Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 30 April 2011

Arti Pengorbanan



Oleh Nadia Hapsari (@naddhiiia)

Putri masih berdiri mematung di depan sebuah etalase toko seperti lima belas menit yang lalu. Pandangannya tertuju pada satu titik fokus. Tepat pada sebuah benda yang tampak begitu lembut dan nyaman. Beberapa tetes keringat membasahi kemeja putihnya yang tidak dapat dikatakan putih lagi. Putri memandang tumpukan koran di tangannya, masih beberapa lagi. Panas matahari tak lantas membuatnya menyerah dan bermalas-malasan. Tidak sebelum ia bisa mendapatkan benda di etalase yang ia idam-idamkan sejak lama itu.
Sebetulnya Putri sudah belajar menabung. Ia kumpulkan koin demi koin yang ia dapatkan dari berjualan koran sepulang sekolah, namun hasilnya masih belum cukup. Sementara tanggal istimewa itu semakin dekat. Jantung Putri berdetak lebih kencang setiap sudut matanya mengarah ke kalender di belakang pintu kelasnya. Ya, 30 April yang dulu berjarak tiga bulan kini hanya berjarak satu hari. Sekarang mungkin sudah tinggal beberapa jam saja. Putri menghela nafas panjang. Ia tak pernah menganggapnya sebagai tanggungan, namun saat ini ia benar-benar ingin berbuat sesuatu untuk orang yang dia sayangi.
Pukul tiga sore, Putri masih belum juga mengumpulkan sejumlah uang yang diminta untuk menebus benda kesayangannya itu. Keringat Putri makin deras mengalir, ia tidak ingin rencananya gagal. Putri memandang ke segala arah, mencari peluang ia bisa mendapatkan tambahan uang. Pinjam pada bang Jambrong? Mana berani dia. Preman itu terkenal suka berbuat kasar pada anak-anak di perempatan lampu merah ini. Mencuri? Ah, tidak. Bu nyai tidak akan suka mendengar murid kesayangnnya yang rajin ke TPA ini berbuat dosa. Lantas?
Putri terus berkeliling melihat segala kemungkinan yang ada. Kemudian, ia sampai di depan stasiun, agak jauh dari tempatnya mangkal. Dilihatnya seorang tukang rombeng sedang melepas lelah dibawah pohon mangga. Refleks Putri memandang ke bawah dan melihat sepasang sepatunya. Ibu guru tidak akan keberatan Putri berangkat sekolah memakai sandal. Lagipula, untuk ukuran sekolah kumuh di bantaran kali yang seringkali lantainya tergenang air, bersekolah menggunakan sepatu sepertinya juga kurang cocok. Singkatnya, Putri menukar sepatu satu-satunya, hadiah masuk SD dari almarhum bapak dengan beberapa uang untuk mencukupi kekurangannya.
Putri pulang ke rumah dengan bersiul-siul senang. Ia telah mendapatkan apa yang ia idam-idamkan selama ini. Nanti malam Putri bergegas membungkusnya dengan koran sisa hari ini dan memberikannya pada orang teristimewa.
Sebuah topi rajutan dari bahan wool yang lembut berwarna cokelat susu untuk emaknya agar tidak kepanasan bila sedang memulung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!