Bapak, sepatuku sobek lagi. Kayaknya sudah ndak bisa diperbaiki” ucap murung Lastri kepada bapaknya.
Memang sepatunya itu sudah berkali – kali sobek. Maklumlah, sepatu itu sudah menemani Lastri dari hari pertama dia masuk Sekolah Dasar hingga sekarang dia duduk di kelas 3. Itu pun bapaknya yang hanya seorang penjual klepon keliling membelinya dari pasar loak. Bahkan beberapa bulan terakhir ini Lastri harus sedikit menahan nyeri di ujung jari kakinya setiap mengenakan sepatu yang panjangnya tidak mampu mengikuti panjang kakinya yang semakin bertambah.
“Sabar ya,nduk. Tabungan bapak tinggal kurang sedikit untuk bisa membelikanmu sepatu baru. Doain bapak hari ini dagangannya laris supaya bisa beliin sepatu baru buat kamu” jawab Sunarto sedih.
“Iya,bapak. Lastri selalu berdoa supaya bapak dapet banyak rejeki” ucap Lastri tulus
“Yo wis ki, sekarang kamu sarapan terus berangkat sekolah dianter bapak” kata ibu Lastri sambil memberikan sepiring nasi plus sepotong tempe dan tahu.
Setelah mengantarkan anak semata wayangnya, Sunarto mangkal di depan sebuah bank di selatan perempatan Condong Catur. Namun sepertinya hari ini rejeki Sunarto tidak semanis klepon dagangannya. Hampir pukul sepuluh tapi belum seperempat dagangannya yang laku, karena itu Sunarto berinisiatif pindah tempat mangkal. Dia berjalan menuju ke arah pasar dengan harapan dagangannya akan lebih laku disana, dengan tetap semangat dia melangkahkan kaki, melewati perempatan. Namun tiba – tiba dia mendengar suara rem berdecit dari belakang yang sontak membuatnya lompat sejauh mungkin hingga membuat dia terpeleset dan jatuh terduduk. Sunarto menangis, bukan karena pantatnya yang menghantam tanah dengan keras. Itu tidak sakit buatnya, sama sekali tidak menyakitkan dibanding melihat semua dagangannya jatuh berserakan di tanah dan gerobaknya terjungkal. Hatinya meraung – raung menyesali bahwa hari ini dia tidak dapat menepati janjinya, janji kepada anak kesayangannya.
Senin, 9 Agustus 2010 10.00 WIB lewat beberapa detik
Santai mengemudikan mobil mahalnya, tuan Jabatep tidak menyadari kekacauan yang terjadi karena ketidak sabarannya yang membuatnya melakukan pelanggaran lalu lintas yang menurut dia hanyalah “hal sepele”. Dia tidak menyadari karena perbuatan “sepele” nya itu dia telah menunda kelulusan seseorang, dia telah menunda kebanggaan orang tua yang melihat anaknya berdiri di atas panggung menerima piagam cumlaude, dia telah menunda perwujudan kasih sayang seorang ayah yang teramat dalam terhadap putrinya, dia telah mengecewakan seorang anak sederhana yang masih mempunyai tekat dan keinginan kuat untuk bersekolah, dan parahnya dia tidak menyadari bahwa dia telah mencederai moral seorang anak, bukan anak orang lain! Melainkan anak lelakinya sendiri yang duduk disebelahnya, anak lelaki yang sedang dalam masa pubertas, masa pencarian jati diri. Anak lelaki yang sekarang tertanam di pikirannya “AYAHKU SAJA TIDAK BERHENTI DI LAMPU MERAH, MAKA AKU PUN KELAK AKAN SEPERTI ITU KARENA DIA PANUTANKU”
Kalau menurut aku ini bisa masuk pararel :) Soalnya dari masing2 sudut pandang gitu kan?
BalasHapusBagus loh, penuh pesan moral yang emg jadi realitas jaman sekarang.
kewl! tapi ceritanya kurang miris, lebih berkesan marah. lebih sendu sedikit aja, dan pembaca akan terenyuh, sediiih!
BalasHapus