Ayu Galuh Kamaratih berjalan menyusuri lorong kelas segera setelah sang pengawas ujian memberitahu bahwa waktu ujian telah habis. Firasatnya baik, hari ini akan ada kejadian yang unik. Dan layaknya firasat-firasat para putri keturunan Penguasa Langit lainnya, firasatnya selalu benar.
Maka ia melalui gerbang sekolahnya dengan perasaan riang. Namun tidak seperti teman-teman seangkatannya yang mengakhiri Ujian Akhir Nasional dengan berlama-lama nongkrong di pinggir lapangan basket sambil mengerjai junior yang lewat, Ratih memilih untuk langsung pulang, menunggu bisnya di halte seberang.
Lalu tampaklah pria ini, sendiri duduk di halte yang sepi. Pria dengan aura yang menyejukkan seperti embun di waktu pagi. Pria dengan tatapan hangat seperti mentari yang mengawali hari. pria yang dalam hati Ratih sukai.
Mungkin ini yang dimaksud firasatnya. Mungkin ini arti dari langit yang cerah. Seketika Ratih memasang air muka; manis, ceria, mengundang tanya. Begitu ia melabeli wajahnya.
Show time.
Dan hujan pun turun. Tanpa ampun.
...
Sakti Abimanyu adalah seniornya ketika ia baru masuk SMA. saat itu Sakti duduk di kelas tiga. Ratih jatuh cinta kepadanya sejak pandangan pertama. Ia tidak bisa tidak mencintai aroma pagi yang dibawa Sakti kemanapun pria ini pergi.
Pria ini istimewa, itu satu hal yang Ratih tahu. Selain itu, segala tentangnya masih abu-abu. Baru sekarang Ratih berada sedekat ini dengan Sakti. Dan baru kali ia akan memberanikan hari, memperkenalkan diri.
"Kak... Sakti? Lagi apa di sini?" di bawah gemuruh hujan yang membadai Ratih menyapa dengan segenap jiwa.
Pria yang kabarnya kuliah di jurusan arsitektur itu menoleh mendengar namanya disapa, "Eh, hai. Nunggu temen. Kamu..."
"Ratih, kak. Ayu Galih Kamaratih. Kita pernah ujian sebangku dulu, pas kakak kelas tiga, aku kelas satu."
"Ohh, Ratih. Maaf ya, saya pelupa. Atau kita belum pernah kenalan sebelumnya?" Sakti menyodorkan tangan, mengajak bersalaman.
Ia menyambut tangan Sakti yang hangat saat digenggam, hatinya tersenyum menang, "Sepertinya iya, belum."
"Hujannya deras ya? Padahal barusan cerah..." Sakti memulai percakapan.
Dan mengalirlah pembicaraan mereka. Lama. Selama hujan yang tak kunjung reda.
...
Begitulah cara Ratih memenangkan cintanya. Hujan adalah budaknya, yang bisa ia turunkan dengan semena-mena. Tanpa mantra, hanya sekelibat pikiran yang berkata, "Hujan, turunlah, aku Putri Penguasa Langit berperintah!"
Maka hujan akan turun, sederas apapun yang ia minta.
"Kamu mau kuliah di mana?" Sakti bertanya, di menit ke 45 pembicaraan mereka.
"Arsitektur."
"Kenapa?"
"Katanya arsitek itu seperti Tuhan. Aku suka menjadi apapun yang menyerupai Tuhan, walau hanya kepada bangunan." Ratih tersenyum, ia puas sekali. Di saksikan hujan, hati Sakti telah ia kuasai.
"Ah, pikiran aneh kita sama..."
"Oh, ya?"
...
Waktunya menyudahi sesi pendekatan hari ini.
"Aku pulang dulu ya, Kak. Sudah hampir petang."
"Loh, tapi hujannya..." Hujan memang masih turun, deras, deras sekali.
"Sebentar lagi berhenti, kok."
Dengan penuh percaya diri Ratih melangkahkan kaki keluar halte seraya mengucap dalam hati, "Hujan, pergi."
Namun hujan entah kenapa enggan berhenti.
Dari dalam halte, Sakti menghampiri, menyampirkan jaketnya di bahu Ratih.
"Buat apa buru-buru, Ratih? Hujan belum mau pergi."
Dalam kesadaran firasatnya, Ratih pun mengerti.
...
"Hujan, berkati kami."
***
[Remake from Wahyu Pratomo's original story, "Jangan Pikir Hanya Engkau Saja, Ratih"]
http://wahyupratomo.tumblr.com/post/462748639
aku suka cara menulisnya, ceritanya manis dan ringan :)
BalasHapusDan anywaaay, aku lebih suka versi ini daripada versi aslinya.
BalasHapusiya bagus.....ngaliiiir bgt
BalasHapusmanis... :)
BalasHapusjd inget pengalaman pribadi. masuk arsi, mengikuti seorang senior yg dikagumi... :)
:"> makasiiihhh!
BalasHapushalo k vivin! ihiww siapa yaa?