Oleh Laura Khalida
Asap itu mengepul begitu hitam dan pekat. Seketika dedaunan di sekelilingnya terpaku di tempat. Bahkan angin pun enggan bertiup. Dua pasang kelinci yang menyaksikan peristiwa itu gemetar hebat. Suasana amat mencekam.
"Sudah?" Tanya Laweh
Yang ditanya tak menjawab.
"Hey, sudahkah?" Laweh tak sabar. Ia berusaha menggerakkan kaki-kakinya dan mencerabutkan diri dari tanah yang mengcengkramnya selama ini.
"Bisa! Hey lihatlah. Aku bisa lepas dari kungkungan tanah yang sekian ratus tahun telah membelengguku." Laweh berteriak girang ketika seluruh kaki-kakinya tercabut dari tanah. Kini tubuh besarnya bisa bergeser ke mana pun ia suka.
"Bum... Bum..." Suara langkah-langkah Laweh menggema dan menggetarkan tanah, mengagetkan alam. Dua pasang kelinci yang menyaksikan manuvernya pingsan seketika dan burung-burung berbalik arah, menjauhkan diri.
"Kamu hebat Tody...lihat aku?" Suara Laweh terisak, merasa haru. Sementara Tody yang dipujinya menatapnya tanpa berkedip dengan mimik terpukau, takjub dengan kemampuannya sendiri.
"Apa kubilang, takkan kalah kau dengan mendiang kakekmu..." Laweh kehilangan kendali saking gembiranya. Ia melompat beberapa kali, menggelegar, dan memekik.
Membuat tubuh Tody doyong ke belakang dan terjatuh.
Tibai-tiba, "DEBUMMMM!!!"
"Aduuuh..." Seru Laweh. Tubuh besarnya jatuh melintang, meruntuhkan pepohonan yang bahkan tak kuat menopang tubuh beratnya. Tingginya saja mencapai 25 meter dan diameter tubuhnya mencapai 1,5 meter.
Laweh terkejut mendapati dirinya terbaring tanpa daya di tanah, dan membunuh teman-temannya yang tertindas di bawahnya. Bisa ia dengan jeritan kesakitan mereka.
"Oh, Tody... Bantu aku berdiri..." Laweh memohon. Sungguh tak sanggup ia mengangkat tubuhnya sendiri.
"Tody.. Mengapa kau diam saja? Bantulah aku... Oh..."
"Aku..." Tody bagai tersadar dari mimpinya. Melihat pohon besar itu merana, perlahan Tody berdiri sambil meringis, akibat rasa sakit di pinggangnya. Sebuah batang pohon malang patah terkena tubuh Laweh dan jatuh mengenai pinggangnya.
Bergegas Tody menghampiri Laweh dan bingung sesaat.
"Bantu aku berdiri, mengapa kau diam saja?L suara Laweh terdengar frustasi.
Tody bingung melihat cabang dahan Laweh yang banyak dan lebat, mana yang harus ditariknya? Tubuhnya pasti berat sekali.
"Krak!"
"Hah, maafkan aku.." Tody terkejut mendapati dirinya telah mematahkan salah satu batang Laweh yang tak kuat ditariknya.
Laweh merintih kesakitan, suaranya amat memilukan, membuat hati Tody terluka.
Kini Tody tak berani mendekat.
"Jangan menyerah Tody, aku mohon..."
"Tapi.. Tapi aku takut melukaimu lagi. Aku.. Aku tak kuat menarikmu berdiri, nanti dahan-dahanmu patah lagi..." Suaranya bergetar.
"Tidak mengapa... Bantulah aku..."
Terpaksa Tody mendekat dan memilih sebuah dahan tebal nan kokoh. Namun harapannya tipis, tubuhnya yang kecil takkan mampu menjadi sandaran Laweh.
"Krak..."
"Krek.."
"Ctak.."
"Maafkan aku..." Wajah Tody bersimbah air mata. Ia terengah-engah, keringat membanjiri sekujur badannya. Lolongan kesakitan Laweh benar-benar membuatnya depresi, dapat ia bayangkan sakitnya kehilangan anggota tubuhmu. Ia imaginasikan kalau tangan atau kakinya sendiri terputus... Oh...
Getah putih mengalir keluar dari bekas patahan dahan di tubuh Laweh. Pasti sakit sekali. Tody menunduk... Ia mengusap getah itu dan mengelus tubuh Laweh yang terasa dingin. Pohon itu sekarat.
Laweh sedih sekali, "Apakah aku akan terperangkap lagi di tempat seperti dulu?"
"Maafkan aku Laweh... Aku tidak kuat menarikmu..."
Laweh menangis pilu. Baru kali ini Tody melihat sebuah pohon besar menangis dan merintih seperti itu, kendati Tody tak tahu di mana letak wajah Laweh, dedaunannya begitu lebat.
Dua malam berlalu dan Laweh masih terbaring lemah. Tody merasa amat-amat bersalah karena menjadikan Laweh sebagai lahan percobaan ilmu turunan mendiang kakeknya.
"Sudah kukatakan kau tak dapat melawan hukum alam Tody..." Sebuah bisikan merasuk dalam telinga remaja itu.
Tody menoleh dan melihat Marpho menggeliat pelan menuruni sebuah batang pohon. Tubuhnya yang montok berwarna hijau dengan totol-totol kuning amat memikat sekawanan burung yang mengintai hendak memangsanya.
Tody diam saja. Ia tahu telah bertindak salah, "Aku.. Aku hanya ingin membuatnya bahagia, mencoba menjadikannya pohon paling beruntung di dunia karena dapat terlepas dari kungkungan sekian ratus tahun..."
Mata ulat itu menatapnya sendu, kemudian merayap turun dengan waspada, mengawasi sekelilingnya, mencari burung-burung yang siap mengincarnya. Tody menjulurkan telapak tangannya dan membiarkan Marpho menjejaknya.
"Kamu tak bisa melawan takdir, Nak... Takdir Laweh adalah berpijak di tanah. Setiap makhluk memiliki takdirnya masing-masing, jika kau melawan.. Maka ketimpangan akan terjadi."
"Jadi... Tak ada yg dapat kulakukan untuk membantunya?"
Marpho tersenyum, "mengapa tak kau kerahkan lagi kemampuan sihirmu?"
Tody menggeleng lemah,"Aku.. Aku tak berani melakukan kesalahan lagi. Itu sihir pertamaku dan langsung menimbulkan masalah."
Marpho menggeleng, "Kau salah Nak, itu bukan sihir pertamamu. Tapi kedua."
Dahi Tody berkerut,"Kau lupa? Sihir pertamamu adalah membuatku bisa bicara..."
Ah ya.. Mengapa ia lupa. Betapa ia terkejut ketika menemukan jurnal mendiang kakeknya yang berisi berbagai mantra sihir. Dan ia tak menuruti pesan kakeknya yang tertulis di halaman pertama buku itu, bahwa siapapun yang menemukannya, sebaiknya jangan gegabah menggunakannya. Karena dikuasai rasa ingin tahu, Tody mengindahkan saran itu. Namun ia butuh teman bicara untuk bertukar pikiran tentang buku itu, maka ketika sebuah ulat montok dan lucu lewat di dekatnya, Toby menyihirnya menjadi ulat yang bisa bicara, tak disangkanya ulat yang diberinya nama Marpho itu adalah seekor ulat bijaksana.
"Oh Marpho bantulah aku.. Apa yang harus kuperbuat? Aku.. Aku tak tahu cara mengembalikan posisi ini seperti sedia kala, telah kucari dalam buku Kakek namun tak kutemukan mantranya..."
"Biarkan takdir yang menyelesaikan semuanya, Nak..." Suara Marpho mendadak melemah...
"Marpho... Kenapa dengan dirimu.. Kau.. Kau tampak lemah dan.. Tubuhmu muncul serat-serat putih... Oh..."
Tody memahami apa yg terjadi pada ulat bijaksana itu, Marpho akan segera bermetamorfosa menjadi kupu-kupu, kini ia akan tenggelam dalam kepompong.
"Tunggu.. Jangan tinggalkan aku dulu Marpho... Kau harus beri tahu aku.. Apa yang harus kuperbuat terhadap Laweh? Ia semakin lemah... Dengan kondisi seperti itu asupan makanan takkan bisa terserap dari kaki akarnya... Tapi untuk menanamnya kembali aku tak kuat.."
"Su.. Sudah kubilang.. Biarkan.. Biarkan takdir yang menyelesaikannya..." Tubuh Marpho semakin banyak diselimuti serat-serat putih yang akan membungkusnya selama beberapa hari ke depan. Jika ia menjadi kupu-kupu, maka kemampuan bicaranya akan lenyap, bahkan Marpho takkan ingat dengan kejadian ini, apalagi mengenal Tody.
"Tunggu Marpho.. Tunggu.. Aku bingung apa maksudmu dengan takdir yang menyelesaikannya? Marphoooo..." Tody memanggil dengan putus asa, tubuh Marpho sudah seluruhnya terbungkus kepompong. Ia tak punya teman bicara yg bijaksana lagi.
Tody mengusap air mata yang membasahi wajahnya. Rintihan Laweh terdengar semakin ringkih tanpa harapan. Dengan gamang dan pilu, Tody menghampiri batang pohon besar itu, menyentuhnya...
"Maafkan aku Laweh..." Bisiknya penuh isak. Laweh tak menjawab... Dapat Tody rasakan napasnya melemah dan semakin melemah, kemudian hilang.
"Laweh... Laweh!" Tody menggoyang-goyangkan batang kecil di dekatnya, "LAWEEEEEH....." Ratapnya pilu...
Pohon itu telah mati. Tody berdiri di dekatnya, dengan mata bengkak dan hati kelam. Buku dalam genggamannya ia remas dalam-dalam, kemudian ia injak-injak dan robek hingga menjadi kepingan-kepingan kertas tanpa arti. Lebih baik buku mantra peninggalan kakeknya itu kekal menjadi sampah, hingga takkan ada masalah lagi dibuat oleh orang-orang tak bertanggung jawab atau labil seperti dirinya.
Namun satu pelajaran penting telah didapatnya. Biarkan takdir menyelesaikan semuanya... Kata-kata Marpho benar adanya. Nasib Laweh telah ditentukan, ia hanyalah perpanjangan tangan dalam mewujudkannya....
*Done*
Maaf kalau melenceng dari tema sebenarnya. Hanya mengikuti hasrat membawa cerita mengalir. Ditunggu komentar dan kritiknya yak.
Regards
Laura Khalida
Writer, Editor, Journalist, Teacher
http://lauradietdiary.wordpress.com
http://laurapunyakarya.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!