Oleh: Ifnur Hikmah ( @iiphche)
“Maafkan aku, aku selalu menyakitimu.”
“Tak a pa.”
“Aku selalu menodaimu. Tanpa ampun.”
“Sudahlah, aku rela.”
“Aku tak pernah memikirkanmu. Selalu menyakitimu dengan goresanku. Selalu melukaimu dengan tusukan tajam. Dan akhirnya, saat kau tak lagi punya celah untukku, aku pun berpaling. Meninggalkanmu.”
“Memang itulah takdirku. Aku ikhlas.”
“Aku membutukanmu. Hidupku bergantung padamu. Setiap saat aku merasa ingin menumpahkan isi perutku, aku segera mendatangimu. mengotorimu. Ketika aku berbuat kesalahan, ku timpa dirimu dengan cairan putih berbau menusuk itu. Lalu, kembali ku gores kulit putih mulusmu. Dengan racauanku yang tiada hentinya. Lalu, ketika ku marah dengan segala racauan itu, ku buang kau, padahal sedikitpun kau tak punya salah apa-apa.”
“Kau tak usah khawatir. Kau tahu, aku melakukannya dengan penuh kerelaan karena untuk itulah aku diciptakan. Lagipula, bukan inginmu menyakitiku. Kau sama sepertiku, tak punya daya upaya apa-apa untuk menentukan jalan hidupmu sendiri. Kita, hidup kita, semuanya berada di tangan makhluk besar yang sekarang ada di depan kita. Kau perhatikan dia.”
“……”
“Ketika dia merasa senang, dia raih tubuh mungilmu itu dengan penuh kelembutan. Sebaris senyum dihadiahkannya untuk kita. Lalu, dengan penuh kelembutan pula ia menggunakan tubuhmu untuk menyampaikan semua isi hatinya. Aku pun tak merasa sakit, geli sedikit iya. Dia juga memperlakukanku dengan penuh kelembutan. Dia hiasi kulitku dengan kata-kata indah penuh makna, pertanda cinta kasih. Terkadang bunga-bunga bermekaran di atas tubuhku. Keberatankah kau dengan itu?
“Tidak. Aku turut senang saat dia senang.”
“Ya, aku apalagi. Karena dialah yang memegang hidup kita. Namun tak selamanya dia merasa bahagia. Ada masa dia berlinang air mata. Dia raih tubuh kita dengan penuh kesedihan. Dia menggerakkan dirimu perlahan di atas kulitku. Sesekali air matanya jatuh menimpaku. Aku pun turut merasakan kesedihannya. Dan, hidupku suram. Tak ada kata-kata cinta, apalagi bunga. Semua yang dia keluarkan melalui tubuhmu, semuanya adalah kata-kata sakit hati. Adakah kau memperhatikannya?”
“Ya. Terkadang aku tak ingin keluar jika dia sedang bersedih.”
“Ada kalanya juga dia marah-marah. Kelembutan itu begitu jauh. Dia hempaskan aku begitu saja. Dia sakiti aku dengan menekan tubuhmu kuat-kuat ke kulitku. Sakit memang, tapi jika itu bisa membuatnya tenang, kenapa tidak? Aku ikhlas, selama dia bisa melampiaskan semua kemarahannya. Aku ikhlas menerima apapun perlakuannya. Aku puas dikuliti habis-habisan, diremuk, dibuang ataupun dibakar. Selama dia bisa tenang.”
“Kau begitu ikhlas.”
“Karena untuk itulah aku diciptakan. Untuk menerima semua goresanmu. Untuk menerima semua tusukan tajammu. Tapi, apapun yang kau berikan, itu semua tergantung dia karena dialah yang mengendalikan kita. Namun, aku selalu berdoa agar dia bahagia karena aku suka melihat bunga-bunga dan kata cinta di atas kulit putihku. Bagaimana denganmu?”
“Aku juga. Aku suka dengan kelembutannya memperlakukan kita.”
****
Ku rengkuh kertas putih persegi itu. Inilah sahabat terbaikku, tempat aku mengeluarkan semua isi hati. Dia tak pernah berontak, sekalipun aku menghujaninya dengan kata-kata kotor berisi makian, keluh kesah, bahkan air mata. Dia juga tidak pernah keberatan kutulisi hingga tak ada lagi celah tersisa. Dia juga tidak pernah cemberut saat warna putihnya tertutupi oleh tinta hitam.
Ah, alangkah indahnya jika dalam kehidupan nyata aku memiliki sahabat seikhlas dan sesetia kertas ini.
****
“Hei, bisakah kau melihat senyumannya?”
“Aku melihatnya. Sepertinya dia sedang berbahagia. Aku sudah tidak sabar menanti dia merengkuhku dengan penuh kelembutan.”
“Aku juga. Aku juga tidak sabar menunggu dia menggoresku dengan kata cinta juga bunga-bunga.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!