Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 28 Agustus 2010

The Call

Stephie Anindita
@stephieanindita
http://pongostephiegmaeus.blogspot.com
Tema: FIRST LINE

hai2!
akhirnya bisa ikutan writing session lagi! :) :) :)
hehe, cerita ini terinspirasi oleh film pendek 'Doll' by Mouly Surya. saya memberikan link di akhir cerpen tadi, untuk pembaca yang ingin menontonnya juga.
thank you so much writing session!



Dia baru pulang dan ketakutan ketika mendengar telepon itu berdering. Gadis yang masih mengenakan seragam putih merah itu gemetar. Kaki kurusnya seolah tidak sanggup menopang tubuhnya yang mungil. Ia meraih gagang telfon dan berbisik setenang mungkin. “Selamat siang, rumah keluarga-...”
“Joan?” suara wanita di sana memotong kata-katanya.
Joan mendeguk ludah. “Iya, Tante Erin.”
“Kenapa lama sekali sih? Sudah dari tadi Tante menelfon!” bentak Tante Erin di seberang sana.
“Maaf, Tante Erin ... tadi saya sedang membuat PR.” Jawab Joan.
“Ck! Alasan saja kamu! Mana Mbak Inem?”
“Sebentar, Tante Erin ...” Joan membawa telfon cordless itu ke ruang tengah, tempat para pembantu sedang menonton TV dengan suara pol. Jeritan seorang gadis yang sedang dijambak rambutnya sambil ditampari oleh seorang wanita berdandanan menor itu terdengar memenuhi ruangan, sementara para pembantu yang berjumlah tiga orang itu menatapi layar dengan tatapan haus.
“Mbak Inem, telfon dari Tante Erin...” kata Joan.
Mbak Inem yang berbadan subur itu melonjak bangkit dan menyambar telfon itu. Joan menundukkan kepalanya, tasnya terasa jauh lebih berat ketika ia menyeret langkahnya menjauh.
“DASAR ANAK JALANG! KELAKUANMU MACAM PELACUR!” teriak televisi itu dengan suara keras, disusul lebih banyak lagi bunyi tamparan yang menyerupai bunyi cemeti, bersahut-sahutan dengan lolongan minta ampun.
Joan merasa perutnya mulas. Ia berlari ke lantai 2, ke kamarnya, masuk ke dalam kamar mandi kamar dan mengunci pintunya.

Malamnya, Joan tidak bisa tidur. Rasa berdenyut di punggungnya akibat lima kali sabetan ikat pinggang sudah mereda sejak Mbok Isah mengolesinya dengan balsem. Kini punggungnya terasa panas terbakar, tapi lebih panas lagi perasaan di hati Joan. Ia bangkit dari tidurnya, berjalan ke arah lemari bukunya dan mengambil sesuatu dari balik kardus ensiklopedi. Sebuah boneka Barbie.
“Kamu memang wanita jalang. Kelakuanmu seperti pelacur.” Bisik Joan, mengambil sebuah cutter dan menggorok leher Barbie itu. “Mati kamu. Mati...”
“Kenapa kamu datang ke rumah? Gara-gara kamu Mami pergi dan tidak kembali. Aku mau Mamiku. Aku mau Mamiku. Pergi sana kamu ke neraka. Mati dan membusuk di sana selamanya. Kembalikan Mamiku. Mati kamu perempuan jalang. Mati.” Bisikan Joan semakin parau,rasa panas di dadanya menggelegak, ia merasakan rasa ekstasi yang begitu meluap-luap... enak sekali rasanya membaret-baret boneka seperti itu, apalagi ia membayangkan Tante Erin yang saat itu dalam genggamannya ... tergolek tanpa daya sementara ia dengan leluasa bisa menyiksanya. Gantian!
“Huhh ...” setengah jam kemudian Joan terduduk lelah. Boneka Barbie itu tetap tidak putus lehernya, tapi Joan merasa cukup puas telah menjambaki rambut pirangnya yang indah dan menyobek-nyobek baju glamornya.
Joan merasa lega ... dan ia ingin tidur lelap sampai besok pagi. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, ia hanya punya waktu 4 jam lagi sebelum ia harus bangun ... mandi ... sarapan ... lalu sekolah ... PR-nya belum dikerjakan. Pasti besok ia kena marah ...
Joan menarik nafas tajam tiba-tiba, memeluk kedua lututnya. Ia teringat sesuatu... pada sepucuk surat yang sudah seminggu ia sembunyikan di dasar tasnya. Surat panggilan.
Bu Diah yang menulisnya sendiri. Ia marah karena memergoki Joan dan beberapa orang temannya kepergok men-download sebuah video di HP milik Joan. Padahal Joan tidak menonton video itu sama sekali. Teman-temannya yang berkata hendak meminjam HP Joan yang canggih. Melihat temannya tertawa cekikikan seru sambil sesekali menjerit ‘ih jorok’ Joan penasarn dan ingin ikut melihat, tapi salah seorang dari mereka menyikutnya keras. Sakit sekali karena sikutan itu tepat mengenai antara kedua dada Joan. Rasa itu kini menetap ... setelah kejadian itu terjadi.
Bu Diah tahu-tahu saja datang, merebut HP itu dan wajahnya berubah merah-ungu. “HP SIAPA INI?!” jeritnya. Takut-takut, Joan mengangkat tangan dan satu tamparan langsung mengenai samping tubuhnya. Ia diseret ke ruang KEPSEK untuk diadili. Sekolah pun memutuskan untuk memanggil kedua orangtua Joan. Bu Diah memberikan surat panggilan yang ditulisnya dalam waktu kurang dari lima menit.
“Saya mohon, Bu ... jangan panggil orangtua saya ...” rintih Joan. Tubuhnya gemetar membayangkan hukuman macam apa yang akan ia terima. Kemarin ia mendapat sabetan rotan di punggungnya karena Tante Erin menuduhnya diam-diam berpacaran. Luka-luka bekas ‘pelajaran untuk tidak bertingkah bagai pelacur’ itu masih ada sampai sekarang. Satu-satunya hal baik yang bisa Joan rasakan dari hukuman itu adalah ia bebas ikut pelajaran olah raga sampai waktu yang tidak ditentukan.
“Tidak bisa!” Bu Diah menggeleng, wajahnya angkuh. “Orangtua kamu harus tahu soal ini. Apa yang kamu lakukan itu sangat tidak bermoral! Melanggar norma suslia! Memalukan nama sekolah! Anak sekecil kamu sudah menonton video cabul ... ini harus dihentikan sebelum merusak anak-anak yang lain!”
Sia-sia Joan memohon dan meminta. Bu Diah bersikeras tetap memanggil orangtua Joan. Seminggu penuh Joan berdoa semoga Bu Diah lupa. Bu Diah itu ‘tua bangka pikun’, seperti kata teman-temannya. Karena itu siapa tahu saja Bu Diah lupa ... tapi ternyata tidak. Malah sejak 3 hari lalu Bu Diah megancam akan menelfon orangtua Joan sendiri kalau mereka tidak juga datang.
Joan gemetar hebat. Perutnya mual. Ia lari ke kamar mandi dan muntah-muntah. Setelah yang keluar dari perutnya hanya cairan pahit,tubuhnya terasa sangat lemas. Ia jatuh duduk di lantai kamar mandi, terisak-isak. “Indigo ...” bisiknya lirih. “Indigo, tolonglah aku ...”
“Sshh ... jangan takut, manis. Aku di sini ...” suara berat itu terdengar tepat di samping Joan. Joan bisa menghirup dalam-dalam wangi cengkeh yang kuat, wangi khas Indigo yang sudah sangat ia kenal. “Hei... jangan takut. Semua akan baik-baik saja. Aku janji.”
“No, it’s fucking not!” Joan menirukan kata-kata yang pernah ia dengar dari Tante Erin. “Besok mungkin Bu Diah akan benar-benar menelfon rumah, perempuan jalang itu akan memilih waktu dimana aku masih di sekolah dan ia yakin ada orang di rumah. Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk mencegahnya? Hah? Enggak ada! Aku enggak tahu hukuman apa lagi yang akan aku terima ... mungkin oom-oom berbadan besar yang suka datang ke rumah membawa orang untuk dipukuli di gudang belakang rumah itu akan menyeretku ke sana, lalu aku akan dipukuli habis-habisan... dulu laki-laki berbadan tinggi itu saja jadi lemas seperti tikus mati... bagaimana aku? Satu injakan saja dari mereka dan aku akan mati! Aku akan mati kesakitan!”
“Manisku, semua itu tidak akan terjadi. Tidak kalau kamu menuruti apa yang akan aku katakan.” Joan merasakan tangan Indigo menyentuh rambutnya, membelainya penuh sayang. “Bu Diah tidak akan menelfon siapapun besok. Pak KEPSEK juga akan lebih sibuk dengan urusan lain.”
“Urusan apa?” potong Joan nyaris tak percaya.
“Sini, sini, aku bisikin ...” Indigo berbisik di telinga Joan.
Joan tertawa mengikik. “Indigo kamu pintar sekali!”
“Apapun untukmu, Joan-ku yang manis ...”

Satu hari berlalu, setiap telfon berdering Joan masih sering gemetar...
Dua hari berlalu, Joan masih agak tegang tapi sudah lebih mendingan ...
Tiga hari berlalu ...
Empat hari ...
Lima hari ...
Dan akhirnya satu minggu berlalu ... Joan mulai tidak lagi mendengar suara telfon itu. Ia sudah bisa tenang-tenang duduk di kamarnya membaca buku cerita atau menyayat-nyayat wajah boneka Barbie-nya. Tidak ada lagi yang perlu ia takuti.

(Tulisan di papan pengunguman sekolah)
Berita duka. Telah meninggal dunia Ibu Guru kita tercinta : IBU DIAH kemarin pukul 11.35 WIB. Hari ini kegiatan belajar/mengajar hanya sampai jam 10, setelah itu akan dilanjutkan dengan melayat ke rumah duka.

“Asik kan, Joan?” Indigo berkata sembari nyengir lebar ketika mereka berdua sedang menggambar bersama di lantai kamar Joan.
“Asik sekali Indigo! Asik sekali!” Joan mengangguk sambil tertawa senang. Tangannya yang menggenggam krayon semakin bersemangat mencoret-coret kertas gambarnya. Gambar stick figure, mengenakan rok yang berarti orang itu perempuan. Terbaring di lantai. Ada gelas pecah di sampingnya. Dari mulut gambar perempuan itu ada coretan-coretan warna hitam yang berbentuk seperti awan.
Kring ... kring ... kring ... terdengar suara telfon samar-samar dari lantai 1.
Joan menatap Indigo. Makhluk aneh berbadan pria tegap tapi berkepala kelinci itu balik menatapnya dengan jenaka, matanya dijulingkan dan bibirnya menggerak-gerakkan cangklong yang mengepulkan asap berbau tembakau.
Joan menirukan ekspresi mata juling Indigo, dan mereka berdua pun tertawa keras.
Sementara itu telfon masih terus berdering.
Tidak ada yang mau perduli.


This story is highly inspired by a short-movie ‘Doll’ by Mouly Surya. For anyone who is curious, the movie can be seen in youtube. Here’s the link: http://www.youtube.com/watch?v=7GqCVUZEnQs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!