Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 16 April 2011

Sinema Tengah Malam


Oleh Abi Ardianda

Sinema itu hanya diputar lewat tengah malam. Terkadang kualitas gambarnya buram, terang, buram, terang, tapi tak jadi soal. Sebab selama ini hanya aku yang menyaksikan acara itu. Itu pun diam-diam.
***
Buku gambar A4 itu kurobek selembar, lalu kupindahkan pemandangan yang kudapat semalam ke sana. Hanya butuh sekian belas menit, aku sudah bisa melihat ranjang, celana dalam dan bra di atas kertas. Itu properti yang digunakan oleh para pemain sinema tengah malam.
Pernah, suatu ketika aku minta dibelikan bra. Tapi aku belum memerlukannya, begitu ibu bilang. Jadilah diam-diam aku meminjam milik ibu. Ternyata benar, memang kebesaran. Lagipula, tidak apa-apa yang harus ditopang dari dadaku. Gulungan kertas itu hanya inisiatifku saja karena aku begitu antusias. Geli. Tapi aku senang. Benar, lho, aku merasa seperti perempuan dalam sinema tengah malam.
Seperti biasa, sesampainya piring-piring bekas makan malam kami di tangan keriput bik Darmi, aku segera mendekam di kamar. Selain menanti ibu, aku juga menanti sinema tengah malam. Itu satu-satunya hiburan untukku. Aku tidak pernah punya teman. Di rumah ini tidak ada siapa-siapa lagi selain aku dan ibu. Bik Darmi, pembantu kami selalu pulang sehabis makan malam.
Ibu datang. Ia memberiku sekantung belanjaan yang sudah kuhapal betul apa isinya. Kotak dus berisi boneka perempuan cantik berpakaian mewah. Ibu kelihatan lelah, mungkin karena itu ia lupa menanyakan di mana ayah.
Ayah jarang di rumah. Tapi ia hebat, lho. Selain mampu membangun banyak rumah, ia juga mampu menyulap setiap detik waktu yang dihilangkannya menjadi rupiah. Sekali pulang, ia membeli mobil baru, televisi, bahkan terakhir ini ia mampu merenovasi rumah. Ibu bilang, semua itu tidak murah. Makannya aku juga hanya diperbolehkan membawa sandwich dan susu ke sekolah, tidak boleh jajan kalau tidak nanti ibu marah.
Ibu tidak pernah lama bertandang ke kamarku. Hanya memberiku mainan baru, lalu pergi dari situ. Ia tak tahu, di kolong tempat tidur, perempuan-perempuan cantik pemberiannya sudah habis kumutilasi. Aku ingin menjadi arsitek seperti ayah. Rencananya, akan kubangun rumah hantu di bawah sana. Aku harus berusaha membuatnya begitu menyeramkan, bukan? Aku bahkan harus mencuri sesuatu untuk menciptakan darah. Ketika itulah ibu sering mengeluh sebab lipsticknya hilang melulu.
Sudah jam berapa, ini? Jangan sampai aku keasyikan bercerita dan lupa menyaksikan sinema lewat tengah malam.
Sebentar, ya. Kumatikan lampu kamar dulu.
"Anakmu sudah tidur?"
"Sepertinya sudah," hanya itu yang mampu kudengar. Selanjutnya hanya gumaman samar yang sulit kutangkap.
Jam berdenting dua belas kali. Cicak menguap. Suara aquarium berderu. Aku berdebar. Kuturunkan kaki satu-satu, berusaha agar tidak menimbulkan suara. Ketika berjalan pun aku harus berjingkat.
Di luar kamar, semuanya tampak gelap. Rupanya sinema tengah malam ini belum dimulai. Tapi hampir. Dapat kulihat aktrisnya tengah bersiap.
Datang-datang aktornya sudah setengah telanjang. Ah, ya. Biar kuberitahu, sinema tengah malam ini hanya memiliki satu aktris, hanya aktornya yang selalu berganti setiap episode. Lalu-
sudah, sudah, nanti dulu. Jangan berisik. Acaranya akan dimulai.
***
Sampai pukul dua atau tiga pagi, aku berdiri di depan televisi yang berbentuk kunci.
Besok, aku akan menggambar sesuatu yang berbentuk seperti jamur beberapa biji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!