Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 30 April 2011

TOPI ITU SEPATU, SEPATU ITU TOPI


Oleh : @mazmocool

Sepasang kaki bergetar di sebuah halte angkutan. Sendiri. Tinggal lima puluh langkah lagi dia akan menjejakkan kakinya di tempat semestinya. Tempat dimana dia bisa tiduran saat hujan turun menyapa bumi. Seperti saat ini. Saat seharusnya dia bisa bercengkrama dengan bonekanya. Boneka yang selama ini menemani saat-saat sendirinya ketika orang tuanya larut dalam kesibukannya masing-masing.

Hawa dingin menembus kulit tubuhnya, tatkala angin lembab menyapa tubuhnya yang terbalut pakaian seragam SMA. Hawa dingin itu seperti menambah kebekuan bagi hatinya untuk mengambil sebuah tindakan. Kebekuan hati yang berujung pada sebuah keraguan. Keraguan pada langkah selanjutnya setelah dari halte. Apakah dia langsung pulang dengan kondisi seperti ini ataukah mampir ke dokter terlebih dahulu.

Wajah gadis bermata mungil dibalik topi kain yang sudah agak lusuh itu terlihat meringis menahan sakit pada telapak kakinya. Luka yang menganga akibat keteledorannya pada saat dia turun dari angkutan. Semua karena niatnya yang berusaha mengamankan sepatu barunya dalam tas hitamnya agar tidak basah oleh kubangan bekas hujan. Tanpa sengaja telapak kakinya menginjak pecahan kaca. Darah berwarna merah kecoklatan nampak masih menggenang di sekitar telapak kakinya. Luka yang membuat tidak memungkinkan untuk mengenakan kembali sepatunya.

Dalam kesendirian di halte kala hujan itu, dia masih belum bisa memutuskan. Dia merutuk dalam hati saat dia menyesal karena tidak membawa kaos kaki. Kaos kaki yang sebenarnya bisa dijadikan pembalut sementara untuk kakinya yang luka. Dia mulai menyalahkan sopirnya yang hampir tiga minggu tidak dapat mengantarnya ke sekolah karena sakit demam berdarah.  Sebenarnya dia tahu kondisi lingkungan rumah sopirnya yang tidak sehat, sehingga si sopir bisa saja terserang penyakit kapan saja. Tapi dia tidak peduli akan hal itu, yang dia pedulikan hanyalah dirinya sendiri. Buliran air mata hampir saja menetes dari sudut matanya, saat mendung dalam pikirannya menjadi terang saat hujan tinggal menyisakan rinainya. Dia mulai menyobek kain halus topi kesayangannya dan menyulapnya menjadi sebuah bentangan kain yang bisa digunakan untuk membalut luka di kakinya.

Meskipun dia merasa berat tapi dia memaksakan tekadnya untuk melakukan hal itu. Meskipun harus mengorbankan topi kesayangannya. Dengan tertatih dia menyatukan langkah berjingkatnya diantara rinai hujan yang tipis itu. Sementara tangan kirinya mengangkat rok panjangnya, tangan kanannya memayungi kepalanya dengan tas yang berisi sepatu barunya. Aktivitas mulai nampak di balik rinai hujan siang itu. Tubuh-tubuh agak basah mulai menghiasi jalanan berlubang yang dilaluinya.

Tak sampai lima belas menit, sampailah dia di rumahnya yang megah. Dilemparkannya tas berisi sepatu begitu saja dan tergeletak pasrah di teras rumah. Dibukanya ikatan kain yang membebat lukanya.  Dengan bantuan pembantunya luka di kakinya pun mendapat perawatan. Perih dia rasakan saat obat itu mencoba memberikan pertolongan pertama. Diapun segera masuk ke kamar dan mengganti pakaian seragamnya yang berhias titik-titik hujan di beberapa bagiannya.

Dia bersyukur karena akhirnya dia bisa beristirahat. Direbahkannya raga lelahnya di atas kasur empuknya. Dia pun memeluk boneka kesayangannya. Tiba-tiba angannya tertumbuk pada peristiwa yang dia alami barusan. Peristiwa bisul di kakinya yang pecah barusan memberikan dia banyak pelajaran hidup. Pelajaran hidup tentang kehidupan manusia yang bagaikan topi dan sepatu. Dia menjadi sadar bahwa dalam hidup yang berada di atas tak selamanya tetap di atas, seperti topinya yang dia gunakan untuk membebat luka bekas bisulnya yang pecah. Pelajaran lainnya yaitu yang berada di bawah pun suatu saat bisa menjadi di atas, seperti sepatu barunya yang memayunginya saat dia berusaha melindungi tubuhnya dari hujan. Penyesalan menghampirinya dan mengubahnya menjadi bulir air mata di sudut matanya. Air mata yang mengalir dari penyesalan akan sikap buruknya tadi yang menyalahkan sopirnya yang sedang sakit. Dia menyadari tidak seharusnya dia seperti itu, karena bagaimanapun juga sopirnya telah banyak berjasa bagi keluarganya. Gadis itu pun terisak sambil berdoa dalam hati semoga sopirnya cepat sembuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!