Oleh: Irene Wibowo (@sihijau)
Aku diam. Mendengar melodi yang mengalun. Di sudut lantai dansa, pria dan wanita saling berpelukkan. Bergerak ke kiri dan kanan, seiring dengan alunan nada.
Aku diam. Pikiranku menari bersama dengan gerakan yang terpandang di mataku. Melihat pria dan wanita saling tersenyum. Bergerak membentuk sebuah kenangan terindah.
Aku diam. Roda tarian terus terputar di sekitarku. Di sudut menanti. Seorang pria menghapiriku. Mengulurkan tangan sambil tersenyum. "Maukah kau berdansa denganku?"
Aku diam. Gambaran yang terpandang berubah. Roda tarian berhenti. Tidak ada lagi pria dan wanita menari. Tidak ada lagi alunan nada yang terdengar. Tidak ada sosok pria yang menghampiriku.
Aku diam. Roda tarian berubah menjadi ketegangan. Tidak kuasa aku menangis. Tidak sanggup menghapus kenangan. Saat pertama, aku jumpa dia.
"Dia sosok yang menawan. Gurauan candanya, he's a good father and husband. Dia selalu berkata, menarilah. Hidup bagaikan roda tarian. Kadang tarian menghangatkan, kadang menegangkan bahkan menyedihkan, nikmatilah setiap tarian itu."
Telah Berpulang ke Rumah Bapa di Surga
Rod Antarian Waltz
2 Maret 1982- 15 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!