Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 16 Februari 2011

Kamu Cantik

Oleh Fadilla D.P. (@dilladp)

"Kita putus aja."

Suara lirih yang keluar dari bibirnya terdengar seperti halilintar di telingaku. Di hadapanku kini berdiri Arvan, pacarku yang sudah bersamaku selama kurang lebih setengah tahun.

Arvan adalah satu-satunya lelaki yang bisa membuatku buta terhadap lelaki lain. Selama dengannya, aku tak pernah berpaling padanya, apalagi berselingkuh. Dulu aku pernah berjanji, bahwa aku akan melakukan hal apapun untuk dapat selalu bersamanya. Tapi siapa sangka, justru janjiku tersebut hancur oleh tiga buah kata yang meluncur secara tiba-tiba dari mulutnya, tanpa suatu alasan yang bisa kumengerti.

"Kamu bercanda?" tanyaku dengan bibir bergetar, jantungku berdebar dua kali lebih kencang. Pikiranku terlalu kalut untuk mengucapkan kata-kata lain.

"Apa aku terlihat seperti bercanda?" tanyanya dengan mimik serius.

"Ke.. napa?" aku menggigit bibir, menahan air mata yang hampir tumpah dari sudut mataku.

"Aku cuma.. aku, cuma ngerasa.. kita udah gak mungkin bersama lagi," ia menjawab dengan kaku, tak tega menatap diriku yang sudah pucat setengah mati.

"Aku salah apa sama kamu? Aku dosa apa sama kamu? Aku gak selingkuh, aku gak ngapa-ngapain kamu! Apa kamu bosen sama aku? Apa kamu udah gak sayang lagi sama aku? Kenapa?" suaraku semakin meninggi, dikuasai oleh emosi yang sebentar lagi meledak.

"Vin, nggak Vin, nggak! Aku masih sayang sama kamu, tapi.." Arvan mencoba menenangkanku. Ia tampak tidak sedang berbohong, aku bisa merasakan itu. Arvan selalu menatap mataku dalam-dalam apabila ia sedang bersungguh-sungguh. Namun, bukan dalam situasi seperti ini yang kuharapkan.

"Tapi kenapa?!" aku tak kuasa lagi menahan ledakan emosi. Air mataku tumpah, mengalir membasahi pipiku. Aku paling benci kata "tapi" yang ia ucapkan. Sesayang apapun dirinya padaku, takkan ada artinya apabila ia menambahkan kata tersebut di belakangnya.

"Aku.. gak bisa mencintai diri kamu yang sekarang, Vin. Maaf," Arvin menjawab dengan kepala tertunduk.

Seketika air mataku surut. Rasa sedih dan emosiku digantikan oleh sebuah rasa penasaran. "Ada apa? Memang apa yang aku lakukan?"

Arvan terdiam dan tenggelam dalam pikirannya, membuatku semakin tidak mengerti.

"Aku apa, Van? Aku kenapa?" rasa penasaranku memuncak.

"Ada yang berubah dari diri kamu."

"Apa? Aku berubah apa? Manja? Pemarah? Nyebelin? Apa, Van? Bilang, biar aku bisa memperbaikinya! Jangan segampang itu bilang putus, Van," aku setengah memohon padanya, frustasi dengan perubahan sikap yang ia tunjukkan padaku. Aku tak siap jika harus kehilangan dirinya. Tidak sama sekali.

"Itu bukan sesuatu yang semudah itu diperbaiki, Vin."

"Apa, Van? Apa? Bilang sama aku! Tolong!" aku hampir menjerit saking tak tahan dengan segala situasi ini. Aku ingin terbebas dari rasa ini, sungguh menyesakkan, Tuhan..

"Apa yang kamu udah lakuin di belakang aku, Vin?"

"Apa?" aku semakin tidak mengerti dengan pernyataannya.

"Apa yang kamu lakuin seminggu yang lalu, di rumah sakit Bakti?"

Deg! Jantungku berdegup dengan kencang. Maksudnya..

"Oh, gak perlu kamu tutupi, Vin. Hanya dengan melihat diri kamu yang sekarang aja aku udah tahu, kalau ada sesuatu yang berbeda dengan kamu. Kamu yang sekarang itu palsu, Vin. Meskipun kamu tampak lebih cantik, tapi itu justru terlihat lebih buruk di mata aku. Aku memang pernah bilang kalau aku suka wanita berhidung mancung, tapi bukan berarti aku gak sayang sama kamu hanya karena kamu gak seperti itu, Vin. Itu hanya ketertarikan fisik semata yang gak ada artinya apa-apa dibandingkan diri kamu buat aku. Kamu itu cantik di mata aku, cantik banget. Tapi sayang, perbuatan kamu itu justru menghapus semua kekaguman diri aku sama kamu selama ini."

Aku menganga, terpana mendengar setiap deret kalimat yang ia lontarkan. Tuhan, jadi ia sadar kalau aku telah..

"Satu lagi, Vin. Kalau kamu mau operasi plastik lagi, jangan sekali-kali meminta jasa ayahku lagi."

Ia menutup perkataannya tanpa sepatah kata perpisahan pun. Ia berlalu meninggalkanku begitu saja yang masih terdiam kaku di tempatku semula, tidak mampu berkata-kata. Arvan telah sepenuhnya lepas dari genggamanku.

***

Tak ada lagi tatapan kagum yang ditujukan padaku.
Tak ada lagi pujian yang keluar untukku.
Tak ada lagi penghargaan yang datang untukku.
Semua tak ada lagi kini..

Sekarang aku baru menyadari, bahwa kecantikan tak akan terlihat cantik apabila dalam kegelapan. Tapi hati, kebaikan hati yang tersimpan rapat di dalam diri, dapat memancar keluar meski gelap menyelimuti. Tuhan, mengapa aku baru menyadarinya kini, setelah aku berbuat kesalahan terbesar dalam hidupku..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!