Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 20 Februari 2011

Mode

Oleh: Ifnur Hikmah (@iiphche)
www.ifnurhikmahofficial.blogspot.com


“Astaga Renata.”
Teriakan nyaring dari arah belakang membuatku terlonjak kaget. Untung saja refleksku bagus. Kalau tidak, sebungkus gula ini pasti sudah ku lempar saking kagetnya.
Aku berbalik dan mendapati Lasja, temanku –well, teman bukanlah istilah yang tepat. Rival sepertinya lebih cocok mengingat ketidakakuranku dengannya- berdiri melongo. Wajahnya terlihat kaget dengan mulut menganga dan mata membulat besar. Tangan kirinya menutup mulutnya yang terbuka lebar.
Jujur, aku merasa ekspresi Lasja berbelihan. Seperti melihat hantu di siang bolong saja.
“Hai,” sapaku malas. Ughhh, aku selalu malas berurusan dengan Lasja, dan tidak sengaja bertemu dengannya di hari libur ibarat mimpi buruk untukku.
“Ya ampun Renata. Lo abis kebanjiran? Atau rumah lo kebakaran?” cerocos Lasja asal.
Lagi-lagi aku mengernyit. “Lo apa-apaan sih. Lo nyumpahin gue yang nggak-nggak ya?”
Lasja menatapku secara seksama. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sedikit pun tak ada yang terlepas dari pengamatannya. “Gue kaget aja lihat penampilan lo. Lo nggak kayak Renata yang biasa gue lihat. Acak-acakan. Lo kayak nggak mengenal sisir. Fine, kalo lo ingin terlihat messy, tapi nggak kayak gini.”
Aku membuka mulut untuk menanggapinya tapi Lasja terus menyerocos tanpa henti.
“Trus kaos yang lo pakai? Iyuhhh, kalo gue cuma mau make itu pas tidur. Dan celana lo. Masih jaman celana digulung? Kayak abis kebanjiran aja. Renata… Renata,” Lasja menggelengkan kepalanya. “Seorang editor in chief majalah fashion ternama di Indonesia berpenampilan seperti ini? Gue yakin, Coco Chanel bakal menggelinjang di alam sana melihat salah satu anak didiknya menyalahi hukum fashion.”
Aku mencibir. “Sja, rumah gue cuma berjarak satu blok dari sini dan gue ke sini hanya buat beli kopi dan gula. Buat apa gue dandan full make up and full dress up?” Dengan tatapan nyinyir aku memandang Lasja. Penampilannya hari itu memang ‘So Lasja’. Strap heells, legging merah menyala dan strip dress half shoulder selutut. Belum lagi wajahnya yang full make up dan rambut bob yang ‘ughhh.. so chic’. “Lo kayak mau ke mall atau acara apa gitu,” celetukku.
Lasja angkat bahu. “It’s a must baby, apalagi bagi orang seperti kita. Penampilan adalah yang nomor satu. Mungkin saja kita bertemu klien kan?”
“Ya ya..” timpalku singkat. Jujur saja, aku ingin Lasja segera enyah dari hadapanku.
Sepertinya Lasja menyadari ketidaksukaanku sehingga dia burur-buru pamit. “Oke baby, gue duluan. Gue cuma mampir buat beli rokok. Kebetulan rokok Josh habis. Daghh….”
Aku melambaikan tangan malas. Kedatangan Lasja benar-benar merusak mood. Dan apa katanya tadi? Josh? Sial ternyata dia masih pacaran dengan Josh. Aku semakin gondok. Josh kan model yang diorbitkan majalahku, kenapa dia bisa pacaran dengan Lasja padahal jelas-jelas aku yang mengenalnya lebih dulu.
Oke oke, aku memang cemburu, tapi kecemburuan ini murni berdasar pada ketidaksukaanku pada Lasja. Bukan berarti aku mencintai Josh, hanya saja aku tidak suka model yang ku orbitkan jatuh ke tangan rival sejatiku. Itu artinya, Josh akan lebih sering muncul di Night Out, majalah Lasja, ketimbang di Mode, majalahku, meskipun jelas-jelas awal karirnya di Mode.
Arghhh, persetan dengan Josh. Sekarang aku benar-benar terganggu dengan komentar Lasja.
Mau tak mau aku harus mengakui bahwa Lasja benar. Penampilanku memang berantakan. Aku hanya mengikat rambut tanpa disisir terlebih dahulu, mengenakan kaos rumah dan celana jins belel yang sudah kumiliki sejak di bangku kuliah. Untuk menambah keamburadulanku, aku mengenakan sandal jepit yang sebetulnya lebih cocok untuk dipakai ke pasar.
Jika aku berkaca maka aku seperti tak mengenal siapa yang dipantulkan kaca tersebut. Itu bukanlah seorang Renata Danurjaja yang biasa berpenampilan edgy dengan sederet koleksi coat yang biasa menemani hari-harinya. Tapi, bukankah kepergianku ke mini market ini begitu spontan? Kopiku habis dan aku tidak bisa hidup tanpa kopi di pagi hari. Tanpa ba bi bu lagi, langsung saja aku beranjak ke mini market dekat rumah. Mana mungkin aku sempat berpikir untuk dandan dulu?
Lasja memang berlebihan, tapi Lasja bukanlah satu-satunya orang yang selalu mengusik penampilanku. Seolah seluruh dunia menyuruhku untuk selalu tampil rapi dan fashionable. Seolah semua orang di sisiku memaksaku untuk tampil cantik dengan setumpuk pakaian dan aksesoris branded di tubuhku. Seolah glamour telah menjadi nama tengahku.
Aku tidak mengingkarinya. Toh, inilah duniaku dan aku yang memilih untuk tinggal di dalamnya. Kecintaanku pada dunia fashion dan majalah membuatku terdampar di MODE, sebuah majalah fashion and lifestyle yang mengaku sebagai the largest magazine in Indonesia. Setelah bertahun-tahun berkutat sebagai pembaca, maka sejak dua belas tahun lalu aku berhasil masuk ke dalam jejeran redaksi dan selama dua tahun belakangan, aku dipercaya memegang tampuk kepemimpinan alias Pemimpin Redaksi. Posisi ini –dan juga majalah tempatku bekerja- menuntutku untuk selalu tampil glamour. Toh, majalah ini juga memanjakanku dengan limpahan materi yang membuatku bisa sesuka hati keluar masuk toko atau butik ternama. Belum lagi kiriman-kiriman dari klien MODE. Dalam waktu sebulan, tak terhitung barapa banyak baju, tas, sepatu, aksesoris, bahkan make up yang ku pakai, semuanya di endorse oleh klien MODE. Ditambah lagi dengan gadget mutakhir yang menunjang penampilanku, semuanya bisa ku miliki. Dengan sebaris dua baris kalimat di majalah, koleksi terbaru dari seorang desainer berhasil ku miliki. Mereka bilang itu barang contoh, aku tidak peduli. Yang penting, lemariku terus terisi dan semakin lama semakin sesak.
Posisi ini tidak hanya membuatku dikenal di kalangan penggiat fashion tanah air. Sebagai salah satu majalah franchise dari kota mode dunia, Paris dan New York, maka tak pelak lagi, para icon fashion dunia pun bisa ku jangkau. Contohnya, bulan lalu aku baru saja kembali dari Prancis karena Thierry Mugler –ya, maestro parfum itu- mengundangku sebagai perwakilan dari Indonesia untuk datang langsung ke pabrik mereka di paris. Jalan-jalan ke Paris gratis –meski dengan judul tugas liputan- dan pulang dengan sebotol parfum terbaru serta bercengkarama dengan pemimpin redaksi dari berbagai belahan dunia adalah pengalaman tak ternilai untukku.
Karena itulah seolah-olah dunia tak mengizinkanku untuk tampil seadanya. Wong aku cuma mau ke mini market dekat rumah, masa aku harus pake long coat dan ankle boots –gaya andalanku-? Toh kepergianku tak lebih dari sepuluh menit. Beda ceritanya jika aku harus bertemu klien atau sekedar berangkat ke kantor. Tampil chic is a must. Ini juga yang aku ajarkan kepada ‘anak-anak’ di kantor. Kita bekerja di majalah fashion, kita memberitahu pembaca tentang tren terbaru, kita bersikap ibaratnya sebuah kitab suci berisi panduan gaya hidup terkini, maka sudah seharusnya kita –para pekerja di belakangnya- tampil sempurna. Kita adalah representasi dari MODE. Itulah yang selalu ku katakana pada anak-anak.
Namun, bukan berarti hal ini membuatku tak boleh tampil seadanya. Jika boleh, aku mendeskripsikan diriku seperti dua sisi mata uang. Saat di kantor, aku adalah Renata si glamour, tapi saat aku berada di dunia kecilku, maka aku adalah Renata si gadis biasa yang terkadang tampil dengan rambut messy, kaos butung dan jins belelnya.
Lalu, mengapa takdir selalu mengkonfrontasiku? Seolah-olah aku tak boleh tampil biasa. Lasja bukan satu-satunya orang yang pernah mengkritikku seperti tadi. Tiga bulan lau, saat aku dan Philip –tunanganku- memutuskan untuk backpacking keliling Jawa bareng Sita, sepupu Philip. Namanya juga backpacking, tentu kaos, jins dan keds adalah padanan yang sesuai. Namun, saat aku melangkah keluar dari pintu, Sita menatapku dengan ekspresi kaget.
“Ternyata lo bisa merakyat juga Ren,” ujarnya.
Saat itu aku hanya tersenyum masam sementara Philip berusaha keras menyembunyikan tawanya.
Lain waktu, masih bersama Philip. Saat itu kami berencana untuk jalan-jalan ke sebuah desa di kaki Gunung Salak. Otomatis ankle boots, strap heels, coat dan tote bag serta wayfarer andalanku mendekam di rumah. Sebagai gantinya cukup celana jins selutut, polo shirt dan Doc Mart. Tahu yang membuatku kesal? Tak lain adalah komentar Philip.
“Ren, kamu bisa juga lepas dari sepatu hak tinggimu.”
Ini tak seberapa. Saat MODE mengadakan acara amal membantu korban bencana gempa, aku ikut terjun langsung ke lapangan. Aku membantu para pengungsi di tenda pengungsian. Berhari-hari di sana tentu membuatku tak lagi mempedulikan wajah. Toh, keadaan warga Yogya jauh lebih menarik perhatinku. Satu dua jerawat bermunculan di pipi.
Suatu siang, bos besar datang dari Jakarta. Saat itu aku tengah makan siang dengan para pengungsi. Penampilanku tentu sangat jauh dari kesan chic, apalagi glamour. Hanya sebuah kaos oblong dan celana jins belel. Melihatku, si bos berteriak lantang.
“Renata, are you okay?”
“I’m fine. What’s wrong?”
“Kamu nggak jauh beda sama korban gempa di sini.”
Otomatis aku terbelalak. Tiga hari tinggal bersama mereka jelas saja membutku cukup membaur. Tapi si bos sepertinya jijik melihatku. Lha wong yang biasa dia lihat adalah Renata yang always look fabolous and very fashionable.
Inilah yang selalu mengganggu pikiranku. Aku memang bekerja di tempat dimana aku dituntut untuk selalu terlihat fabolous tapi aku tetap saja manusia biasa yang duniaku tak hanya berkisar di MODE. Aku sering jalan-jalan keliling Jakarta, backpacker dan kalau lagi malas, maka aku pun tampil seadanya. Namun, saat aku mewakili MODE atau datang ke acara yang menuntutku untuk rapi, aku juga bisa memenuhi tuntutan mereka. Seperti yang dikatakan ‘ibu suri’ Coco Chanel, Fashion fades, only style remains the same. Seperti apapun pergerakan fashion, aku tetap sebagai pemegang kendali atas apa yang ku kenakan.
Aku memang si pemuja fashion. Aku selalu mengikuti perkembangan terbaru. Namun prinsipku, akulah yang membentuk mode, bukan mode yang membentukku. Aku selalu melihat, sedang dimana aku dan siapa yang ada di hadapanku sebelum memutuskan untuk memakai sesuatu. Fashion memang selalu melalju dengan cepat tapi bukan berarti kita harus selalu mengikutinya? Aku menyukai gaya Carrie Bradshaw tapi aku cukup tahu diri untuk tidak memakai summer dress di Jakarta. Intinya, akulah yang menggerakkan fashion, bukan fashion yang mendikteku.
Prinsip itu selalu ku pegang, meski terkadang dunia yang ku tinggali tidak mengizinkannya. Aku tidak ingin seperti Lasja yang justru diperbudak mode. Dia yang harus mengikuti keinginan dunianya, bukan dia yang menentukan apa yang seharusnya dilakukannya. Aku tidak ingin seperti itu. Saat aku mewakili MODE, maka jadilah aku the stunning Renata. Namun saat aku menjelajah, maka inilah aku, si backpacker gila.
Dan saat aku hanya keluar rumah demi gula dan kopi, bukan berarti the stunning Renata harus ikut keluar tho?
Aku mendesah. Berat memang, tapi inilah konsekwensi yang harus ku jalani. Aku yang memilih dunia ini, so akulah yang harus bertanggung jawab.
Pertemuan dengan Lasja memang menurunkan mood –heii, bukankah selalu seperti itu? kapan kami pernah akur?- tapi bukan berarti aku terpengaruh dengan ucapannya dan jadi seperti dia.
“Hanya ini mbak?” ucapan si petugas kasir membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk.
Si kasir mengambil uang yang ku sodorkan dan menghitung kembaliannya sambil sesekali curi-curi pandang kepadaku.
“Ada apa?” tanyaku risih.
Dia tersenyum malu. “Saya cuma pangling lihat mbak. Mbak Renata yang biasa saya lihat tidak acak-acakan seperti ini,” ujarnya pelan dan tidak berani menatapku.
Aku tercekat. Geram. Bahkan, petugas kasir di mini market kecil dekat rumahku juga menuntutku SELALU TAMPIL SEMPURNA?
Ya Tuhan, dunia macam apa ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!