Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Senin, 21 Februari 2011

Bias


/ ellena ekarahendy / @yellohelle / the-possibellety.blogpsot.com/

Cukup sudah kejengahan ini. Menjadi budak industri adalah kenyataan yang menyedihkan: degradasi ke-manusia-an yang tak kusangka bisa sedemikian meninabobokan (bagi mereka yang sedang disinggahi keberuntungan). Aku? Hanya sebagian dari begitu banyak bukti tentang pemberontakan terhadap alienasi (yang makin lama semakin memabukkan) yang berujung pada praduga, penolakan, kemudian pembuangan. Kita terjebak di dalamnya. Ya, yang kemudian kubawa sepanjang petang ini sebagai kegeraman.

Aku memilih untuk berjalan kaki kali ini, ketimbang menjadi gila karena harus menahan agresi kemarahan di dalam kepala selagi berdesakan dengan makhluk kompleks nan egois dan asing di dalam bis kota. Bahkan kemarahan bisa mematikan rasa lelah di kaki, jauh lebih kuat daripada semangat yang dulu pernah menekan segala bentuk kekecewaan yang merontokkan stamina. Biar saja berjalan, terus berjalan. Aspal jalanan yang tahu amarah  yang kubawa bersama dengan langkah kakiku.

Plastik bekas makanan ringan terbang tertiup angin setelah kutendang dengan sia-sia (iya, masih karena amarah) ketika tetesan-tetesan pertama hujan di akhir Januari singgah di ujung vantouvel coklat tuaku. Tetesan-tetesan selanjutnya memadamkan puntung rokok terakhirku. Oh, ya, bahkan langit mendengar kekesalanku. Tumpahkan saja! Aku memang butuh teman di tengah kekecewaan ini! Tumpahkan! Biar aku rasakan dinginmu!

Persetan dengan setelan kemeja dan dasi yang baru kubeli seminggu lalu ini. Aku hanya menjadi kekonyolan di baliknya. Tiap helai benangnya sedang rakus meresapi tetesan-tetesan hujan yang jatuh semakin girang. Yang kudengar dari tiap detil lipatan dan jahitan di pakaianku hanyalah tawa cemooh yang mengolok-olok. Ya, bahkan aku malu pada topengku sendiri! Turunlah hujan! Sini kemari! Ada makhluk yang hampir mati karena mengejar kebebasannya, yang ternyata sudah punah semenjak lembaran-lembaran bertabur nominal menjadi dewa atas manusia!


“Saudara, Bram, ini keputusan saya. Silahkan dibaca suratnya. Dengan segala hormat, per tanggal 1 Februari 2011 besok, mulailah hidup dengan idealisme Anda yang sayangnya tidak sesuai dengan visi dan misi perusahaan kami. Karena dari kata-kata Anda, saya yakin idealisme mampu membelikan Anda beras dan lauk pauk. Terima kasih.”
Amplop putih panjangnya tak kubuka, hanya kuremas dengan kekesalan. Perintah-perintah kerja dengan suara bas-nya membahana di dalam kepala. Selama 5 tahun berkumpul menjadi awan hitam penuh kekecewaan dan kemarahan yang ternyata sudah tidak bisa lagi ditahan, kemudian terhimpun menjadi tenaga yang mengalir ke tangan kanan. Geledek besar di langit sama mengagetkannya dengan bantingan keras dari pintu si Bos tadi sore. Aku yang membantingnya, bukan si Bos. Amarah dari alam bawah sadar yang merangkak naik ke permukaan. Sudah, biarkanlah.
Aku merogoh saku kemejaku. Amplop putih dengan isi surat yang sudah bertekuk-tekuk memandang dengan kasihan. Untuk apa kamu kasihan? Tadi itu hati nuraniku yang berontak. Kamu tidak perlu memandang iba. Tangisi saja dirimu sendiri, tinta-tinta murahan yang tergores di atasmu mulai kalah oleh air hujan yang semakin galak menghantam-hantam bumi. Biar aku tertawa. Pada kata-kata yang membuat aku terlunta di jalanan, hilang sudah dalam hitungan ke-5. Kamu sekarang hanya lembaran tak bermakna dengan noda tinta yang dulu pernah berkuasa. Kamu sekarang bukan apa-apa, tapi setidaknya kamu tetap menjadi dirimu sendiri. Oh, aku terdengar seperti sedang menghibur diriku sendiri. Tidak, jangan kasihani aku.

“Kak, payungnya, Kak. Lima ribu saja sampai stasiun.”
Ini lagi! Bocah-bocah yang memasang wajah minta dikasihani. Paling-paling uangnya habis di depan mesin-mesin adiktif bernama Play Station atau internet. Generasi-generasi yang menjadi korban kerumitan para pendahulunya. Ah. Aku harus menghapuskan kata ‘kasihan’ dari dalam pikiranku. Sudah tidak ada lagi iba, kita digerakkan oleh roda-roda yang saling adu kuat. Menjadi rasional sama artinya dengan menjadi licik, atau bahkan picik. Tapi aku tidak mau. Ada idealisme yang akhirnya minta disuarakan.
Ia menyodorkan payung besarnya ke arahku, membiarkan ia dihantam-hantam air hujan yang bising. Sementara itu, idealismeku membawa pikiranku terbang kemana-mana: pada area mangrove yang habis terlibas buldoser-buldoser pembangun dengan label perusahaan tempatku bekerja – bekas tempatku bekerja; kemudian membawa aku pada tangisan-tangisan orang area pinggiran yang harus terjungkal karena keberaniannya meminta hak atas tempat tinggal, juga pada batang-batang pohon di hutan yang menjerit pahit, berteriak pada langit yang tidak bisa berbuat apa-apa. Uang yang kubawa di dalam tas terasa menjadi beban moral. Kemanusiaan yang kupendam selama 5 tahun bekerja kini menyerang balik hati nurani. Aku menggigil, bergetar, bergidik ngeri.

“Kak, payungnya, Kak, supaya gak kedinginan,” ujar si bocah kuyup lagi sembari menyeka wajah dengan tangannya yang basah dan mulai keriput.
Ah, mungkin prasangkaku saja. Siapa tahu kamu memang butuh uang untuk sekolah, ya, Nak. Tapi pasti sekolahmu mendapat subsidi, kan, Nak? Ah, lenyaplah kenaifan dari kepalaku! Ada manusia-manusia bertameng kekuasaan yang mendalihkan keserakahannya dengan kesempatan. Entah kemana subsidi pendidikan untuk anak-anak sepertimu melayang. Nurani yang mati, menyisakan apati pada generasi yang tidak mengerti.
“Ini sepuluh ribu, sampai sini saja.”
“Loh, Kak? Kok hujan-hujanan lagi, Kak? Ini sepuluh ribu cukup untuk sampai ke terminal, Kak!” Aku membiarkan tangan basahnya menarik-narik kemejaku,  toh kemejaku juga sudah kuyup dari setadi.
“Tidak apa-apa. Saya memang mau hujan-hujanan. Asyik, kan?”
Si bocah tertawa. Di bawah sinar lampu jalanan menyorot eretan gigi putihnya membuat aku juga menyunggingkan senyum. Adzan Maghrib sudah tak lagi berkumandang. Malam baru akan dimulai. Biarlah, biar aku berjalan kaki saja membuang kekesalan hanya pada kekesalan dan air hujan.
Aku hendak melambaikan tangan pada si bocah ketika ada suara ramai-ramai datang dari belakangnya, muncul dari balik tikungan. Si bocah menoleh kaget, dengan tergesa menyelipkan uang sepuluh ribu pemberianku ke kantung celananya. Ia tak berkata apa-apa, hanya sedikit melompat, lalu wajahnya pucat pasi ketika gerombolan orang-orang menunjuk-nujuk ke arah kami sambil berteriak-teriak marah. Si bocah menabrakkan dirinya ke arahku dengan keras, sembari menepakkan begitu saja benda kulit yang entah dia simpan dimana dari tadi, menghantam kepala sabukku, kemudian ia berlari sekencang-kencangnya. Gerombolan orang tadi berlari makin kencang, mengikutinya dari belakang. Yang kudengar hanya teriakan, “Itu dia ke sana! Tangkap! Tangkap! Kejar, cepat! Ke arah balik masjid itu! Cepat!”
Adegan itu berlalu begitu cepat, sekejap mata, sampai kupikir aku tadi hanya berhalusinasi. Di bawah kakiku ada benda kulit berwarna coklat tua di bawah kakiku, pasti itu yang dihempaskan anak tadi, tidak sempat aku tangkap. Setengah terngenag becekan, kuyup. Sebuah dompet perempuan.
Aku menoleh ke arah anak tadi berlari, hanya bisa memandang dengan kecewa bercampur iba, dengan sedikit berharap si anak mampu membawa pulang sepuluh ribunya dengan selamat, mungkin cukup untuk membeli makan keluarganya malam ini. Tapi mungkin uang di sakunya lebih dari sepuluh ribu, dompet yang tadi dicurinya sudah kosong. TIdak ada uang selembar pun. Nasib sial ternyata juga menimpa empunya dompet, aku bukan satu-satunya orang sial hari ini.

Aku masih menimang-nimang dompet coklat tua itu di tanganku, sembari mencari-cari identitas pemiliknya. Tidak ada kartu penduduk, tidak ada surat mengemudi, tidak ada identitas apa-apa. Hanya foto seorang anak lelaki usia 1 tahun, yang dengan kepolosannya masih bisa tersenyum dengan ceria. Aku tertawa kecil, bertanya-tanya kapan terakhir kali aku pernah tersenyum setulus itu. Semakin aku tertawa ketika menyadari jawabannya adalah tidak pernah, semenjak aku bekerja di perusahaan sialan itu.
Hampir kubuang ke semak-semak dompet tak beridentitas itu, ketika seorang wanita berlari-lari kecil ke arahku sambil memegangi payung merah muda yang menutupi sebagian mukanya. Tangannya menggapai lenganku yang memegangi dompet.

“Maaf?” ujarku, kaget.
Ia hanya menggeleng. Sebuah senyuman terutas dari bibirnya yang memerah dari balik payung. Sensual. Lalu ia berjalan  ke trotoar dengan erat memegangi gagang payung, memastikan air hujan tidak merusak penampilannya yang rapi… dan menggairahkan. Ia diam di sana, berdiri mematung. Kuasumsikan ini dompetnya, namun takut dituduh mengaku-aku karena tidak ada identitas diri di dalam dompetnya.
Aku memilih mendekatkan diri, berdiri di sampingnya. Perempuan ini cantik dan wangi. Entah apa yang dilakukannya seorang diri di balik tikungan sepi begini.
“Maaf, payungnya hanya cukup untuk satu orang,” katanya tiba-tiba. Aku hanya tertawa kecil sambil memberi isyarat tangan “tidak apa-apa”.
 “Maaf, Mas, sepertinya itu dompet saya,” katanya. Akhirnya.

Aku sudah hampir memberikan dompet itu kepadanya, ketika kupikir, tidak ada salahnya menaruh curiga juga, meski dompetnya tidak lagi berisi. “Tidak ada buktinya, Mbak. Tapi dompet ini sudah tidak ada isi uangnya sih.”
“Menurut Mas, kenapa seorang perempuan akhirnya memilih untuk melacur?”
Apa-apaan pertanyaannya? “Karena tidak punya uang?” jawabku asal.
Ia mengangguk. “Jadi tidak mungkin ada uang di dompetnya sebelum jam malam.”
“Maaf?” aku malah mulai gusar.
“Apa yang dibawa oleh pelacur di dompetnya?” tanyanya lagi.
“Kondom?” jawabku cepat.
Ia menggeleng sambil tertawa kecil, cantik dan menarik. “Pelacur tidak bawa kondom di dompetnya, Mas. Pelacur hanya bawa foto anaknya, sekedar mengingatkan kalau ada yang perlu diberi makan di rumah. Itu benar dompet saya.”
Mendadak sugesti membuat hujan terasa semakin dingin di sekujur badan. Ia hanya merendahkan payung, menutupi seluruh wajahnya selagi aku menyodorkan dompet coklat tua itu dengan tangan yang tak kusangka gemetar. Gemuruh besar membahana lagi di langit. Si perempuan ini tersenyum, tangan mulusnya memasukkan dompet ke tas kecilnya. Aku terdiam.

Ingin saja aku membuka percakapan, tapi terhenti. Sebuah sedan mahal melintas dengan cepat di depan kami. Kecongkakan yang dibawa kuda mesin itu hanya menyisakan bercak becekan di kemejaku yang nampaknya harus kucuci tiga hari tiga malam untuk membersihkan nodanya. Si perempuan mengelap kaki jenjangnya yang ikut terciprat. Aku dengar ia berkata, “Maaf Mas, itu pelanggan pertama saya.” Kemudian ia berlenggak cantik mendekati mobil sedan, meninggalkan aku yang masih mematung di atas trotoar memandanginya berlalu.
Ia naik ke bangku penumpang. Siluet sebuah kepala berbadan kekar nampak dari belakang kaca mobil. Plat nomornya mencerminkan kesombongan: plat nomor mobil pejabat.
Aku memalingkan wajah, melanjutkan perjalanan pulang yang mendadak terasa akan sangat melelahkan. Kemarahan yang tadi kubawa dari kantor berubah jadi kepiluan. Kutengok lagi sedan tadi: di ujung kanan atas belakang kaca mobilnya ada stiker burung garuda bertengger gagah mencengkeram bendera merah putih.
Hujan hanya tersisa rintik-rintiknya, menemani langkah kakiku yang terlanjur berat. Sudah bukan lagi karena amarah atau kepiluan. Yang tersisa hanya malu. Malam akan sangat panjang. Harus kuhabiskan segera, esok pagi harus cepat mencari akal agar idealismeku masih bisa untuk mengisi perut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!