By : Celestyn Suryani Wijaya
Perasaan itu begitu nyata. Rasanya begitu hangat dan nyaman. Seperti sebuah selimut besar yang melindungiku dari segalanya. Membuatku tidak takut pada apapun di dunia ini. Membuatku ingin menyerahkan segala yang kupunya hanya untuk perasaan ini.
Apakah ini pertanda aku telah jatuh cinta? Benarkah?
Tapi. Mungkinkah aku jatuh cinta pada seseorang yang tidak sempurna sepertimu? Seseorang yang hanya hidup dalam dunianya sendiri. Lucunya, kau bahkan tidak mengerti apa artinya cinta.
Pantaskah cinta ini kuperjuangkan? Aku bimbang.
Lena kembali menghela nafas untuk kesekian kalinya. Dia menundukkan kepalanya. Mencari kesibukkan untuk mengusir datangnya rasa bosan. Sesekali dia menggesekkan kedua telapak tangannya, lalu menggosokkannya pada kedua belah pipinya yang memerah karna dinginnya udara.
Sudah hampir 20 menit lamanya dia menunggu di halte, tapi bus tujuannya belum juga datang. Memang harus diakuinya. Jam lembur yang biasa membuatnya harus pulang diatas jam 10 malam, berakhir lebih cepat hari ini. Alasannya sederhana, atasannya sedang bersukacita atas kelahiran putra pertamanya.
Awalnya ini merupakan berita yang menyenangkan. Tapi, begitu Lena teringat akan bus jurusan rumahnya yang akan tiba dalam waktu satu jam lagi. Semuanya terasa tidak menyenangkan lagi. Tetap saja dia baru bisa sampai di rumah diatas jam 10 malam.
“Tidak ada bedanya. Hari ini aku tetap pulang malam.” Bisiknya pada diri sendiri sembari dengan pasrah menghempaskan tubuhnya ke belakang. Bersandar pada papan reklame yang dipenuhi poster musisi terkenal.
Baru saja, dia hendak memejamkan matanya, satu guncangan ringan menghiasi bangku tempat duduknya. Dia kembali membuka mata dan menolehkan kepalanya. Kini, dia tidak sendirian lagi menunggu bus di halte.
Ada seorang lelaki berkacamata duduk di sampingnya. Dia memakai hoodieputih dipadukan dengan jeans panjang. Kedua tangannya sibuk menekan tombol PSP yang terdapat di pangkuannya. Sementara sebuah headphone besar menutupi kedua telinganya.
Samar-samar, telinga Lena menangkap jenis musik yang sedang didengar lelaki di sampingnya. “Suka lagu Linkin Park juga dia.” gumam Lena tanpa sadar , kepalanya masih berada dalam posisi yang sama, menoleh ke arah lelaki tersebut.
Dia berharap setidaknya lelaki itu akan membalas tatapannya dan mengajak berbicara untuk mengusir rasa bosan selama menunggu bus. Sayang, lelaki itu seperti sedang tersedot ke dalam dunia game yang sedang dimainkannya. Jari-jari tangannya tidak berhenti sedetik pun dari tombol berbentuk bulat itu.
Dengan sedikit sikap jahil, Lena mengetuk sebelah headphone milik lelaki tersebut dengan salah satu jarinya. Berharap bahwa dengan cara begini, lelaki itu akan berbicara dengannya. Selang beberapa detik, lelaki itu menolehkan kepalanya ke arah Lena.
“Siapa namamu?” tanpa sungkan, Lena menggeser headphone lelaki itu ke belakang hingga tergantung manis di lehernya.
Lelaki itu tidak menjawab, sebaliknya dia mengambil sesuatu yang terkalung di lehernya. Sebuah tag nama, yang berisi identitas lengkap lelaki tersebut. Dimulai dari nama, alamat hingga umur. Dengan heran, Lena mengembalikan tag nama tersebut kepada lelaki tersebut.
“Namamu Rico?” tanya Lena dengan wajah keheranan yang tidak berhasil dia sembunyikan. Jelas, ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya setelah membaca beberapa informasi dari tag nama tersebut. Sesuatu cukup membuatnya kehilangan kata-kata untuk diucapkan kemudian.
Lelaki tidak menjawab. Dengan santai dia menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan Lena.
***
“Halo Rico. ” Sapa Lena yang baru saja menginjakkan kakinya di halte bus.
Lelaki yang dipanggil itu melambaikan tangannya dengan girang. Senyuman lebar jelas tergambar di wajahnya. Sejak pertemuan pertamanya dengan Lena beberapa minggu yang lalu. Hampir setiap hari dia menunggu gadis berambut sebahu itu di halte bus untuk pulang bersama.
Kadang, Lena membelikan segelas susu coklat hangat ataupun es krim saat cuaca tidak begitu dingin. Begitu juga sebaliknya dengan Rico. Beberapa hadiah kecil sering dia berikan kepada wanita yang pipinya selalu memerah saat cuaca terlalu dingin.
“Bagaimana kelasmu hari ini?” tanya Lena sambil mendudukkan dirinya di samping Rico sembari mengintip apa yang sedang dilakukannya.
Seperti biasanya, Rico tidak pernah langsung menjawab. Dia membuka tas ranselnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Sebuah bunga kertas yang terbuat dari origami. Kegiatan kerajinan tangan seperti ini selalu diajarkan setiap hari Rabu di dalam kelas. Kadang dia diajarkan membuat bola, kupu-kupu, kamera dan kerajinan tangan lainnya
“Untukku?” dengan gembira, Lena mengambil bunga kertas itu dari tangan Rico, memandangnya sebentar kemudian memegang wajah lelaki yang sedang menundukkan kepala itu dengan lembut, “Terima kasih.” katanya kemudian.
Lelaki itu hanya menganggukkan kepalanya. Namun, garis wajahnya memancarkan dengan jelas bahwa dia sedang tersipu malu. Baru kali ini ada seorang wanita yang berani memegang wajahnya, selain ibunya. Dan sentuhan dalam hitungan detik itu mampu membuat hatinya berdetak dengan kencang. Sekencang saat dia sedang berlari mengejar bus saat terlambat. Begitu juga rasa hangat yang menjalari seluruh badannya.
Rasanya berbeda dengan rasa hangat yang dia dapatkan dari sentuhan ibunya.
“Apakah kau akan bercerita padaku hari ini?” dengan lembut Lena bertanya, sebelah tangannya memasukkan rambut di samping telinga kirinya.
“Ayolah” dia kembali bersuara sambil mengguncang ringan lengan Rico, “Kau tidak pernah bercerita apapun padaku selama ini.”
Namun, reaksi yang Rico tunjukkan hanyalah kembali memusatkan dirinya pada game yang sedang dimainkannya selama menunggu Lena. Tidak sepatah katakana dia keluarkan. Dan Lena mengerti, jika Rico sudah kembali bermain game, itu tandanya dia tidak mau diganggu. Tidak akan ada pembicaraan lebih lanjut. Titik.
“Selalu seperti ini.” Gerutu Lena sambil menendang kaleng bekas yang berada di depannya.
Dari pertama kali Lena mengenal Rico, lebih tepatnya sejak saat dia melihat tag nama lelaki itu. Dia sudah mengetahui bahwa Rico tidak sama dengan kebanyakkan orang. Ada kekurangan dalam dirinya, yang membuatnya lebih suka menghabiskan waktunya dengan dunianya sendiri.
Dia juga sangat jarang berbicara. Selama mengenalnya, Lena hanya pernah mendengar lelaki itu mengucapkan “Terima Kasih” dan “Sampai Jumpa”. Seakan hanya dua kalimat itu yang dipelajari lelaki itu selama 25 tahun ini.
Di samping itu, dia juga tidak tahu bagaimana mengikat tali sepatu, sehingga setiap kali jika tali sepatunya terlepas, Lena harus membantunya untuk mengikat. Sudah berulang kali Lena mengajarnya untuk mengikat tali sepatu sendiri, tapi tidak pernah berhasil sekalipun. Akhirnya Lena menyerah duluan.
Bahkan dia tidak tahu nama jalan rumahnya dan namanya sendiri. Hingga setiap kali orang bertanya, dia hanya akan menunjukkan tag nama yang dibuat guru di sekolahnya. Seperti yang dia lakukan pada Lena dulu. Satu-satunya yang dia tahu hanyalah bagaimana caranya dari rumah mencapai sekolah dan dari sekolah kembali ke rumahnya.
Dengan semua kekurangan yang dimiliki Rico, tidak pernah sekalipun Lena meremehkannya atau menganggap rendah dirinya. Dia merasa seseorang seperti Rico harus lebih dibimbing dan diperhatikan secara khusus. Dan selama ini, dia membagi perhatian dan kasih sayangnya kepada Rico. Hingga tanpa dia sadari, perhatian dan kasih sayang itu kini sudah berubah rasa menjadi perasaan yang disebut cinta.
“Rico.” Panggil Lena lembut, sementara dengan perlahan dia menyandarkan kepalanya pada bahu lelaki tersebut, “Seandainya kamu bisa mengerti perasaan yang sedang kurasakan ini.” Bisiknya memejamkan mata.
Lelaki itu menghentikan permainan game-nya. Dia memandang Lena sejenak. Lalu, dengan lembut diusapkan telapak tangannya pada kepala Lena. Seperti yang sering dilakukan ibunya untuk membuatnya tertidur. Lalu dari bibir yang jarang terbuka itu, sebuah nyanyian pengantar tidur yang sering dinyanyikan ibunya, dia nyanyikan dengan sepenuh hati.
Sedetik kemudian, Lena merangkulkan kedua tangannya pada lengan Rico. Sambil mempererat gandengan tangannya pada lengan Rico, dia tersenyum geli bercampur bahagia.
“Terima kasih” bisiknya pelan, sebelum akhirnya dia terlelap dalam tidurnya.
Alurnya mengalir, simpel tp sweet. :)
BalasHapustp itu kenapa dia nggak mau ngomong ya? *penasaran*
a man with few words,ya?
setuju sama Vivi.cara bertuturnya mengalir dan simpel.Hm...ini ttg penyandang autisme?
BalasHapus*berhasil bikin pembaca penasaran*
Beautifull. Saya tersenyum saat membaca tulisan Anda. Sebuah cinta platonis, cinta yg pernah saya rasakan. Meski bukan kepada seorang penderita autis. Ada rasa yang mendalam pada tulisan Anda. Seperti kisah yang bukan fiksi. Saya suka cerita pendek ini. Sederhana namun menghanyutkan. Keep writing. Tolong baca juga karya saya, Just ANother Poem. Saya tunggu komentarnya.
BalasHapus