Oleh: Abi Ardianda
Pria bajingan itu bersarang di kepalaku. Ia tak'kan pergi kecuali aku mati.
***
Fotonya basah kujilati. Kemudian aku mengguntingnya menjadi potongan-potongan kecil, lalu kucemplungkan ke bak mandi. Darah yang mengalir dari ukiran namanya di lengan dan pergelanganku menetes, membuat genangan air dalam bak tadi menjadi merah muda. Nah, seperti itulah cara melampiaskan kerinduanku padanya.
Tahukah kau bagian terburuk dari merindu? Yaitu ketika kau menyadari segala keterbatasan yang ada, namun tak kau temukan satu pun cara untuk menemuinya. Mendadak kematian terasa lebih menggiurkan ketimbang melanjutkan hidup tanpanya.
Ya. Memang separah itu. Mencintainya membuatku merasa seperti pengguna narkotika. Sama seperti ketika kau mencandui sesuatu yang seharusnya tidak kau candui, tetapi kau tak tahu bagaimana caranya untuk berhenti.
Gontai kutinggalkan kamar mandi menuju pantry, tempat di mana terdapat mini bar dengan empat buah kursi berhadapan. Biasanya, bajingan itu duduk di sampingku, menghirup wangi rambutku sebelum kami bercinta di atas meja.
Kutegak lagi cairan kuning keemasan dari dalam botol. Terasa panas ketika ia berhasil menerjuni tenggorokan dan bergolak dalam pencernaan. Aku telah menghabisi tiga per empat isi botol sejak sekian jam tadi.
Aku sudah berjanji, ini akan menjadi botol terakhirku malam ini.
Dulu, bajingan itu juga mengiming-imingiku banyak janji. Ia memercayai rahimku untuk anak gadisnya yang kelak akan ia namai Miami, sama seperti nama sebuah cafe di Tokyo, saat ia mengajakku liburan ke sana beberapa waktu silam. Ia juga berjanji akan menemaniku berziarah ke makam ayah di Malang, setelah ibu memilih untuk menghabiskan sisa hidupnya di panti jompo, aku tidak pernah ke sana lagi. Selain itu ia juga berjanji membelikanku rumah. Mobil. Banyak lagi.
Tapi rupanya ia membuang janji sesering ia buang tahi. Angannya tak lebih dari semburan asap rokok, yang pelan-pelan meniada sampai akhirnya sirna. Setelah puas menghabisiku, dengan langkah ringan ia meninggalkanku pergi sambil melambai ketika ia telah sampai di pelukan wanita lain.
Namun hukum alam tetap berjalan seperti sedia kala. Tuhan tidak buta. Karma membuatnya jatuh dan tersandung kemudian. Waktu itu, air matanya yang bersimbah saat ia menyembahku berhasil membuatku luluh. Ia bersumpah, akan berubah dan menjadi miliku secara utuh. Memaafkannya terdengar seperti ketololan yang sempurna. Tapi toh tetap kulakukan juga.
Kupikir ia akan benar-benar berubah. Ternyata tidak. Sama sekali tidak.
Dia pikir aku akan diam saja? Dan membiarkannya mengulangi kesalahan yang sama? Puih!
Kuhabiskan botol minumanku. Dan kutaruh kemaluannya di sana, bagian terakhir setelah bagian-bagian lain kusebar di beberapa bagian rumah ini.
Lalu kurasakan nyeri di pergelanganku semakin menjadi.
Aku nyaris lupa, apa yang akhirnya membuatnya pergi dari kepalaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!