Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 01 April 2011

SEGELAS KERTAS BEKAS

Oleh @mazmocool




Tangan kecil itu meremas dengan gemas seperti takut ada yang terlepas. Selembar kertas dalam genggamannya kini berubah menjadi gumpalan serupa bola. Gumpalan kertas itupun berpindah tempat ke dalam sebuah gelas. Gelas porselen yang didalamnya telah mendarat gumpalan kertas-kertas lain dalam berbagai ukuran.

Gelas porselen masih menjadi saksi bisu bagi pergulatan sebuah hati yang membiru. Hati membiru karena rindu pada sosok dalam coretan-coretan hitam. Coretan tak beraturan dalam sebuah lengkungan. Lengkungan yang dikombinasi dengan beberapa garis datar. Beberapa lengkungan tampak menyatu membentuk beberapa lingkaran tak beraturan.

Selembar kertas itu sudah tidak polos lagi. Tinta hitam tergores berulang-ulang di permukaan halusnya. Tak bisa berontak dan tak bisa berteriak. Hanya dengus kecil kekecewaan terlukis di wajah mungil yang polos itu. Dengus kecil yang melukiskan bulatan basah di beberapa bagian kertas. Membuat beberapa garis menjadi luntur dan melebur ke pori-porinya.

Tinta yang meresap telah meledakkan sesak dalam dada laki-laki kecil berusia lima tahun itu. Sesak yang membuncah mengirimkan rangsang ke otak, kemudian memberikan impuls kepada syaraf motorik tangan untuk bergerak. Kertas penuh coretan itupun pasrah dalam genggaman. Menunggu nasib untuk berpindah habitat. Dengan ritme cepat, tangan mungil itu terus meremas-remas. Kekuatan yang dimiliki melebihi kekuatan wajar yang dimiliki oleh anak kecil seusianya. Dorongan kuat dari dalam dirinya menyebabkan kekuatan itu mampu memindahkan lembaran kertas dari permukaan meja kayu.

Kertas saksi kerinduan itupun akhirnya berjejal dengan yang lainnya dalam satu wadah. Gelas. Gelas porselen bergambar seraut wajah. Seraut wajah indah yang sangat mirip dengannya. Wajah bisu yang selalu memandangnya dengan penuh kasih. Wajah bisu yang selalu dipandanginya dalam rindu. Wajah seorang ibu.

Sementara itu, seorang pria setengah baya memperhatikan setiap detil gerakannya dari atas sebuah kursi roda di ruang kerjanya. Sudut matanya jatuh di wajah anak itu dan tangan lemahnya lembut mengusap rambut anak itu. Anak itu masih terdiam dalam pandangan kosong. Pancaran optiknya senantiasa merangsangnya tatkala wajah ibunya terbias di sudut pandangnya. Rangsangan itupun akhirnya bertubi-tubi memacunya untuk meraih lembaran kertas lainnya. Tak seperti sebelumnya, kali ini otaknya tidak memerintah tangannya untuk bergerak dalam ekspresi. Ujung pena hanya menyisakan sebuah noktah hitam. Pikirannya tak lagi mampu melanjutkan titik itu. Lagi-lagi titik itu meleleh oleh air mata.

***

Toni, seorang eksekutif muda, menyeka air matanya. Air mata yang tak pernah bisa mengering saat dia memandang lukisan wajah ibunya di sebuah gelas. Seperti halnya dengan malam itu. Bedanya, gumpalan kertas itu sudah tidak berada di dalamnya. Hanya tinggal satu gumpalan tersisa. Gumpalan kertas berlukiskan sebuah titik yang mulai luntur. Sebuah titik yang sudah tersimpan hampir dua puluh tahun lamanya. Selama itu pula rasa rindunya terpendam dan terperangkap dalam coretan-coretan.

Toni segera meraih gumpalan terakhir itu. Kedua tangannya spontan merapikan gumpalan kusut itu. Imajinasinya melambungkan angannya pada seraut wajah. Dengan sigap tangannya merangkai titik itu dengan titik-titik yang baru saja dibuatnya menjadi sebuah sketsa wajah seorang pria. Wajah ayahnya yang juga telah meninggalkannya sepuluh tahun lalu.

Dalam hitungan menit, Toni berhasil menyelesaikan niat hatinya. Sketsa wajah seorang pria yang terlukis diatas kertas kusut itu kini telah terbungkus rapi dengan plastik transparan. Toni beranjak dari tempat  duduknya dan memajang sketsa wajah itu disamping deretan sketsa-sketsa wajah ibunya dalam kertas kusut terbungkus rapi dalam plastik. Sketsa-sketsa wajah yang tersenyum diatas kertas yang dulunya adalah bekas coretannya semasa kecil, kini telah terpajang berderet rapi di ruang kerjanya. Ruang kerja tempat dia dulu menghabiskan waktu bersama ayahnya menumpahkan rindu pada ibunya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!