Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 29 April 2011

Tangan Ibuku

Oleh: @meiizt



Tangan ibu adalah tangan paling hangat yang pernah kukenal. Jemarinya yang kuat dan kulitnya yang halus selalu menguatkanku dari kegoyahan apapun. Sampai sekarang, setelah aku menjalani hidup berumah tangga dengan Mas Fadly, hal ini tidak berubah.
“Erni, nduk, kamu kenapa?”
Suatu hari ibuku datang ke rumah, saat Mas Fadly sedang bekerja. Dan aku menangis di pangkuannya. Tangan ibu membelai lembut lebam-lebam biru yang membekas di lenganku, di punggungku, dan di pipiku. Aku hanya bisa menjawab dengan tangisan.
“Sabar ya, Nduk… Gusti Allah selalu bersama orang-orang yang sabar, Nduk...”
Aku sebisa mungkin menahan tangis, lalu kutatap wajah tuanya, kutatap dalam-dalam matanya yang masih bersinar itu.
“Iya, Bu. Erni berusaha sabar, Bu. Doakan Erni ya, Bu…”
Ibuku membelai lembut kepalaku, lalu ia mengingatkanku kalau sekarang sudah waktunya dia harus pulang. Mas Fadly sebentar lagi pulang, dan kalau dia melihat ibuku disini, lebam-lebam biru di tubuhku ini akan bertambah banyak dalam sekejap saja.
Dulu setelah bertemu mas Fadly, kupikir tangannya akan menghangatkan dan melindungiku ketika aku jauh dari ibu. Aku memang baru sekali bertemu dengannya sebelum pernikahan itu, almarhum bapakku yang menjodohkan kami. Mas Fadly adalah bekas murid bapak di SMA. Kata bapak, Mas Fadly itu murid yang cerdas dan aktif di kegiatan, dan dia pernah menjadi ketua OSIS. Ah, aku jadi jatuh cinta padanya, meskipun aku belum bertemu dengannya.

“Erni! Erni!” suara Mas Fadly menghantamku, rupanya ia baru datang. Aku melangkah cepat ke ruang depan.
“Ya Mas, Mas sudah pulang?”
“Erni! Kurang ajar kamu ya!” tanpa basa-basi, bahkan tak menjawab sapaanku, tangannya telah terlebih dahulu melayang ke wajahku.
PLAKK!!
“Ma…Mas..?” dengan suara bergetar, aku menatap lelaki itu, yang sekarang berkacak pinggang dengan wajah murka.
“Kamu pikir bisa membodohi aku, hah?! Kamu pikir aku nggak tahu kalau ibumu sering kesini waktu aku kerja?! Kurang ajar!”
Tamparan itu mendarat lagi, aku jatuh ke lantai.
Air mata seolah tak lelah mengaliri pipiku yang panas.
“Ma… maafkan Erni, Mas… Erni cuma… Cuma…”
“Cuma apa?! Mas udah bilang berapa kali, kamu itu nggak boleh ketemu sama siapapun! Ngerti?! Kamu itu harus diam di rumah terus, ngerti?! Jadi istri aja nggak becus, mau kamu itu apa, hah?!”
Aku menunduk, air mata ini semakin deras mengalir.
Duh Gusti Allah, kuatkan hambamu ini Ya Allah…
Mas Fadly masih marah-marah, sesekali kakinya menendangku dan tangannya menampar wajahku. Tapi saat itu, yang melayang-layang di pikiranku hanyalah kehangatan lembut tangan ibuku. Ibuku yang menggendongku sewaktu aku masih bayi, memandikanku dengan lembut, meninabobokanku, mengganti popokku, menenagkanku saat aku menangis, memberi kekuatan dalam setiap langkah hidupku…
Saat itu pula aku bertekad, aku tak akan mati sebelum bisa menjadi sosok ibu yang hangat juga. Dari siksaan fisik yang diberikan Mas Fadly, aku selalu melindungi perutku. Aku akan selalu melindungi janin yang masih berumur tiga bulan ini.
Mas Fadly belum tahu, rencananya hari ini aku akan memberitahunya. Tapi, dia keburu memarahiku. Ah, tapi tiba-tiba marahnya berhenti. Kenapa? Kenapa? Saat itu pandanganku sudah kabur.
Samar-samar, aku melihat darah yang banyak, darah yang banyak menggenang di lantai. Darah yang banyak, mengalir dari pangkal pahaku. Aku tak bisa melihat ekspresi Mas Fadly ketika dia berteriak memanggil-manggil para pembantu rumah tangga. Gelap, gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!