Oleh: Fitrani Puspitasari (@sarirotibergizi)
“Superman menyelamatkan kotanya, disebut pahlawan. Tapi orang Palestina menyelamatkan masjidnya? Disebutlah dia teroris!”
Sebuah teriakan berapi-api yang biasa terdengar dari sudut jalan, berasal dari teras rumah mungil bertembok bata berwarna salem, membuka hari Senin pagi di kampung kecil di pelosok sederhana ibukota. Para pejalan kaki sudah biasa, mereka mengangguk-angguk sambil membenarkan, kemudian berjalan sambil lalu, mendorong gerobak sayur atau meneruskan aktifitas, membiarkan sosok laki-laki lima puluh tahun dengan rambut yang sudah memutih itu meneruskan orasi keluh-kesahnya didampingi segelas kopi tubruk hangat dan selembar sarung tua yang menggantung silang di sebelah bahu. Matanya berpindah dari artikel mengenai Gaza, ke artikel dalam negeri.
Amir mengerutkan kening, bersila di dekat kaki Bapak yang membentangkan korannya lebar-lebar, dan melanjutkan teriakannya. Tangannya boleh sibuk menyemir sepatu tua Bapak hingga tampak baru, namun telinganya sejak tadi mendengarkan, dengan seksama dan teliti, setiap kalimat yang dimuntahkan bibir pria berusia setengah abad tersebut. “Dengan uang, semua bisa dibeli! Sepuluh juta bukan mainan, bisa membeli orang untuk jadi pengganti di penjara, coba!” Punggung tangan Bapak menepuk artikel joki napi, Karni dan Kasiem, yang menggegerkan masyarakat dan sistem hukum. “’Siapa yang mau mendekam di penjara’, kata koran ini, laaaaah ini ada! Sepuluh juta, ditukar kebebasan 3 bulan 15 hari, ada-ada saja!” Pria gemuk itu menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan tidak percaya ada yang mau masuk penjara demi uang.
“Dibayar berapapun, aku nggak mau dipenjara…” Amir bergumam, mencari sikat dalam kotak semirnya dengan tangannya yang belepotan hitam. “Kata Bang Dodi, disana nyeremin, makanannya nggak enak dan sipirnya jahat.”
“Itu karena si Dodi nggak punya uang!” Bapak terkekeh, meletakkan koran di pangkuannya lalu mengambil kopi dan menyeruputnya sedikit, “kalau dia punya, jangankan beli makanan enak dan perilaku baik dari sipir, dia bisa taruh TV sama kasur empuk di selnya! Lihat, hukum negara ini masih lemah, Mir!”
“Yaaa, kalau Bang Dodi punya uang, dia nggak akan curi motor di kampung sana…” Amir memutar bola matanya. Tawa keras Bapak menimpali celetukannya dan kembali terdengar suara Bapak menyeruput kopi yang dibuatkan istrinya tadi subuh. Kopinya masih mengepul hangat, Amir tidak habis pikir bagaimana mungkin kopi itu belum mendingin juga. Masak iya, gara-gara orasi Bapak yang berapi-api di sampingnya, kopi itu jadi tetap terjaga panasnya.
“Mungkin di penjara sebenarnya nggak sejelek itu, makanya ada saja yang mau dipenjara,” Nada suara Bapak menurun ketika pria itu meletakkan kembali gelasnya ke atas meja, matanya sudah kembali serius menguliti artikel koran. “Kamu masuk penjara di Bandung sana, bisa nonton konser gratisnya Ariel, nih. Ariel Sihir Penghuni Rutan Kebonwaru, kapan lagi nonton artis manggung cuma-cuma, biar artisnya napi, kan namanya orang ngetop! Kamu tahu kasusnya Ariel, Mir? Video porno!” Bapak menyindir.
Wajah pemuda kurus kering itu memerah sedikit, kepalanya tertunduk ketika ia meneruskan menyikat sepatu dengan serius. Untung saja posisi duduknya memunggungi Bapak, jadi pria tua itu tidak bisa melihat ekspresi malu bocah penyemir tersebut. Amir sudah pernah lihat videonya, ketika dia sedang menyemir sepatu Mas Togik, yang punya warnet di gang sebelah. Orang-orang lagi ramai mengerubuti satu komputer, semuanya berteriak-teriak dan tertawa keras. Amir penasaran, apalagi Mas Togik memanggilnya sambil menekankan, kalau Amir memang laki-laki sejati, sebaiknya dia ikut nonton. “Ini namanya mengikuti perkembangan berita, Mir!” Begitu kilah si pemilik warnet ketika Amir tersipu menonton video tersebut.
“Kalau orang besar, punya uang, dipenjara bukan masalah, wong Gayus aja bisa nyelonong ke Macau dan Kuala Lumpur, kok.” Bapak kembali meneruskan korannya, mengerucutkan bibir membaca artikel yang menduga terdakwa mafia pajak itu melakukan pelesiran ke luar negeri. Amir sudah lupa akan rasa malunya barusan, ia kini mendongak dan membalikkan badan untuk melihat Bapak. Namun tiba-tiba, istri Bapak keluar dari dalam rumah, membawa sekotak bedak dan langsung mengacungkan benda itu ke depan hidung suaminya tersebut. Wajah sang istri memerah, namun dengan alasan yang berbeda dengan Amir. “Bapak belikan ibu bedak, tapi bapak belinya lebih mahal dari ibu biasa beli!” Wanita paruh baya itu sewot, membuat Bapak gelagapan.
“Memang biasa beli berapa?”
“Dua puluh ribu! Tapi bapak belinya dua puluh ribu lima ratus!”
“Kan cuma lima ratus…”
“Lima ratus kan juga uang! Sekarang apa-apa mahal, pak! Cabe aja sekilo seratus ribu! Ibu kan harus berhemat, bapak diminta belikan bedak saja, malah kelebihan lima ratus!”
“Tapi, kan…”
“Nggak ada tapi-tapi! Lain kali beli sendiri saja bedaknya, huuuh!”
Istri Bapak membalikkan badan, memasuki rumah kembali dengan langkah dihentak-hentakkan. Bapak memandang kepergian istrinya dengan wajah bingung. Kepalanya menoleh untuk melihat kepada Amir, “Lihat tuh Mir. Bedanya orang kaya dan yang tidak punya, lima ratus saja bisa ribut. Bisa jadi riak-riak rumah tangga. Bisa jadi pemicu masalah dan berita kriminal. Padahal usia juga sudah empat puluh, pakai bedak pun sudah—”
“BAPAAAAKK!”
“—bikin makin cantik! Bikin makin cantik, kok, buuu!”
Amir tergelak. Wajah Bapak langsung panik ketika hardikan istrinya nyaring dari dalam rumah. Pria tua gemuk itu buru-buru mengangkat korannya kembali dan menutupi muka, sementara di lantai Amir terpingkal-pingkal. Tidak akan ada yang memarahinya meski ia menertawakan komedi rumah tangga barusan, Bapak juga menganggap itu lucu.
***
Tidak ada yang pernah memberitahu Amir nama asli pria tersebut. Bapak, begitu sajalah Amir menyebutnya. Orang-orang di kampung ini juga kerap memanggilnya dengan sebutan sederhana itu. Sekali-kali tetangga dekat menambahkan imbuhan ‘haji’ di balik sapaan mereka, karena pria tua tersebut konon sudah pernah naik haji. Penampilannya tak pernah lepas dari sarung butut dan kopiah putih di atas kepala. Hobinya membaca koran keras-keras setiap pagi, sehingga para tetangga merasa tidak perlu beli koran lagi, cukup nguping saja apa yang diteriakkan Bapak. Pensiunan PNS yang sederhana ini tidak pernah absen membacakan berita setiap pagi. Dan Amir, dengan senang hati akan mendengarkannya dari mulut Bapak, meski tidak ada sepatu yang bisa disemir sekalipun, sebagai remaja dengan keingintahuan besar yang memang tidak perlu pergi ke sekolah karena tak punya uang untuk meneruskan SMP, ia selalu mampir setiap pagi untuk jadi penyimak setia.
Bapak orang yang baik, walaupun suaranya ketika bicara selalu keras, membuat orang berjengit. Pernah suatu hari, beliau menanyai Amir yang sedang menyemir sepatu,
“Kamu kerja untuk apa, Mir? Untuk biayai sekolahmu? Bapak nggak pernah lihat kamu sekolah setiap pagi.”
“Untuk nambahi uang emak beli makan, Pak.”
“Bapakmu kemana?”
“Sudah lama tidak pulang.”
Percakapan memang berhenti sampai disitu. Namun selanjutnya, setiap Amir selesai menyemir sepatu Bapak, upah yang diterimanya selalu lebih dari yang biasanya. Bapak juga senang kalau Amir datang. Menurut Bapak, Amir pintar, meski tidak sekolah.
“Kadang, jadi pintar itu tidak harus berarti sekolah tinggi-tinggi, Mir.” Bapak berujar suatu hari, ketika gelas kopinya sudah kosong, dan Amir bersila di lantai teras, membaca komik di koran edisi kemarin.
“Jadi pintar itu tidak harus mengantongi gelar sarjana. Tidak harus hafal perkalian diluar kepala. Jadi pintar itu maksudnya, mengetahui banyak hal yang diperlukan untuk hidup di dunia ini.” Teori Bapak mengenai ‘jadi pintar’ terus terngiang di kepala Amir hingga saat ini. Semenjak itu, ragam artikel yang dibaca Amir jadi bertambah. Tidak lagi sekedar komik, tapi kini ia mulai memperhatikan berita lintas dunia dalam kolom kecil-kecil yang memberitakan hal-hal unik, contohnya berita seorang kakek di Inggris yang tersesat tiga hari dengan mobil karena tidak bisa menemukan jalan pulang dari bandara. Memang tidak terlalu berguna untuknya, namun Amir menikmati perasaan bahwa ia pun juga membaca koran untuk ‘jadi pintar’.
“Jadi pintar itu berarti tahu kemana ia melangkah, tahu kemana pilihan hidupnya menentukan masa depannya. Itu artinya, jadi pintar juga berarti tahu kalau masa depan bukan cuma di dunia, tapi juga di akherat!”
Siang itu, Amir terlihat dalam rombongan yang memasuki masjid untuk shalat Jumat. Mas Togik yang melihat pemandangan itu, memanggil Amir dari teras warnetnya. “Oi, Mir! Shalat, kau? Hafal kau bacaan shalat?”
Amir menggeleng. Tapi toh, meneruskan langkahnya ke dalam masjid. Ia memang tidak hafal, tapi ia bisa mencoba. Karena ia ingin ‘jadi pintar’.
***
“Berapa uang yang kau dapat kemarin, Mir?”
Amir menggaruk kepalanya, ragu-ragu mengulurkan selembar uang sepuluh ribu ke emak yang sedang mengelap tangannya sehabis mencuci, ke atas rok daster lusuh yang dikenakannya hampir setiap saat. Wanita tua itu menerima uang Amir, tersenyum senang dan menepuk kepala putra semata wayangnya dengan sayang.
“Emak nggak apa-apa, Amir cuma kasih sepuluh ribu?”
“Uang halal dari keringat Amir, berapapun jumlahnya, ibu senang.”
Amir tersenyum lebar. Emaknya juga pintar.
***
“Koruptor itu pengkhianat negara,” Hari Kamis pagi dibuka dengan berita korupsi. Bapak menghela nafas panjang saat berita utama menampilkan wajah seorang koruptor terkemuka. “Maling ayam itu pengkhianat kampung.”
Berita korupsi bersebelahan dengan berita maling ayam? Amir mengerutkan kening dan mengatur posisi duduk yang nyaman di lantai teras. Matanya menangkap sekelumit judul berita pembunuhan di halaman belakang yang tidak sedang dibaca Bapak. “Kalau pembunuh, Pak?”
“Yang itu pengkhianat kemanusiaan.” Jawab Bapak tanpa mengalihkan pandangan dari entah artikel apa yang sedang dibacanya. Meski demikian, pria tua itu kembali menambahkan sebelum Amir mengajukan pertanyaan beda contoh. “Yang pasti, segala bentuk kejahatan itu adalah pengkhianat hukum.” Tandasnya tajam.
Amir mengangguk-angguk. Seperti biasa, segala bentuk ceramah Bapak ditelannya bulat-bulat dan dipikirkannya sepanjang hari. Matanya membesar berusaha menangkap lebih banyak lagi judul dalam huruf besar-besar di halaman belakang koran, dan telinganya rajin mendengarkan lebih banyak lagi ucapan-ucapan Bapak yang masih tenggelam dalam artikel-artikel korannya. “Ayahnya Bapak dulu seorang pejuang,” Bapak memulai, meletakkan korannya dan menyandarkan punggungnya dengan nyaman ke kursi. Sepasang mata besar miliknya memandang Amir sekilas, beliau tersenyum menghargai pada pendengar ciliknya, lalu melanjutkan dengan pandangan mulai mengawang, seakan tengah memandang ke masa lalu. “Ayahnya Bapak ada disana, di depan radio, ketika pertama kalinya kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Saat itu beliau masih muda, remaja dengan semangat tinggi.
Beliau mendengarkan kata demi kata dari Pak Karno, merasa tersentuh dan mencintai negara ini melebihi siapapun. Beliau turut mengangkat senjata ketika melawan PKI, juga ketika ada yang hendak menurunkan sang merah putih, menghentikannya berkibar.” Tangan Bapak bergerak, meliuk-liuk menirukan kibaran bendera. Selengkung senyum puas mengembang di bibirnya yang sudah banyak mencicipi asam garam, dan di depannya, satu-satunya pendengar ciliknya menatapnya tanpa berkedip.
“Bapak masih kecil ketika beliau meninggal, ketika seseorang yang tidak senang dengan kesetiaan ayah Bapak kepada negara, menikamnya di dada. Orang itu jahat, dia koruptor yang sebelumnya diadukan oleh ayah Bapak ke pihak berwajib. Ayah Bapak memang meninggal, tapi beliau meninggal dalam keadaan bersih dan jujur.”
Bapak mengganti senyum lebarnya dengan sebentuk senyum sedih. Namun binar matanya yang dipenuhi kebanggaan tidak ikut digelayuti awan kesedihan. Amir terdiam saat mendengarnya, tangannya memeluk betisnya ke dada. Bapak tertawa kecil melihat keseriusan Amir, lalu kembali bercerita, “Karena Bapak tidak bisa menjadi seorang pejuang seperti ayah Bapak, tidak bisa mengangkat senjata dan tidak cakap menjadi aparat, Bapak setidaknya menunjukkan kesetiaan Bapak kepada negara dengan cara yang berbeda. Bapak PNS, tapi tidak korupsi. Setelah pensiun pun, Bapak suka membacakan berita keras-keras di teras agar semua orang yang sibuk bisa mendengar dan tahu perkembangan negara ini. Bapak senang, setidaknya ada satu orang yang Bapak tahu mendengarkan dengan serius.”
Diam sejenak.
“Amir, Pak?”
Pria tua itu terbahak. Perut bundarnya bergoyang ketika beliau tertawa. Matanya menyipit nyaris hilang, dan tangannya mengacak-acak rambut Amir dengan bangga, menerbitkan senyum di bibir laki-laki kecil tersebut. Namun bukan hanya senyum yang berbuah. Sesuatu yang lain, ikut tumbuh, tumbuhnya di dalam dada Amir.
***
“Begini aman, bang?”
“Banyak tanya saja kau! Semua orang juga melakukannya, ya jelas aman!”
“Tapi bahaya kan, bang…”
“Bahaya, bahaya! Hah. Tahu apa kau soal bahaya?”
“Bahaya sama polisi lah, jelas, bang!”
Telinga Amir seakan berdiri. Tubuhnya menegak dan menjadi tegang begitu nama ‘polisi’ disebut. Tangannya yang tengah menggosok sebuah sepatu berhenti bergerak, seakan gerakan sekecil apapun akan menghalanginya dari mendengar lebih jelas. Tanpa menoleh, Amir menempelkan telinganya lebih dekat ke pintu yang setengah terbuka. Tubuhnya merapat ke rak sepatu yang menyembunyikannya dari pandangan.
“Ada uang, kan? Kasih uang sedikit, supaya diam…”
“Uang abang cukup untuk nyogok polisi?”
“Warnetku ini sudah cabang ketiga, tahu! Uangku cukup, lah…”
“Hati-hati bang, mencuri listrik negara itu perkara berat…”
“Kau ini, banyak khawatirnya!”
Wajah Amir memucat. Ia mengenali suara Mas Togik. Dan ia juga pernah membaca di koran Bapak, bahwa mencuri listrik negara adalah perbuatan melanggar hukum. Pembicaraan di balik pintu staff warnet ini rupanya hanya ia yang mendengar, karena ia duduk di depan pintu. Penyewa komputer lainnya nampak serius menatap layar, dan sebagian besar memasang headphone. Suara bising dari game juga menutupi pembicaraan serius ini dari banyak orang, kecuali Amir.
Pembicaraan di dalam masih berlanjut, tapi sudah beralih topik. Mas Togik dengan tinggi hati menandaskan bahwa sejauh ini ia selalu luput dengan sedikit sogokan. Amir perlahan-lahan meletakkan sikatnya di lantai. Takut-takut, ia mencoba membayangkan, apa yang akan dilakukan Bapak, kalau ia yang berada di posisi Amir. Beliau tidak akan tinggal diam, itu pasti. Beliau selalu menegaskan bahwa pelanggar hukum itu pengkhianat negara, dan kalau ayah Bapak saja meninggal karena melaporkan pelanggar hukum, Bapak tidak akan diam saja mendengar ada pencuri dan penyogok. Mungkin beliau juga berharap Amir akan melakukan hal yang sama dengan apa yang mungkin akan dilakukannya.
Mengumpulkan keberaniannya, Amir kini berdiri dan membuka pintu lebar-lebar. Dilihatnya Mas Togik dan seorang operator warnet terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Meski tangannya bergetar, Amir berusaha mengukuhkan suaranya hingga terdengar tegas. “Mas Togik! Itu nggak boleh!”
Mas Togik dan si operator terdiam, masih kaget barangkali. Amir memanfaatkan hal itu untuk kembali berteriak, “Mencuri dari negara itu berarti pengkhianatan, dan itu nggak boleh. Mas Togik bisa dipenjara!”
Teriakan Amir nampaknya berhasil memancing sedikit perhatian. Beberapa penyewa warnet nampak melirik dari balik komputer dan sebagian bahkan melepas headphone atau mengecilkan speaker. Melihat itu, wajah Mas Togik memerah karena marah, dengan kasar ditariknya Amir keluar dari warnet, diseretnya dengan gampang anak laki-laki kerempeng itu ke pintu belakang yang sepi. Disana, tangan besarnya mendorong Amir ke tembok dengan kasar. “NGOMONG APA KAU!?” bentaknya di depan muka Amir.
Amir terkesiap. Bentakan keras itu menulikan telinganya, dan nafas Mas Togik terasa membakar kulit wajahnya. Refleks, Amir membentengi kepalanya dengan tangan, namun Mas Togik ternyata mengincar perutnya. “Kau berani bilang-bilang, kuhajar kau!” sebuah tinju bersarang di perut Amir. Jeritan kesakitan tertahan di leher anak laki-laki itu.
“Jangan! Ampunin Amir, Mas To—” Satu lagi tinju menghajarnya hingga tersungkur.
“Anak ingusan berani mengancamku soal penjara, heh. Cuma tukang semir saja, dikiranya dia tahu soal hukum!” Pria bertubuh besar itu kini menyarangkan tendangannya, Amir menjerit kesakitan. Tapi di dalam warnet, sang operator meninggikan volume musik di speaker sehingga tak ada yang mendengarnya.
***
“Ketika orang barat menegakkan keadilan, dia dipuji-puji, tapi ketika orang muslim yang menegakkan keadilan, dia dieksekusi!”
“Ketika seorang Yahudi menumbuhkan jenggot, dia dianggap mempraktikkan agamanya, tapi ketika seorang muslim menumbuhkan jenggot seperti sunah rasul, dia disebut teroris!”
“Ketika orang berkuasa korupsi, dia diberi sel bintang lima, tapi ketika orang kecil mencuri ayam, dia dibakar hidup-hidup!”
“Hukum di dunia ini lemah. Stereotype masih berkuasa. Aparat bisa disuap. Media bisa dibeli. Negara ini lebih-lebih buruk lagi. Hidup jujur semakin ditantang. Tapi bagaimanapun juga, Bapak cinta negara ini. Bapak memerangi pengkhianat hukum. Hukum tidak sempurna, karena manusia juga tidak sempurna. Jadilah pintar, jadilah manusia sempurna, agar hukum bisa ditegakkan!”
***
Jadi pintar…
“Bapak… dimana, Bu?”
Wanita tua itu menangis. Menumpahkan air matanya ke atas ujung jilbabnya yang ditarik menutupi muka. Isakannya mendominasi ruangan, dimana semua orang seakan membisu tak ada yang berani bersuara. Seorang wanita berjilbab lainnya mendekat dan memeluk istri Bapak, memandang Amir yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan sedih.
“Bapak… di rumah sakit.” Ungkap wanita itu dengan mata yang sembab dan memerah. Ucapannya seakan menampar Amir, menambahkan luka ke atas wajah dan tubuhnya yang sudah lebam dan babak belur. Tangan Amir yang tengah menggenggam erat kotak semirnya bergetar, mengucurkan darah segar dari luka yang terbuka.
“B-bapak sakit apa?”
Isakan istri Bapak semakin keras. Kali ini bahkan wanita yang memeluknya tak berani bersuara, namun ikut menunduk bersama wajah-wajah lainnya di dalam ruangan. Seorang pria muda bangkit dan membimbing Amir ke teras, ia duduk di kursi dimana Bapak biasa duduk membacakan koran, menatap Amir dengan serius.
“Nama kamu siapa?” Tanyanya dengan suara serak yang jelas habis menangis, namun terdengar tabah.
“Amir.”
“Jadi kamu yang sering diceritakan ayah saya.”
“Mas anaknya Bapak?”
Pria muda itu mengangguk. Wajahnya menunjukkan kesedihan ketika ia kembali bicara, “Bapak sudah meninggal, Amir…”
“…”
“Anak bungsu ayah yang tinggal di kota lain masuk koran. Adik saya itu terjebak kasus korupsi di kantornya. Tidak hanya itu, dia juga menggunakan jasa joki napi. Ayah saya yang tadinya mengunjungi ke penjara karena tidak percaya anaknya bersalah, terkejut setengah mati melihat yang meringkuk di penjara bukanlah anaknya.”
Suara pria itu terdengar terluka.
Tapi Amir juga terluka.
“Ayah kena serangan jantung, sudah dibawa ke rumah sakit, tapi—”
“…”
“Ayah saya sering cerita soal kamu. Makanya saya beritahu kamu.”
“B-bapak bilang koruptor itu orang jahat. Kenapa anak Bapak jadi koruptor…?”
Pria itu tersenyum lemah. Ada kesedihan dan kemarahan di matanya, tapi penguasaan akan emosi ditunjukkannya dengan sangat baik. Tangan pria itu membelai rambut Amir dan ia menggeleng, “Amir masih terlalu kecil untuk mengerti.”
Tapi Bapak tidak akan berkata demikian. Kalau ada Bapak disini, beliau akan menjelaskannya kepada Amir, agar Amir mengerti dan ‘jadi pintar’. Beliau akan berapi-api menandaskan bahwa hal itu tidak benar, dan siapapun pelakunya harus ditindak sesuai hukum. Bapak tidak pernah menyetujui pengkhianat hukum, tapi…
“…Kalau anak Bapak yang berkhianat, kenapa Bapak yang harus pergi?”
Tangis meleleh dari mata Amir, menuruni pipinya dan jatuh ke lantai. Segala luka di tubuhnya terlupakan, dan rasa sakit di dadanya mengalahkan sakit di kulitnya. Suaranya serak ketika bertanya, dan ia tahu pertanyaannya takkan pernah terjawab.
Mulai besok, dia tidak akan datang ke rumah itu lagi setiap pagi.
Mulai besok, suara Bapak tidak akan lagi mengawali pagi di kampung ini. Tidak ada lagi berita-berita dari Bapak. Tidak ada.
Pengkhianat hukum yang membawa pergi nyawa ayah Bapak, dan sekarang… Bapak juga sama. * (FIN)