Oleh Eunike Gloria (@eunikeglr)
Asap rokok ini benar-benar membunuhku.
Bukan hanya membunuh tubuhku, tapi juga membunuh otak dan hatiku.
Tapi entah kenapa bibir hitamku masih enggan melepaskannya.
Aku pun mulai membenturkan diri di tembok usang sambil berlumuran hujan
peluh.
Membenturkan harapan yang hilang entah ke mana.
"Maaf,"
Satu kata diiringi desahan ringan yang keluar dari matanya masih bermain di
kepalaku.
Heran, sudah belasan tahun aku menjadi sahabatnya dan baru kali ini aku
merasakan kesakitan karena satu kata yang diucapkannya itu.
Aku masih bermain dengan rokok yang sudah setengah nyawa.
Frustrasi.
Aku pikir dia memiliki perasaan yang sama denganku.
Aku pikir dia mencintaiku seperti aku mencintainya.
Sial.
Bermain dengan spekulasi dan asumsi memang selalu mengecewakan.
Selalu kalah dan berakhir dengan harapan kosong.
Masih kuingat ketika senyumnya mampu menghancurkan egoku.
Kehadirannya mampu membangkitkan semangatku. Persahabatan kami bukan
persahabatan yang bisa dilindas oleh kepentingan.
Aku masih merasakan rangkulan kuatnya di pundakku.
Salahkah perasaan ini?
Remangnya kamarku tidak cukup melukiskan remangnya hatiku saat ini.
Dinginnya angin malam belum mampu menembus ketiadaan perasaanku.
Bahkan, tanpa kusadari, hujan di luar sana jatuh bersamaan dengan tetesan air
mataku. Bara api rokok juga telah mati. Tanda matinya perasaanku.
Saat itu juga, pesan terkahirnya dikirimkan padaku.
From : Bernard
15/04/11
00.15
"Sekali lagi maaf, aku mencintai seorang perempuan. Seandainya kamu
perempuan,"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!