Oleh Arden Setiawan (@NamelessHero)
Pandangannya terpaku pada sosok bocah yang bergerak-gerik tidak wajar itu. Matanya menyorot kesana kemari, tubuhnya menegang karena cemas. Setelah memastikan sekitarnya telah aman, tangan yang mungil itu menyentuh bahan kulit yang sudah ia incar sejak tadi. Terasa dingin di tangannya, atau apakah itu hanyalah refleksi perasaannya saat itu ? Dingin sedingin salju ?
Dengan kecepatan tinggi sang sepatu melesat masuk ke dalam saku bajunya. Saku itu ada di lipatan dalam, sebuah saku rahasia tempat penyimpanan benda-benda yang tidak boleh terlihat orang lain.
Tahap pertama misi bocah itu telah selesai. Tahap kedua adalah melarikan diri dari sana . Gerak mencurigakan akan mencuri perhatian, sehingga ia memilih bertingkah laku pura-pura bodoh, perlahan berjalan meninggalkan toko itu layaknya pelanggan tanpa dosa. Tidak masalah baginya. Toko itu terlalu penuh oleh ibu-ibu pengejar obral, sehingga pelayan toko tidak menaruh minat pada anak kecil kumal berpakaian kumal seadanya seperti dirinya.
Ia menyaksikan semua kejadian itu dengan lirih. Hanya diam saja tanpa berkata apa-apa.
Itu namanya mencuri. Mencuri itu tidak baik.
Seharusnya ia menghentikan bocah itu. Menyetopnya di saat-saat kritis. Memberi petuah bijak akan hidup yang sulit, dan jangan dipersulit dengan mempersulit orang lain, karena pada akhirnya sang pelayan tokolah yang akan dimarahi oleh bosnya.
Tapi toh ia hanya diam saja. Hanya pandangannya yang menusuk, yang sayangnya justru tidak disadari oleh sang pelaku kriminal.
Oh, jadi mencuri sepatu di toko itu sudah dibilang kriminal ya ? Lalu bagaimana dengan para koruptor dan pembunuh-pembunuh ? Pantaskah kejahatan berskala sepuluh ribuan –harga yang pas dan bahkan kemahalan untuk sepasang sepatu butut di toko obral- disamakan dengan kriminil-kriminil kelas kakap yang disebut di atas ?
…Sudahlah, kriminal ya kriminal, tidak beda antara mencuri debu di jalan dengan mencuri emas di tambang. Mencuri adalah mencuri, titik.
***
Selagi ia melamun, sang bocah telah pergi ke tempat lain. Kali ini toko busana yang cukup besar. Dipandangnya sejenak etalase kaca yang menarik perhatian banyak orang. Dipatrinya bentuk topi tersebut di matanya. Setelah yakin tidak akan melupakannya, ia melangkah masuk dengan kikuk.
Sekejap pandangan orang-orang terpaku padanya, tapi lalu sekejap pula kembali pada kesibukan masing-masing; memilih-milih barang tidak berguna yang seakan tanpanya mereka tidak bisa hidup. Si bocah tadi hanya dianggap seorang pengamen, atau anak jalanan yang tersasar. Bagaimanapun, tidak akan mengganggu urusan mereka. Biar pelayan toko yang mengurusnya.
Sang bocah beringsut ke arah pojokan berlabel “Topi Impor”. Di sana berjejer topi dalam berbagai bentuk dan ukuran, dari kecil ke besar, dari yang biasa hingga yang absurd. Susah juga untuk mengerti gaya orang luar negeri. Kok mau-maunya mereka memakai barang berbentuk aneh bin ajaib tersebut di kepala mereka ? Dan barang tersebut dipaku dengan harga yang cukup tinggi. Makin terasa absurd.
Pandangannya kembali tertuju ke si bocah. Ia telah mengikutinya ke toko ini, hanya mengamati dari kejauhan. Orang-orang tadi bahkan tidak menengokkan kepalanya saat ia melangkah masuk. Mungkin karena busananya lebih laik daripada si bocah tadi, atau mereka sudah bosan menengokkan kepala setiap ada yang masuk.
Sekali lagi ia mengamati saat si bocah memasukkan sebuah topi, lagi-lagi, ke saku bajunya yang lain, kali ini bagian sebelah kanan. Topi tersebut bermodel sama dengan topi di etalase tadi. Sakunya sangat besar, topi tersebut bisa masuk dengan mudahnya ke dalam situ. Sungguh tidak terbayangkan.
Tiba-tiba ia melihat masalah. Seorang pelayan toko menghampiri si bocah, yang masih terpaku kaku. Apakah ia terdiam karena merasa berdosa melakukan dua pencurian berturut-turut ? Atau, penjelasan yang lebih logis, si bocah juga menyadari pelayan itu mendekat ke sana , sehingga ia terdiam karena takut ?
“Ada yang bisa dibantu, dik ?” Si pelayan toko bertanya dengan senyum di bibir, tapi sorot matanya dihiasi kecurigaan.
Ia ingin berteriak, lari !
Si pelayan toko bergerak dengan kecepatan seekor cheetah saat menyergap mangsanya. Ia hempaskan pakaian si bocah, memperlihatkan saku dalam darimana si topi menyembul keluar.
“…Pencuri kecil !”
Sekarang ia berteriak, Lari !
Lari !
Cepat lari !
Si bocah menjatuhkan rak pakaian terdekat, yang serta merta mengagetkan si pelayan toko. Kesempatan sedetik itu segera ia gunakan untuk melarikan diri. Si pelayan berteriak-teriak, “Pencuri ! Tangkap anak itu !”
Teriakannya ditanggapi dengan kerumunan orang yang bergegas mengejar si bocah. Tapi ia terlalu cepat, terlalu muda, terlalu lincah bagi mereka. Setiap jejaring tangan yang ingin menangkapnya dilewatinya dengan kepiawaian seekor belut. Seketika ia telah keluar dari toko tersebut, berlari menembus kerumunan dan hilang di antara orang banyak. Pelayan toko tadi keluar dengan nafas tersengal, mengumpat tanpa tahu malu.
Hatinya senang dan sedih di saat yang sama. Ia baru saja menyaksikan satu lagi pencurian, oleh anak yang sama, dan ia tetap tidak bertindak apa-apa. Tidak menghentikan. Tidak menegur. Hanya mengamati.
Oh tunggu, ia menyuruh si anak lari. Berarti ia ikut bertanggung jawab atas kriminalitas ini ? Seorang rekan ?
Tidak tahulah.
***
Si bocah sudah menghilang dari pandangannya. Si bocah berpakaian kumal, kaus kotor kumal dengan jaket kumal yang dipakai seadanya, yang ditemukan di tempat sampah. Wajahnya sebenarnya polos berseri. Akankah wajahnya akan ternodai oleh dosa yang diperbuatnya hari ini ? Hilangkah satu lagi jiwa yang polos bersih dari dunia ini ?
Langit mulai mendung.
Ia menyusuri jalanan kota yang mulai sepi. Semua orang bergegas menuju tempat tujuan, mencoba mengejar pertanda hujan yang akan segera turun, berharap dapat mencapai tempat berteduh sebelum tetesannya menyapu bumi.
Seorang wanita berpapasan dengannya, umurnya sekira-kira 20-an tahun. Mata mereka bertemu satu sama lain. Si wanita mendesah. Sedih. Pilu. Seakan ia mampu membaca kepedihan dalam dirinya yang harus menyaksikan dua kejahatan di waktu singkat. Tangan sang wanita menyapu udara, mencoba mengusap kepalanya untuk menghibur. Tetapi di tengah jalan ia berhenti. Senyum tipis menghias wajahnya yang cantik. Dengan lembut ia berujar,
“Lekaslah pulang.”
Si wanita perlahan berjalan melewatinya. Saat itu rintik hujan mulai turun.
***
Ia sampai di sini. Tempatnya beristirahat kini. Boleh juga disebut rumah. Matanya membelalak perlahan, tetapi kembali seperti semula dalam waktu singkat. Ia telah menduganya, tetapi mengalami dan membayangkan adalah dua hal yang berbeda. Mengalami lebih berat.
Hatinya miris.
Di gundukan tanah itu tergeletak sebuah topi dan sepasang sepatu. Topi yang tadi dicuri si bocah. Sepatu yang tadi dicuri si bocah. Di dekatnya ada seuntas bunga liar, bunga di pinggir jalan yang nama dan jenisnya orang biasa tidak pernah repot untuk mencari tahu. Di bawah sang bunga adalah secarik kertas berhias tulisan tangan yang seperti cakar ayam. Tapi ia bisa membacanya.
Dan makin menjatuhkannya dengan kesedihan.
“Kak, aku tahu kakak sangat menyukai topi dan sepatu ini. Kakak selalu melihat topi ini di etalase toko itu kan ? Dan kakak selalu ingin sepasang sepatu baru, sepatu kakak yang lama sudah usang kan ? Aku berusaha keras mencari topi dan sepatu ini, karena aku tahu kakak sangat menginginkannya.
Aku minta maaf karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk kakak…dan, terima kasih untuk semuanya, kak…
Adikmu tercinta.”
Hujan sekarang turun dengan deras, menerjang tanah tanpa ampun. Topi yang mahal itu basah oleh hujan, tidak diragukan akan lapuk dalam waktu singkat. Apalagi sepasang sepatu murah dari toko obral.
Di depan batu nisannya, makam seadanya yang dibuat asal-asalan, ia tersenyum pahit. Haruskah ia senang karena adiknya berjuang demi dirinya ? Tetapi bila itu hasil curian, apakah itu namanya berjuang ?
Ia ingin menangis, tapi ia seharusnya tidak bisa menangis. Hantu tidak bisa menangis.
Tidak apa-apalah, toh hujan sudah mewakili air matanya.
Keren... :) pantas jadi BOTN
BalasHapus