Oleh: @reynaldosiahaan
“Erin…Erin…” Kelopak mataku perlahan terbuka. Aku tak bisa merasakan kaki kananku. Kepalaku rasanya seperti baru saja terkena pukulan keras di bagian belakang. Kabur. Aku masih belum bisa melihat semuanya dengan jelas. Kepalaku berputar ke kiri dan kanan mencoba meraih sebuah pandangan yang membuat hatiku tenang tentang keberadaanku saat ini. “Aku dimana?” tanyaku dengan nafas yang terdistorsi.
Satu hal yang kuingat adalah aku sedang berada di sebuah gedung tua. Namun, aku bahkan tak mengingat apa yang sedang kulakukan di sana. Ada musik yang melantun perlahan. Rangkaian melodi dan nada-nada yang indah pada waktu itu masih ada dalam memoriku. Namun, apa yang terjadi saat itu masih merupakan misteri bagiku saat ini. Dengan pandangan yang kabur dan suara yang terbatah-batah aku mencoba mencapai posisi dudukku.
Belum juga aku terduduk seorang berbaju putih bertanya padaku,”Siapa Erin? Nama kamu erin?”. Ia membaringkan aku kembali ke ranjang yang bahkan belum pernah kurasakan di kamarku biasanya. Orang itu terus melontarkan pertanyaan yang sama padaku. Mereka terus bertanya siapa Erin. Kedua bibirku ingin mengeluarkan kata-kata tetapi mereka seakan tidak mau keluar dari sana. Sepertinya 2 kata pertama tadi begitu menyita pita suaraku. Masih. Aku masih belum merasakan kaki kananku. Suara dan pertanyaan tadi perlahan hilang dari jangkauan telingaku. Kelopak mataku kembali tertutup dan aku kembali tak sadarkan diri.
“Erin…Erin..” Kali ini aku terbangun dengan pandangan yang jelas. Sorotan mataku langsung terproyeksi pada orang berbaju putih. Ternyata itu orang yang tadi. Kali ini dia tidak bertanya siapa Erin. “Bagaimana perasaanmu?”,tanyanya. Aku ragu menjawabnya karena sampai saat inipun aku tidak merasakan kaki kananku. “Dimana ini?”, tanyaku. Saat itu juga aku menyadari bahwa orang berbaju putih itu adalah dokter dan aku membangun kesimpulan bahwa aku sedang berada di Rumah Sakit. “Dimana Erin?”, tanyaku lanjut. Mimik muka dokter itu berubah seketika seakan ia tak percaya dengan yang ia dengar. “Namamu bukan Erin?”,jawab dokter itu. Perasaanku berkata bahwa sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.
Erin adalah temanku, seorang gadis kecil yang suka menari. Melihat seseorang menari tepatnya. Erin ingin sekali berdansa tetapi keadaan membuatnya tidak bisa berharap lebih. Erin lumpuh semenjak berusia 5 tahun. Kehidupan sebagai anak jalanan tidak memberikannya banyak pilihan selain menerima kelumpuhannya. Mungkin hal itu juga yang membuatnya sangat senang melihat orang menari. Katanya, melihat seseorang menyuguhkan tarian di depan matanya membuatnya merasa seperti orang normal dengan kaki yang berfungsi dengan baik. Aku akhirnya ingat mengapa ada musik dan gedung tua dalam memoriku. Aku hendak mengajari Erin menari di gedung tua tempat kami biasa bermain. Dansa, tarian yang sangat disukainya.
“Sebenarnya apa yang terjadi?”,tanyaku cemas pada dokter itu.
“Beberapa gelandangan menemukanmu dalam kondisi pingsan dan terluka di sebuah gedung tua. Sepertinya kamu tertimpa reruntuhan gedung itu”, jawab dokter.
Jawaban itu semakin membuatku cemas. “Lalu dimana Erin? Kalian tidak menemukan gadis kecil bersamaku?”,tanyaku lagi.
“Dari pengakuan orang yang membawamu kemari, tidak ada siapa-siapa lagi di sana selain kamu”,kata dokter itu.
“Kalian harus memeriksanya lagi. Kalian harus memeriksa reruntuhan itu lagi.”,teriakku.
Teriakan itu memaksaku mengeluarkan air mata yang aku sendiri belum bisa memastikan apa artinya. Tubuhku gemetar dan pandanganku tiba-tiba menjadi berputar-putar. “Baik, kami akan meminta polisi memeriksanya tapi kamu harus tenang dulu. Kondisimu tidak baik.”,kata dokter itu menenangkan. Dokter itupun pergi. Aku kehilangan kesadaranku lagi seiring dengan perginya dokter itu.
2 jam kemudian, aku terbangun dan mengingat semuanya setelah ketiga kalinya kehilangan kesadaran. Dokter yang sama ada di sampingku. Mimiknya kali ini menunjukkan ekspresi yang semakin membuatku pilu.
“Erin ada di sana”,kata dokter ini perlahan.
Entah mengapa tetapi jawaban itu bukannya membuatku tenang tetapi malah membuat pikiranku semakin cemas dan kacau.
“Erin ada di sana, tetapi ia telah pergi tanpa sepengetahuanmu. Ia sudah tiada. Ia tertimpa lebih dalam dari reruntuhan yang menimpamu”,ucap dokter ini sembari memegang tanganku.
Hanya sekejap setelah mendengar ucapan dokter itu mataku mulai berkaca-kaca. Aku mengecewakan Erin. Aku hanya ingin menunjukkan padanya bahwa ia tidak perlu selalu hanya melihat orang menari. Ia bisa membawakan tarian apapun yang ia mau. Aku hanya ingin mengajarkannya dansa sore itu. Aku hanya ingin membawanya ke tempat yang kami yang biasa agar ia tidak perlu malu untuk belajar menggerakkan badannya membentuk tarian. Tangisanku yang hanya berupa tetesan-tetesan kecil mungkin tidak bisa membayar kesalahanku yang membawanya ke sana sore itu.
“Jika aku tahu hujan deras sore itu bisa membawa malapetaka melalui gedung itu maka aku tidak akan membawanya ke sana.”,teriakku dalam hati.
Dalam isak tangisku, aku menyadari lagi bahwa aku masih tidak bisa merasakan kaki kananku. Kucoba menghempaskan selimut yang menutupinya dan kudapati bahwa aku kehilangan kaki kananku.
“APA INIIIIII..? MENGAPA BISA BEGINIiiiiii?”,teriakku. Teriakanku mungkin menggemparkan satu lantai rumah sakit pada waktu itu. Aku menangisi diriku. Mungkin ini karmaku. Erin menyukai tarian-tarian yang ia lihat semasa hidupnya. Itu membuatnya lebih hidup. Sekarang mungkin ini ‘hadiah’ bagiku karena menyebabkan Erin harus menyaksikan tarian terakhirnya di reruntuhan gedung. Atau mungkin ini hadiah bagiku agar aku bisa merasakan apa yang Erin rasakan selama ini sebagai penari dalam cermin maya. Jika demikian, aku berterima kasih pada Erin untuk kesempatan ini. Merasakan bentuk tarian itu dari perspektif yang lebih kaya dan berbeda. Aku meminta maaf padanya tetapi setidaknya kini Erin bisa menari dengan kedua kakinya yang utuh di Surga sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!