Oleh: @stellanike
“Kau percaya kalau kukatakan aku ini—atheis?”
Ada yang khas dalam suaranya, seperti biasa. Nada-nada polos yang menggoda, menawan hati siapapun yang mendengar, membuatnya nampak seperti gadis kecil tak berdosa. Namun juga diwarnai lantunan lembut yang nakal, yang memperingatkan untuk selalu waspada akan jebakan yang dibuat oleh kata-kata. Suatu kebingungan—itulah yang diincarnya. Membuat sang lawan bicara lengah dan jatuh dalam tipuan manisnya.
Sang pemuda cukup awas untuk tak terpengaruh buaian merdu sang gadis. Ia masih terus menatap buku yang terbuka di hadapannya, tak menghiraukan sosok yang berdiri di hadapan, di bagian seberang meja tempatnya duduk dan membaca. Sebisa mungkin ia berusaha mengacuhkan siluet itu, yang cukup dikenalnya sebagai seorang biang onar.
Tidak, kali ini ia tak mau terseret dalam pertengkaran yang biasa mereka lakukan tiap bertemu.
“Hei. Kau mendengarku kan?”
Kursi digeser, lalu diduduki dengan tenang. Dua tangan kurus sang gadis diletakkan di atas meja, jemarinya mengetuk pelan lapisan kayu dengan irama yang ritmis, menanti jawaban dari sang pemuda. Tanpa perlu mendongak dan melihatnya, sang pemuda tahu ada seulas senyum ceria di wajah mungil gadis itu, juga binar-binar riang di manik cokelatnya. Ia sudah cukup hapal dengan raut wajah yang gadis yang suka sekali mengganggunya.
“Hei, hei, hei.”
Giginya digertakkan kuat-kuat, meredam amarah yang meningkat drastis. Fokusnya terpecah sedari tadi semenjak gadis itu melangkah mendekatinya. Barisan-barisan kata yang dibaca nampak tak lagi bermakna, terasa layaknya omong kosong yang tak dapat dicerna. Ingin ia mengusir sang gadis, tapi ada yang mencegahnya. Sesuatu dalam suara itu, yang terdengar mendesak samar-samar.
Sang pemuda mendengus. Pikiran yang bodoh.
“Hoi.” Jeda. “Aku lempar buku lho.”
Mau tak mau sang pemuda pun mendongak, balas memandang sang pengusik ketenangan dari balik lensa kacamata yang tebal. Sorotnya yang tajam menghujam, mengucap tanya tanpa kata. Tangannya menutup buku, sadar bahwa ia takkan mendapat waktu baca miliknya lagi sebelum gadis itu pergi. Kan dia cewek bawel yang tak bisa diam.
“Percaya,” akhirnya sang pemuda mengucap. Tegas tanpa ragu. Punggungnya disandarkan ke belakang, menempel pada sandaran kursi yang tak dapat dikatakan nyaman. Lengannya dilipat, disilangkan di depan dada. Lagaknya santai, namun tetap bersiaga. Tak ada yang dapat menduga apa yang akan dilakukan lawan bicaranya. Bisa saja gadis itu betulan melempar buku ke arahnya.
Bibir ranum itu merekah, membentuk seringai lebar. Ekspresi wajah sang gadis nampak lebih rileks setelahnya, seolah-olah lega. Kilatan entah apa mampir di kristalnya yang bening, yang membuat sang pemuda mau tak mau menatapnya dengan penuh perhatian. Siku ditumpukan pada meja, sementara tangannya menyangga kepala.
“Kenapa?”
Satu kata yang terdengar menantang, mengharap jawaban, meminta penjelasan. Tapi juga ada rasa ingin tahu dan heran yang melebur. Seakan-akan sang gadis ragu bahwa yang ditanya betulan percaya—namun sekaligus yakin bahwa yang diungkapkan oleh sang pemuda adalah fakta.
Alisnya terangkat. “Ada seseorang yang menceritakannya,” sahut sang pemuda. Singkat. Dengan nada ketus yang disamarkan sebisa mungkin. Senyuman miring tercetak di wajah.
“Oh.” Matanya membulat sempurna, binarnya meredup sebagian. Sang gadis nampak tak mengharapkan jawaban macam itu. Kekecewaan dan kebingungan terlihat jelas di mukanya, walau kemudian ditepis jauh-jauh. Ia mengangkat bahu seolah tak peduli (tapi sang pemuda dapat melihatnya, sang gadis menelan jawaban itu dan memasukkannya dalam hati). “Kalau kukatakan aku ini—anak haram?”
Keningnya berkerut. Oke, ada apa ini sebenarnya? Kenapa sang gadis menanyainya dengan pertanyaan-pertanyaan macam begini? Jebakan jenis baru? Permainan aneh yang ditemukannya entah darimana? Atau hanya ingin menghabiskan waktunya yang berharga hanya untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting begini?
“Percaya,” lagi sang pemuda menjawab. Tatapan sang gadis yang memiliki suatu sihir sepertinya (oh dasar setan manipulatif kecil) mendorongnya untuk melanjutkan dengan enggan, “Aku melihat biodata milikmu di buku catatan guru. Tak ada nama ayah.”
Kekecewaan masih nampak, lebih dalam dan lebih jelas untuk terlihat. Sang gadis mengangguk-angguk. Senyumnya dipaksakan muncul, begitu polos dan manis—tapi sang pemuda tahu racun apa yang berada di baliknya. “Mengenai sifat asliku?” Ia mencondongkan tubuhnya lebih ke depan, mengubah senyumnya menjadi cengiran lebar. “Licik dan culas. Pendusta dan bermuka dua?”
Hela nafas panjang sebelum menjawab ogah-ogahan, “Aku tahu.” Melemparkan pandangan kesal. Serius deh, ia membiarkan waktu membaca hanya untuk meladeni bocah dan pertanyaan anehnya ini? “Aku percaya kau ini serigala berbulu domba.” Kali ini tak perlu tanda-tanda dari sang gadis untuknya melanjutkan, “Di mukaku kau menyebalkan, bawel dan tukang pukul.”
Sang pemuda mengelus pipinya yang pernah menjadi korban kemarahan si gadis. Meringis sekilas kala mengingat rasanya. “Tapi di hadapan orang lain kau langsung bersikap manis dan pura-pura kalem. Sok baik. Yang lain berkata kau ini ceria dan polos. Padahal sama sekali nggak.” Mengernyit sedikit, dan mengomentari dengan jujur, “Itu memuakkan omong-omong.”
Sejenak wajah sang gadis disaputi muram dan duka. Hanya sebentar, tapi cukup untuk diamati oleh sang pemuda, membuatnya merasa bersalah—tapi ia memang mengucap kenyataan. Oh salahkan saja sifat dasarnya yang memang cuek dan tidak perhatian terhadap perasaan yang diajak bicara. Memang begitu sifatnya, mau dibagaimanakan lagi?
“Memang,” sang gadis menyetujui. Senyumnya tak lagi terkesan ceria, seolah ia kehilangan semangat. Suaranya meski begitu masih terdengar berapi-api ketika mengucap pertanyaan selanjutnya. “Kalau kukatakan aku menyukaimu. Kau percaya?”
Ha! Ini jelas adalah jebakan.
Mata sang pemuda disipitkan, menatap penuh selidik dan curiga. Mencoba mencari makna yang tersembunyi dalam kalimat barusan. Percaya? Hah, yang benar saja! Mana mungkin ia percaya akan dusta macam itu. Darimana gadis itu bisa menyukainya coba? Tiap kali mereka bertemu selalu ada kekerasan fisik yang menghiasi percakapan. Jelas bukan jenis perbincangan antar manusia yang menyukai satu sama lain.
“Pasti tidak,” akhirnya sang gadis menjawab sendiri. “Ya kan?” Keceriaan tersapu hilang sepenuhnya dari rautnya. Binar-binar dalam kristal cokelatnya tiada, entah sejak kapan. Senyumnya masih ada, tapi seakan ia terukir hanya sebagai formalitas, karena sang gadis terasa tak tersenyum. Wajahnya… penuh luka yang perih menyakitkan.
“Karena tak ada yang memberitahumu,” ucapnya, terdengar getir. Ada gemetar dalam suaranya. Sang pemuda merasakan dadanya sendiri teriris pelan kala mendengar kalimat-kalimat selanjutnya. “Karena tak ada bukti tertulis yang menyatakannya. Karena orang lain tak menceritakannya. Benar?”
Kursinya tergeser mundur saat sang gadis berdiri dengan lunglai. Sorotnya muram, namun sepasang manik miliknya menatap tegas. “Aku memang memasang topeng di hadapan orang lain.” Berhenti sejenak untuk menghela nafas. “Tapi aku selalu melepasnya di hadapan satu orang.” Menyunggingkan senyum miris. “Harusnya kau tahu aku selalu jujur padamu.”
“Aku—”
“Yang kau percayai hanya orang lain, bukan aku,” sela sang gadis. “Selama ini aku merasakannya samar-samar dan berharap salah. Tapi ternyata benar. Kau—sama sekali tak mempercayaiku.”
Saat itulah kesadaran menyentakkan sang pemuda tanpa ampun. Membuatnya memikirkan bagaimana orang lain yang tertipu mentah-mentah sementara dirinya sendiri tidak. Bagaimana ia melihat cara si gadis menyebarkan jaring kebohongan yang tak nampak, namun terlihat jelas di matanya. Bagaimana ia mengetahui sisi lain gadis itu—yang seharusnya tak mungkin ia sadari jika… sang gadis sendiri yang mengungkapnya di mukanya.
“Aku percaya padamu lho. Bahkan waktu kau berbohong.” Yang terpeta di wajahnya adalah sifat yang dimiliki oleh setiap bocah yang belum dewasa—polos dan kekanak-kanakan. Tapi sang pemuda masih tak dapat mempercayainya. “Aku percaya sepenuhnya. Sayangnya kamu tidak percaya padaku.” Tertawa kecil yang terdengar begitu memilukan. Melambaikan tangan perlahan. “Selamat tinggal kalau begitu.”
Dan dengan itu, sang gadis berbalik, berjalan menjauh. Punggungnya tegap, namun terlihat begitu rapuh.
Sang pemuda terdiam di duduknya, membisu. Ditemani keheningan mencekam yang meremas-remas hatinya. Ia selama ini melihat sang gadis berdusta sepanjang waktu. Salahkah ia jika tak mempercayai gadis itu? Toh yang salah adalah bocah itu, si bocah yang penuh tipu daya, si bocah menyebalkan yang tahu-tahu mengoceh tak jelas soal kepercayaan, si bocah yang mengatakan ia menyukainya.
Bagaimana ia tahu sang gadis tak membohonginya? Ia terlalu banyak melihat dusta terucap dari bibir itu pada orang lain. Apa yang membuat sang gadis hanya jujur padanya? Apa yang membuat sang gadis mempercayainya? Apa yang membuatnya—laki-laki yang biasa-biasa saja—istimewa?
Kalau kukatakan aku menyukaimu. Kau percaya?
Dadanya kian sesak oleh kebingungan.
Ingin percaya, tapi tak bisa. Pikiran dan hati berseteru. Pernah merasakannya?
FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!