Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 26 Februari 2011

Pernahkah Kau Rasa

Oleh @jesslynchandra



Pernahkah kau rasa, sesak di dada yang mencekik?
Kala peluhmu menetes oleh sakit tubuh, namun apa yang di dalam lebih menyayat.
            “Gab, Gabby?”
            Suara berat yang khas itu mengetuk gendang telingaku pelan. Benar-benar khas, hingga aku tak perlu membuka mataku hanya untuk tahu siapa dia. Sosok itu. Tentu, hati ini tahu.
            “Gabby, minum dulu obatnya.” Lelaki itu membantu tubuhku yang tak berdaya duduk di atas ranjang, bersandar pada bantal usangku. “Kalau ingin cepat sembuh, kau harus rajin minum obat, mengerti?”
            Aku tersenyum lemah, memandang kedua bola matanya dalam. “Untuk apa kau datang ke sini, Sean? Bukankah kau benar-benar sibuk untuk ujian skripsimu sebentar lagi?” Suaraku terdengar rapuh di telingaku sendiri.
            “Bagaimana aku bisa membuat tugas kuliahku begitu saja dan membiarkan sahabatku terbaring lemah di sini?” Sebaris kata yang keluar begitu saja dari bibir tipis Sean membuat sebuah rasa terpercik dalam dadaku. “Apa gunanya sahabat, Bodoh?”

Pernahkah kau rasa, rasa menyeruak dalam dada?
Memaksamu terbang melayang, meski sejurus kemudian kau akan terhempas.
            Telapak tangan lelaki itu menyentuh anak rambutku lembut, membuatku lantas tersentak. Jantung ini berdegub liar. Refleks, kutebas tangannya lembut, berharap ia segera mengerti.
            Sean menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. “Ada apa denganmu, Gab?”
            “Aku... Aku...” Aku terbata. Oh, Sean, yang benar saja, aku hanya tak ingin... “Tak apa, Sean. Jangan pikirkan aku.”
            “Hei.” Sean duduk di ranjangku, memaksa mataku mau tak mau untuk menatapnya. Perih, perih tersirat di dada. “Jangan katakan kalau kau baik-baik saja, Gabby.” Ia mendesah berat, menatapku lelah. “Kau pikir aku baru saja mengenalmu tadi malam?! Aku sudah mengenalmu selama dua puluh tahun, Gab! Dua puluh tahun—mudah bagiku untuk tahu kalau ada yang salah denganmu!”
            “Oh, percayalah, Sean...” Aku tak mampu mendengar suara bodohku sendiri yang bergetar. “Aku... Aku tak apa-apa. Sungguh. Kepalaku hanya terasa pusing. Dadaku sesak.” Ya, dadaku sesak. Sesak terisi penuh olehmu, Kawan.
            “Dadamu sesak lagi?” Tubuh Sean menegak, sorot matanya seakan menusukku tajam. “Ini, cepat minum obatmu. Setelah itu, tidurlah lagi, biar aku yang menemanimu di sini...”
            Obat? Kau bilang obat, Kawan? Oh, obat hebat apa itu gerangan yang dapat mengobati luka hati ini?
            “Gab?” Sean menggoncangkan bahuku, memecahkan lamunan ini. “Gabby, kenapa diam saja? Cepat, minum obatnya.” Lelaki itu menyodorkan pil yang rasanya telah kutenggak ribuan kali.
            Aku menatap dua pil yang terlihat begitu memuakkan itu dengan lesu. “Yang benar saja, Sean. Rasanya aku sudah bosan...”
            “Hei, jangan bilang begitu!” Sean menatapku tajam, nada kesungguhan tersirat dari ucapnya barusan. “Bukankah kau sendiri yang dulu berkata bahwa sembuh adalah yang impianmu yang utama? K-kau... Takkan membiarkan, eh... Kanker paru-paru itu... Menggerogotimu begitu saja, bukan?” Ia berucap lembut, hati-hati sekali.
            Setengah hati, kuraih pil itu. Entah untuk keberapa kalinya. Aku tak begitu ingin sembuh seperti sedia kala lagi, Sean. Hatiku membatin. Aku hanya ingin menghapus rasa yang mencekik ini.
            Glek. Pil itu kutenggak. Dan tidak, tidak sama sekali. Rasa ini tak hilang setitik pun.

Pernahkah kau rasa, jerit kalbu dalam dada?
Rasa yang seharusnya tak terpercik, rasa yang seharusnya terkubur.
            “Aku sudah merasa baik, Sean. Sungguh.” Aku menelan ludah, tak ingin ia memandang kedua mataku yang sarat dusta. “Kau pulang saja. Ini kan, hari Sabtu. Harimu dengan gadis itu!”
            “Gadis itu?” Wajah Sean merona cerah dalam sekejap, bahkan tanpa aku perlu menyebut nama gadis itu. Rona merah wajahnya, luka merah kalbuku. “Ehm, sudahlah, Gab,” lanjut Sean cepat, “kau kan, lebih butuh aku di sini. Louise pasti mengerti. Percayalah.”
            Louise. Aku terenyak, lantas tersenyum getir. “Ti-tidak, Bodoh. Ini malam minggu. Saatnya kau dan Louise—”
            Drrt.. Drrt.. Ucapku terhenti oleh suara getar ponsel milik Sean. Air muka lelaki itu mendadak berbinar begitu membaca nama penelepon. Ia memberiku isyarat dengan tangannya untuk keluar kamarku. Aku tercekat. Tidak salah lagi... Tentu aku tahu siapa penelpon itu.

Pernahkah kau rasa, hari membawamu antara ada dan tiada?
Kala rasanya mata ini ingin terus terpejam, agar rasa tak lagi membelenggu.
            Sudah lebih dari tiga puluh menit Sean berbicara di telepon, siapa lagi kalau bukan dengan gadis itu. Beberapa kali pula lelaki itu melongokkan kepalanya ke dalam kamarku, memastikan aku baik-baik saja. Berkali-kali itu pula, aku memasang senyum lebar. Senyum yang menghantam diri.
            Aku memperhatikan jarum jam yang berdetik, sedikit demi sedikit, seakan ingin membunuhku perlahan-lahan. Dada ini kembali terasa sesak. Sesak, oleh penyakit ini... Dan jauh lebih sakit rasanya, dengan luka hati itu. Luka yang kebal oleh obat apa pun di dunia.
            Sekali lagi kudengar Sean yang asyik berbincang-bincang dengan gadis di seberang telepon, nada suaranya yang begitu ceria. Kembali, hati ini terasa perih. Perlahan, kuraih bolpen dan secarik kertas lecek.
Kau pulanglah, Sean.
            Tiga kata yang terdengar remeh, namun butuh waktu lama bagiku untuk menuliskannya. Tanganku bergetar, nafasku tercekat. Kuletakkan kertas itu hati-hati di samping botol pil-pil memuakkanku.
            “Gabby!”
            Aku tersentak. Buru-buru kutenggelamkan kepalaku ke dalam selimut, memejamkan mataku erat-erat. Hanya satu yang kuharap, agar Sean tak mendengar detak jantung di luar kontrolku ini.
            “Kau sudah tidur rupanya?” Ia berkata lembut sekali, namun masih terdengar jelas di telingaku. Kutahan nafas mati-matian, berusaha sekuat tenaga agar air mata ini tak meleleh. Tiba-tiba aku terenyak. Dapat kurasakan telapak tangan yang familiar mengusap dahiku pelan, lembut sekali... Ya Tuhan, tolong tahan air mata ini.
            Aku mengintip dari celah selimut, memandang punggung lelaki itu yang perlahan-lahan menjauh. Hati ini menjerit. Meronta. Membisikkan sepucuk rasa pada hatimu, meski kutahu kau tak akan pernah mengerti, Sean...
            Aku buru-buru bangkit dari tidurku, mendapati tulisan tangan Sean kecil-kecil terukir di bawah tulisanku.
Selamat tidur, Gab. Besok sore aku kembali. Jangan lupa minum obatmu lagi besok pagi.
            Tenggorakanku tercekat. Nafasku naik-turun. Dan di dalam gelap yang mencekik ini, setetes air mata luruh...

Sean, pernahkah kau rasa?
Sahabatmu ini... Mendambamu.
Dan jika ada sebuah obat yang dapat menghapus rasa ini... Sungguh, akan kupertaruhkan hidupku untuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!