Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 29 April 2011

Genggaman Mimpi

Oleh: Triayu Rahmadiah (@aiiusisebelas)


Sudah seminggu aku terbaring di rumah sakit. Kejadian itu memberikan trauma terdalam buatku.
***
”Aduuhhh, astaghfirullah ...ya Allah sakittt ...”, aku mengerang kesakitan dengan badan tergeletak di bawah ring. Darah segar mulai membentuk aliran di sekitar ring basket. Badanku sudah tak cukup kuat menahan sakit ini, hingga akhirnya aku tertidur entah berapa lama. Terakhir yang aku ingat adalah sebuah tulang yang menyembul dibalik balutan daging tanganku.
Ya, peristiwa itu dimana saat aku tak cukup kuat beradu jumping dengan tim lawan hingga akhirnya aku terjatuh dan tak sengaja badan gempal sang center menghempas tubuhku dan tulang-tulang kakinya yang besar membuat barisan tulang-tulang tanganku sedikit terganggu.
Ngilu rasanya jika harus mengingat kejadian itu lagi.
***
” Rasya udah bangun Nak”, sapa mama lembut sambil membelai rambutku. Ku lihat juga papa berdiri dengan senyum manis disudut bibirnya di samping tempat tidur rumah sakit ini.
Aku belum kuat untuk menggerakkan bibirku mengeluarkan sebait kata. Lama aku menerawang langit-langit rumah sakit yang putih. Bau-bau obat juga sangat menyengat. Sangat kontras.
Sejak kecil aku benci rumah sakit. Bagiku berada di rumah sakit seperti mendekati kematian saja. Entah darimana aku membuat kesimpulan seperti itu.
Balutan perban di tanganku membuat ruang sempit pergerakkanku. Setelah ku rasa cukup kuat untuk bersuara, aku pun angkat bicara, ”Ma ..pa ..Rasya mau pulang”.
”Iya sayang, tapi tunggu izin dari dokter ya”, kata papa.
”Rasya maunya sekaraaanngggg ....”, teriakku sambil menangis. Aku tak mau berada disini terlalu lama. Terbaring lemah tak berdaya disini membuatku semakin sedih dengan keadaanku sekarang. Tanganku patah. ”Aku tak bisa bermain basket lagi”, jeritku dalam hati.
Mama dan Papa tak kuasa melihatku terus-terusan menangis minta dipulangkan. Akhirnya setelah berjibaku dengan dokter, akhirnya dokter pun mengizinkan aku untuk pulang dan beristirahat di rumah.
***
Sesampai di rumah aku langsung berlari menuju kamarku, mengunci pintu. Aku tak mau diganggu. Kejadian patah tangan ini merupakan musibah besar bagiku. Minggu depan adalah keberangkatanku menuju Basketball Camp di Bandung sebagai perwakilan dari sekolah. Mana mungkin aku pergi dengan keadaan cacat seperti ini.
Aku terus menangis memandangi kostum basket kebanggaanku yang akan ku pakai minggu depan, sepatu basket yang baru dibelikan Papa dan ....HAHHH !!! Semuanya berantakan !!!
***
Dengan kondisi yang masih sangat lemah, ku putuskan untuk pergi ke sekolah dan ikut latihan basket. Papa dan mama tak mampu menolak keinginanku. Pelatihku bersikeras melarangku untuk latihan basket sementara waktu karena kondisiku yang belum pulih ini. Namun, aku terus memaksa.
Ku coba untuk mendrible bola menggunakan tangan kiriku yang masih waras. ”Susahnya”, jeritku dalam hati.
”Nggak. Pokoknya aku nggak boleh nyerah. Aku bisa ..ya aku bisaa ”. Aku terus menyamangati diriku sendiri. Teman-temanku sedih, melihatku yang kesusahan mendrible dengan tangan kiri. Ya, semua orang tahu kalau speed drible tangan kanank tak bisa diragukan lagi. Tak seorangpun mampu menstealnya, selain itu tembakan jarak jauhku yang menjadi ujung tombak yang membuatku terpilih mengikuti Basketball Camp minggu depan. Tapi itu tinggal impian. Setelah ku dengar pelatihku mengganti aku sebagai perwakilan dari sekolah.
”Maaf Sya. Bapak tak tega melihatmu harus berjibaku latihan mengejar ketinggalan sedangkan eventnya minggu depan. Bapak harap kamu dapat berbesar hati”, kata Pak Andi mencoba memberi pengertian kepadaku.
Aku berlari menangis meninggalkan kantor guru. Ku tuju gedung olahraga yang terletak di belakang sekolah. Sepi. Hanya suara tangisku yang memecah keheningan.
***
@ GOR C-tra Arena
Sebenarnya aku tak ingin kesini. Melihat mereka bertanding membuat hatiku semakin sakit, bahkan melebihi sakitnya kenyataan yang ku rasa.
”Seharusnya aku ada disana”, gumamku.
Tiba-tiba seseorang mengagetkanku, ”Hai”. Lama aku memandangi laki-laki yang duduk disebelahku itu, ”Sepertinya aku mengenalnya. Tapi siapa ya?”.
”Rio”, katanya sambil mengulurkan tangannya. Aku membalas uluran tangannya, masih dengan tanya besar.
Setelah cukup lama aku mengingat, aku mengetahui kalau laki-laki yang bernama Rio itu adalah salah satu pemain terbaik saat ajang Nasional tahun kemarin.
Seperti bisa membaca pikiranku saja Rio langsung menjawab, ”sudah tahu kan siapa gue”. Aku hanya mengangguk tersenyum.
”Emang sih sakit saat kita tak bisa berada di tempat yang sangat kita idam-idamkan sejak lama.Tapi yah ..namanya juga musibah”, katanya. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan , ”Kok lo bisa ada disini Io”.
”Dengan cara ini aku bisa menghirup sedikit energi yang terkandung disini. Aku mencoba mencari sedikit kekuatan untuk bisa bangkit lagi”, katanya. Ku lihat dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki, ”Gak ada apa-apa”.
”Semua orang memang menganggapku sehat wal afiat, tapi sebenarnya tidak. Kakiku tak dapat berlari cepat seperti biasa. Tulangku remuk”.
”Waduh lebih parah dari gue tuh”, pikirku. ”Tapi aku masih punya kemauan, punya mimpi untuk bisa berdiri dimana aku bisa hidup lebih berarti”. ”Disana”, tunjuknya kearah lapangan. ”Sudah setahun aku memulihkan ini. Hampir putus asa rasanya, tapi ...”. ”aku masih punya mimpi yang bisa menopangku untuk mampu berlari seperti dulu”.
Rio seperti membawa energi yang luar biasa. Aku yang sebenarnya hampir putus asa, kini terasa semangat lagi. Energi positif Rio memenuhi dadaku.
Belum sempat wasit meniup peluit tanda berakhir pertandingan, aku sudah memutuskan untuk pulang.
Ku ambil kostum basket dan sepatuku, ku tuju lapangan basket di belakang rumahku. Aku terus berlatih dengan segalanya kekurangan yang ku punya.
Hari terus berganti hingga sampailah saat dimana seleksi basket. Kali ini dengan event yang berbeda. Pemain terpilih akan mengikuti Camp di Amerika dan menjadi wakil dari Indonesia di ajang dunia tersebut.
Hasil kerja kerasku membuahkan hasil yang memuaskan. Puji syukur, aku terpilih menjadi salah satu pemain terpilih. Aku kini dapat bermain seperti biasa lagi, tapi kali ini tidak menggunakan tangan kananku. Tangan kiriku memiliki kekuatan tersendiri. Inilah yang menjadi penilaian plus para selector. Dan yang sangat mengejutkan adalah aku bertemu Rio lagi.
“Hai”, kata Rio basa basi.
“Hai”, balasku.
“Gak nyangka ya kita bisa bertemu lagi disini”, kataku. Rio hanya tersenyum.
“Mana tanganmu yang menyebalkan itu”, kata Rio mengejekku sambil menyenggol bahuku. Aku tak mau kalah membalas ejekannya, “Mana kakimu yang menyebalkan itu”.
Setelah puas saling ejek, kami tertawa dan sejenak beristirahat sambil menunggu keberangkatan. Di bangku tunggu bandara itu adalah saksi pencapaian mimpi kami.
”Tuhan memberikan dua tangan untuk saling menggenggam satu sama lain dan dua kaki untuk berjalan beriringan saling mengasihi”. Ku rasakan getaran panas mengaliri tangan dan kakiku saat Rio menciumku mesra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!