Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 24 Agustus 2010

Heka, Messia, Aku dan DIA...

Oleh: Bumi Pujangga Aditya

"12 malam, dingin, gelap, untuk apa kau bawa aku kesini?"

"Sebentar lagi akan hujan."

"Hah... Hujan?"

"Kenapa?"

"Gak masuk akal. Keluar di tengah malam, duduk di atas tebing, kedinginan, cuma untuk menunggu hujan? Dan lebih gak masuk akal lagi, langit malam ini tanpa awan. Suatu hal yang gak mungkin untuk turun hujan."

"Hujan itu gak akan basahi kamu kok. Ini bukan hujan air, tapi hujan cahaya. Meteor Rain."

Para ksatria itu malu. Ia hanya jatuh saat bumi terpejam. Mengendap - endap menelusup ke atmosfer bumi dengan cepat, dari langit yang biasanya juga mengirimkan para pasukan titik air yang disebut rinai. Mereka juga merinai, tapi tak lebih dari sedetik. Ia terlalu malu untuk menampakkan indah cahayannya. Jarum panjang bercerai dengan jarum pendek. Ia meninggalkan istrinya yang pendek dan lelet tetap pada posisinya di 12, sedangkan ia mulai beranjak ke angka 2. Sepagi ini dua anak manusia bergurau di atas tebing, menghadap laut, dipayungi langit. Sang ombak tak henti bergemuruh. Sepertinya ia benar benar kesal pada karang, tak pernah pelan ia menabraknya. Bila kau pernah menjejakkan kaki di atas rumput liar tebing pantai Baron, mungkin dengan mudah kau hisap tiap rasa yang keluar dari huruf dan kata yang kutulis. Disana dingin, dua orang anak manusia itu duduk di ujung tebing yang hanya dipagari oleh rumput gajah dan tumbuhan lain yang berbunga. Sedikit bebatuan menemani agar tumbuhan itu tak monoton. Maju selangkah lagi ke depan, apa kabar manusia yang jatuh dari ketinggian lebih dari 100 meter dan berakhir di gulung ombak bercampur bebatuan karang? Heka berbaring menatap langit. Ia tekuk kedua lengan di bawah kepalanya digunakan sebagai pengganti bantal. Sementara Meissa lebih senang memadukan langit dengan lautan. Garis horison masih bisa terlihat, langit berbintang dan laut hanya kelam. Ia duduk melepas pandangannya keluar tebing.

"Sini, kukenalkan kau dengan bintang. Jangan belajar tentang tubuh manusia melulu, Ratu Sains sesungguhnya adalah Astronomi."

"Mana?"

"Lihat, kukenalkan dengan bintang paling ramah yang sering muncul di langit Indonesia. Orion. Ikuti telunjukku." Heka menuntun mata Messia perlahan, menyusuri tiap lekuk tubuh rasi Orion. Dari bintang tercerlang, bintang merah, dan gugus tiga bintang yang berjejer bak pasukan pengibar bendera. Orion sudah kujelaskan sebelumnya.

"Alfa Orionis, bintang berwarna merah menyala bak membakar langit itu namanya Betelgeuse. Beta Orionis, bintang putih kebiruan tercerlang keenam di langit bumi itu bernama Rigel. Dan tiga yang kecil berjejer, Alnitak, Alnilam, Mintaka. Orang jawa menyebutnya rasi Waluku, bintang bajak. Orion sendiri disebut bintang Belantik."

"Ada kisah dibaliknya?"

"Ada, Orion seorang putra Dewa Poisedon yang tampan dan pandai berburu. Dia jatuh hati pada seorang putri, lihat disana, itu sang putri. Namanya Pleiades. Orion terus mengejarnya, tapi tak kunjung mendapatkannya. Dan sampai nama mereka diabadikan di langit malam, seperti yang kita lihat, Orion masih mengejarnya di angkasa, tak kunjung mendapatkannya."

"Mereka tak sekedar bersinar ya, tapi punya kisah yang tak kalah indah dibalik cahayanya."

"Dulu aku ingin menceritakan ini pada seseorang, tapi sepertinya tak kan pernah terjadi."

"Siapa? Dia? Sudahlah Heka, kau diberikan mata oleh Tuhan untuk menatap masa depan. Seorang pengendara motor pun pasti jatuh kalau ia terus melihat kaca spion."

"Hah... aku masih tak percaya. Hidupku baru saja indah sebentar. Bahagia, menjadi pangeran, seorang batari, sepatu kaca, pahlawan yang beruntung, bagaimana tidak indah, semuanya indah. Hanya satu, cuma mimpi...

Aku seperti melayang ke ranah berwarna, menembus awan yang tak lagi putih: merah seperti kesukaannya. Terbang bersama memori: saat dia masih mencintaku. Hanya imaji!"

"Pujangga berpuisi!"

"Kalau menghapus aku dalam hidupnya bisa membuat sebuah bulan sabit terlentang turun di wajahnya, aku ikhlas dihapus dalam semua ingatannya."

"Teruskan!"

"Andai aku mati hari ini, aku ingin Tuhan meninggalkan separuh jiwaku di bumi. Tempatkan di jantung hatinya, agar aku bisa tersenyum saat tahu ia bahagia, dan menangis ketika melihat ia terluka."

"Cukup, sudah melankolisnya. Buka mata lebar - lebar, dunia ini terlampau indah kalau kau hanya fokus pada satu hal: pesakitan!

Kau boleh jatuh, kau manusia. Tapi tak harus lama, dunia semakin kencang berlari bersama mimpi. Kalau kau hanya duduk merasakan penderitaan, mimpimu akan terbang dibawa orang. Ayo bangkit kawan, tak hanya satu keindahan di bumi. Kau bisa cari di tempat lain."

"Aihh... katamu bangunkan aku."

"Gitu dong.. eniwei, mana Meteor Rainnya? sudah lewat jam 1."

"Ahh... tuan. Aku ingin akhir bahagia!"

"Tuan? Siapa maksudmu Heka? Kenapa kau berbicara pada langit?"

Aku Messia. Ya kan, Heka?

"Ya dia. Kau tak tahu? Kita ini hanya fiksi, dongeng semata! Kisah kita malam ini hanya sebuah karangan seorang manusia."

"Heka... aku gak ngerti."

Tak usah kau mengerti Messia. Jalani saja, dan percayakan semuanya padaku. Aku juga tak ingin ceritaku berakhir buruk.

"Kalau begitu, kenapa tak kau kirimkan Hujan Meteor di malam kami? Itu kan yang akan jadikan indah?"

Tidak akan Heka.

"Kenapa? Malamku jadi biru tanpa hujan cahaya itu."

Ini skenarioku, malammu menjadi biru itu menurutmu. Padahal aku merencanakan suatu kisah yang lebih manis untukmu. Seperti halnya aku, aku seorang manusia, kadang memiliki pikiran yang sama sepertimu tentang kehendak Tuhanku yang tak sejalan dengan keinginanku. Tapi kau tahu Heka? Seseorang mengajariku, 'Tuhan tak perlu izinmu terlebih dulu untuk berkehendak dalam kehidupanmu'. Baik menurutmu belum tentu baik menurutNya, dan baik menurutNya sudah tentu baik untukmu. Kau mengerti Heka? Mungkin kau perlu belajar dari air mata seorang ibu yang didurhakai anaknya sendiri untuk mengerti arti tulus dan ikhlas menyayangi. Dan mungkin juga kau perlu belajar dari air mata yang tersembunyi dari seorang ayah yang melepas putrinya diambil oleh orang lain saat ijab qabul pernikahan untuk mengerti arti sebuah kehilangan dan melepas seseorang.

"........."

"Aku masih gak mengerti."

Tak perlu dimengerti Messia, pikirmu tak akan sampai. Seperti halnya pikirku yang tak akan sampai bila mencari semua apa maksud Tuhan. Cobalah belajar dari bola lampu, kau tak mengerti bagaimana caranya ia bisa menyala tapi yang pasti kau tahu ia bisa menyala bila kau tekan stop kontaknya. Syukuri saja ini sudah terjadi. Dia sang maha penyayang, tak kan mungkin tega melihat hambanya menderita. Dia lebih dari apa yang kau pikirkan, bahkan Dia lebih dekat denganmu dari pada urat nadimu sendiri.

*lagipula dengan begini jadi lebih menarik kan? :p

5 komentar:

  1. wow.. i like it!! terutama crita ttg orion...

    BalasHapus
  2. Cerita Orionnya bagus (saya penyuka cerita benda2 angkasa)

    Tapi keseluruhan cerita ini... luar biasa

    Sampai harus dibaca lagi, untuk tahu siapa Aku, siapa Dia

    two thumbs up!

    BalasHapus
  3. saya jatuh cinta pada tulisan ini. terima kasih ya. Orion-nya manis sekali :) ringan, tapi berbobot. butuh "membaca" untuk menggali maknanya. cantik sekali dan terima kasih :)

    BalasHapus
  4. terima kasih ya atas apresiasinya. :)
    salam kenal...

    Ramadhan, Aditya.

    (nb. buat admin, maaf boleh diganti gak nama penulisnya. Bumi Pujangga Aditya itu nama email [baca: nama anakku nanti :p] aslinya Ramadhan, Aditya. terima kasih)

    BalasHapus
  5. Saya tidak (atau belum) menemukan karunia untuk berkata-kata seindah ini. Salut! Kalimat favorit saya adalah, "Sang ombak tak henti bergemuruh. Sepertinya ia benar benar kesal pada karang, tak pernah pelan ia menabraknya."

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!