Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 26 Februari 2011

Aku, Penawarnya


by: Oka Kartika

Langkah kakiku berjalan terlalu perlahan, perjalanan dari pantry ke lantai dua terasa lama, terlalu lama. Setiap saatnya aku hanya bisa berpikir, tanpa menemukan jalan keluarnya, atau aku hanya membuang waktu saja, memikirkan sesuatu yang memang tidak akan pernah ada jalan keluarnya. Apa yang sedang kulakukan? Membawakan segelas air minum dan botol-botol berisi kapsul dan tablet dengan berbagai ukuran dan warna ke kamar itu adalah tugasku saat ini.

Pada saatnya aku tiba di depan pintunya, bahkan untuk mengetuk saja aku tak sanggup, butuh waktu untuk mengumpulkan nyali. Setelah sadar terlalu lama waktu terbuang, dengan segera kuketuk dan kuucapkan namaku, lalu masuk tanpa harus menunggu jawaban. Melihat ke kamar itu, melihatnya tidur di atas kasur, tak akan ada yang sanggup untuk tidak meneteskan air mata. Sudah berapa lama ia disana? Apakah hanya itu yang dapat ia lakukan selama ini, terbaring tak berdaya?

Kuletakkan secara perlahan, benda-benda yang tak kuharapkan harus ditegak olehnya setiap hari, setiap saat. Aku hanya diam terpaku melihat wajahnya yang semakin pucat dari hari ke hari.

“za… reza…”, namaku keluar dari bibir pucatnya, memanggilku dengan mata terpejam. Entah harus bahagia atau sedih, aku hanya bisa menjawab singkat. Kali ini, ia membuka kedua matanya perlahan melihatku dan tersenyum. Aku segera menggenggam tangannya, mengecup cukup lama, dan menatap matanya.

“Reza, kamu nggak bosan bawa barang itu ke kamar ini?”, itu adalah pertanyaan yang akan selalu ia lontarkan dengan kata ganti untuk sesuatu yang dianggapnya tidak boleh disebut.

“Sudah tugasku.” Ah, seandainya aku punya jawaban yang lebih baik, sekarang ia akan memalingkan wajahnya dan berhenti berbicara. Tapi, hari ini ia agak berbeda, ia tersenyum lalu tertawa kecil, agak dipaksakan, menurutku.

“Apa masih sempat memperpanjang umurku, kalau kuminum sekarang?” Aku terdiam.
“Apa barang-barang itu bisa mencegah takdir?” Hentikan.
“Apa salahku, sehingga aku tak berdaya di atas kasur? Dulu, aku bisa melompat-lompat sesuka hatiku, sekarang, untuk duduk saja aku tak sanggup…” Cukup.
“Kenapa… kenapa harus aku yang mengalami semuanya? Kenapa aku?!”, suaranya meninggi, tangisnya pecah, isakannya… semua yang ia lakukan barusan membuat hatiku sakit, tapi aku hanya bisa terdiam.

Secara perlahan ia berhenti menangis, lebih tepatnya terdiam dengan mata terpejam, sekarang aku mulai panik, memanggil-manggil namanya, menggerak-gerakkan tubuhnya.
“Tenang, reza, aku masih hidup.” Ia tersenyum, masih dengan mata terpejam.
“Reza, jika sudah waktunya, jangan pernah menyalahkan siapapun, termasuk dirimu, ini mungkin yang disebut takdir. Terimakasih, sudah merawatku selama ini dan menyayangiku lebih dari apapun di dunia ini. Maafkan aku, karena hanya kamu satu-satunya obat untuk penyakit ini.” Ia berhenti berbicara memejamkan matanya dan tersenyum.

Air mataku mengalir deras, bibirku yang bergetar mengecup keningnya. Hari ini ia berbicara terlalu banyak, bahkan ia mengucapkan kata yang tak boleh disebut, hari ini terakhir kali aku membawakan barang itu, barang yang tak pernah ia minum. Kalimat terakhirnya, akan selalu kuingat.

“Terimakasih, Nadia.”

1 komentar:

  1. kenapa ga diminum2? harusnya kl reza bener2 sayang dipaksa donk minum obat itu n nasehatin: yg penting kita udah berusaha, mungkin ada keajaiban. kl akhirnya ngga ada hasilnya pun ngga tralu pnasaran kan...

    BalasHapus

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!