Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 16 Februari 2011

Setelah Pengakuan

(Fitrani Puspitasari / @sarirotibergizi)

Tolong…” Suara laki-laki tua itu terdengar bagai bisikan parau dari angin yang berhembus dengan sumbang, membuat bulu kudukku merinding. Tangan berkeriput pria itu terulur, menyentuh tanganku. Spontan aku bergidik, reaksi dari panas tubuhku yang bertabrakan dengan suhu tubuhnya yang sangat dingin. Sepasang matanya yang bersinar redup memandangku dengan lemah, tak berdaya. Ada kepasrahan sekaligus kecemasan yang sangat besar di dalam sana, di balik wajah yang dihiasi keriput dan bintik hitam pria tua tersebut. Ketika akhirnya kuberanikan diri untuk menggenggam balik tangannya, kurasakan gelambir lembek yang terasa seperti tak bertulang.
                “T-tolong…” Ulangnya terbata-bata, kali ini ia menyeret tubuhnya agar semakin dekat kepadaku. Spontan tubuhku bergerak mundur tidak kentara. Ia tidak menyadarinya, namun aku langsung merasa bersalah telah menjauhinya secara naluriah. Kupandangi tubuh lemah kakek berpenampilan lusuh ini yang nampak begitu mengenaskan di bawah cahaya temaram lampu jalanan. Ia nampak begitu rapuh, sehingga aku khawatir ia harus dipapah untuk menyangga bobot tubuhnya.
Tubuh kami saling bersandar pada dinginnya tembok luar bangunan gereja yang berdiri di pinggir jalan raya Jakarta. Jika siang hari, jalanan ini akan ramai oleh hiruk pikuk lalu lintas padat kendaraan, dan gereja ini akan dibanjiri jemaat, namun dalam keheningan tengah malam dan hanya diisi oleh segelintir manusia, dalam hal ini aku dan gelandangan tua ini, tidak ada bedanya antara jalanan ini dengan kuburan. Malam ini begitu tenang dan ganjil. Bahkan tidak satu kendaraan pun lewat.
                “Saya harus… mengakui semuanya…” Pria di sampingku ini melanjutkan dengan tempo bicara yang semakin pelan. Aku masih diam saja, seperti saat ia menghampiriku sepuluh menit yang lalu. Di wajahnya tergambar beban yang berat, sehingga aku merasa apapun yang akan kulakukan atau katakan untuk mencegahnya bicara lebih lanjut dan beristirahat saja akan menjadi sia-sia belaka. Sesuatu dalam diriku memberitahu agar membiarkan pria tua ini untuk terus bicara, menumpahkan ganjalan berat yang masih menjadi penyambung nafasnya.
                “Sa-sayalah yang… membunuh anak itu…” Ia terbatuk kecil ketika bicara, dan kulihat sekujur tubuhnya yang terbalut pakaian kotor mulai gemetar. “S-Sayalah yang menyekapnya, tidak memberinya ma-makan hingga ia mati… saya, itu semua saya…” Lelehan bening tumpah dari kedua matanya, dan ia mulai kesulitan mengatur nafas. Sejujurnya, aku tak mengerti satupun yang ia bicarakan, siapa anak yang ia maksud dan kenapa ia menyekapnya. Tapi tak sedikitpun kurasakan kekuatanku untuk bicara.
                “Tidak ada… yang bisa. Keadaan sedang sulit, sulit sekali…” Bicaranya mulai tak jelas dan semakin terdengar merana, aku yang mendengarnya jadi merasa tidak enak. Dengannya di sampingku, aku memandang jauh ke depan, ke jalanan lengang yang nampak berbeda di bawah sinar lampu jalanan dan di bawah terik mentari siang. Bagaikan seorang cucu yang tengah mendengar keluh-kesah kakeknya, aku duduk disana, menemani gelandangan yang tak kukenal ini, beralaskan tanah dan dinaungi tembok bangunan gereja yang menjulang di atas kepala kami. Tak ada kursi goyang ataupun ruangan hangat bernuansa pedesaan. Hanya ada siluet kami dan tepi jalan.
                Pria tua itu berbicara semakin cepat, kini membisikkan beberapa kata dalam bahasa daerah yang tak kumengerti. Sesekali kutangkap ‘takut tertangkap’, ‘menyesal’, dan ‘dosa berat’, yang berulangkali ia gumamkan dalam desahan nafasnya yang sedih. Semakin banyak ia bercerita, tekanan berat semakin jelas tergambar di wajahnya. Seperti sebuah cerita horror yang bertambah menyeramkan jika diceritakan ulang. Ia mulai mendekap tanganku dengan erat, dan aku tidak bergeming. Telingaku seolah tegak berdiri untuk memastikan ia masih tetap hidup dan berbicara.
                “Dosa ini… tidak akan bisa ditebus, apa yang telah kuperbuat… jahat, jahat…” Ia terus merintih dan meracau, semakin lama semakin bertambah tidak tenang. Aku prihatin dan ingin menenangkan, namun fungsiku nampaknya hanya sebagai pendengar. Ia butuh membagi pengakuan dosa ini, dan karena itulah ia menghampiriku. Malam begitu larut, namun kantukku hilang seketika. Dimulai dari kemunculannya hingga detik ini. Kami sama-sama tinggal di jalanan, apalah susahnya berbagi satu-dua cerita dan keluh kesah, begitu pikirku ketika ia datang. Namun sepertinya aku salah. Apa yang perlu dibaginya bukan sekedar sebuah cerita.
                Dosa.
                Tubuhku bergerak-gerak gelisah seiring pria ini memaparkan perbuatan-perbuatan buruknya semasa muda. Begitu sulit dan seakan tiada berakhir ia menceritakan itu semua, seakan butuh dua kali nyawa agar selesai semua cerita keburukan ini. Dosa demi dosa yang dilakoni seorang manusia, dari ia hidup dalam kejayaan hingga berakhir sebagai tua bangka di pinggir jalan. Setiap cerita berakhir dengan kondisinya yang memburuk dan nafas yang tersengal-sengal terpacu oleh ajal.
                Pria ini sekarat.
                “Saya… malu. Mengakui semua ini… dosa-dosa saya. Malu…”
                Aku bergeming. Ingin rasanya kubisikkan kepadanya, ‘Betapa mudah kau melakukan semua dosa ini, namun hanya untuk mengakuinya saja kau tunda hingga ajal menjelang. Karena MALU.’
                ‘Kemana rasa MALU-mu ketika melakukan semua perbuatan dosa itu? Kenapa masih kau lakukan meski kau sadar betapa buruknya?’
                ‘Setiap nafas yang masih menyambung nyawamu ke dunia ini kau lepaskan bersama pengakuan dosamu, apa kau pikir, semua tidak terlambat?’
                Tak ada satupun pertanyaan-pertanyaan itu yang sampai hati kuucapkan. Tak ada satupun juga yang dapat kulakukan. Di samping tubuh kecilku, pria tua tersebut tidak bergerak dan mendingin. Semua pengakuannya mempercepat ajalnya, setiap butir tenaga yang ia keluarkan untuk bercerita kepadaku kini sudah habis terpakai. Perlahan, aku melepaskan diri dari pegangannya, bergerak meninggalkan tubuhnya yang terbujur bersandar seolah tertidur.
                Esok hari, manusia-manusia lainnya akan melewati jenasah gelandangan itu, tidak menyadari satu nyawa telah tiada. Hingga seseorang menyadarinya, aku sudah tidak ada disini lagi. Cukup sudah malam ini saja aku menjadi saksi perbuatan buruk seorang manusia.
                Cukup sudah. Lagipula, aku hanya seekor kucing jalanan. Tidak ada yang bisa kuperbuat.
Hingga akhir ajalnya, manusia itu masih malu mengakui dosa-dosanya pada manusia lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!