Oleh: Sofiati Mukrimah
Aku menatap curiga beberapa teman-temanku. Di antara mereka memasang wajah licik. Bila ada wajah-wajah seperti ini, aku yakin pasti akan ada rencana seperti biasanya, namun kali ini sepertinya rencana yang agak menyimpang atau berbahaya.
“Ada apa? Kalian jangan macam-macam,” kataku mengingatkan.
“Belajar kelompoknya kan sudah selesai. Masa mau langsung pulang? Main dulu aja yuk?” ajak Ajeng, temanku yang memang susah untuk diam. Ada saja hal-hal yang membuatnya aktif.
“Bener tuh kata Ajeng! Mending kita main dulu!” kata Lala, menyetujui dengan raut wajah senang.
Sepertinya mereka sudah merencanakan hal ini sebelumnya. Jika aku tidak setuju, mereka pasti akan mengusulkan voting. Dan tentu saja aku kalah.
“Nggak ah. Kita sudah terlalu sering main. Mending kalian pulang ke rumah masing-masing, membantu orang tua..”
“Ya ampun, Thity! Kita kan butuh main! Bosen kan di rumah terus?” balas Anggun, yang sudah jelas satu kubu dengan Ajeng dan Lala.
“Menurut kamu, Ris?” tanyaku, pada Risky, yang sejak tadi diam.
“Aku sih ikut aja..”
Huh. Seperti biasa. Risky tidak punya pendirian. Teman-teman yang lain ke sini, dia ikut ke sini, teman-teman ke sana, dia ikut ke sana.
“Menurut kamu, Nur?” tanyaku pada Nur, yang juga tumben sedang banyak diam.
“Kayaknya sih seru..”
Benar, kan. Aku kalah jumlah. Tidak ada yang mendukungku. Kutatap mereka satu persatu. Ajeng dan Lala tampak paling bersemangat. Anggun dan Nur biasa saja. Risky datar, terlalu datar malah.
“Memang kita mau main ke mana?”
Ajeng dan Lala langsung memasang wajah cerah. Jika aku sudah bertanya, mereka tahu, pasti aku akan setuju pada akhirnya.
“Ke sungai Cisara, yuk? Di sana pemandangannya bagus banget, lho!” kata Ajeng.
“Tapi kan jauh dari sini?”
“Kita kan naik sepeda? Paling setengah jam juga nyampe, pasti! Biar nggak kesorean, ayo dong berangkat sekarang!” ajak Lala bersemangat.
Teman-teman yang lain mengiyakan. Akhirnya, terpaksa aku menuruti keinginan mereka. Jika tidak ikut, pasti mereka men-judge macam-macam.
Setelah pamit pada orang tua, kami mulai petualangan kami dengan sepeda masing-masing.
***
“Eh, Jeng, kok lewat kuburan begini, sih?” bisikku, sambil melirik takut pada makam yang terletak di pinggir jalan.
“Sstt!” Ajeng malah menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya, seolah-olah aku telah membangunkan zombie.
Ternyata tempatnya cukup jauh dari perkiraanku. Aku memang belum pernah mendatangi langsung sungai Cisara, hanya mendengar ceritanya. Karena jalannya masih berupa jalan desa yang jelek, kami baru bisa sampai di tempat tujuan satu jam kemudian. Tubuh kami begitu lelah. Aku mulai kesal dengan ide Ajeng. Baru saja sampai, matahari sudah ingin turun kembali ke peraduan. Aku pasti dimarahi nanti bila pulang terlalu sore.
“Bagaimana? Indah kan pemandangannya?” ujar Ajeng, nampak puas dengan pemandangan di hadapannya. Aku sudah terlalu lelah mengayuh, sehingga tak peduli dengan pemandangan yang sejujurnya memang indah.
“Capek ya, Ty?” tanya Anggun.
Aku hanya mengangguk lemas.
“Eh, gimana kalo kita renang di sini? Kan nanggung kalo ke sini cuma buat liat pemandangan?” ajak Lala.
Aku menatapnya curiga.
“Kebetulan aku udah bawa handuk. Yah.. walau cuma satu, sih.”
Hah? Aku menatap Lala dengan gemas. Ingin sekali aku cubit kulitnya. Cakar kalau perlu. Sungguh mereka ini sangat pintar berkomplot.
“Kebetulan?” Aku memicingkan mata.
Lala nyengir. Di antara kami, hanya ada dua laki-laki. Lala dan Risky. Mengajak berenang di tempat terbuka sama saja dengan pelecehan.
“Nggak mau! Aku kan cewek, kamu cowok! Enak aja!”
“Alah.. kita masih kecil, juga! Mau apa yang diliat?” sanggah Lala, langsung diikuti tawa cekikikan teman-teman.
Akhirnya, sekali lagi, aku mengikuti keinginan mereka.
“Tapi kalau sakit gimana?” sahutku, begitu kami sudah asyik berenang di sungai.
“Akh, masa beginian doang sakit sih, Ty! Payah!” jawab Risky. Aku hanya diam. Rasanya justru senang dapat berenang bebas seperti ini, tanpa ada rasa malu satu sama lain. Kami memang telanjang bulat, tapi bukan berarti kami tidak menghargai etika dan sopan santun. Selain karena kami tidak membawa baju ganti, kami juga tidak ingin ada di antara kami yang minder dengan tubuhnya sendiri. Aku percaya, kami semua tercipta sama. Memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, termasuk dengan kondisi fisik. Di sini, Nur yang berkulit agak kecoklatan tampak percaya diri, dan itulah sejujurnya yang membuat kami senang.
“Eh, udah sore nih, pulang yuk?” kataku, sedikit panik saat tahu tiba-tiba matahari sudah hampir tenggelam.
“Ya udah, yuk.” Untunglah teman-teman yang lain menyetujui. Hal itu membuatku sedikit lega.
***
Esok paginya, aku heran karena belum melihat Ajeng dan Anggun. Seharusnya jam segini mereka sudah duduk di bangku masing-masing.
“Eh, Nur!” Dari tempat dudukku aku memanggil Nur, yang duduk dengan Ajeng.
“Ajeng sama Anggun ke mana?” tanyaku.
“Sakit. Tadi nitipin surat ke aku.”
“Sakit? Sakit apa?”
“Flu, demam. Kayaknya gara-gara kemarin, deh.”
Aku terdiam. Sepertinya peringatanku kemarin sia-sia. Semoga saja lain kali Ajeng mengajak kami main ke tempat-tempat yang wajar.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!