Oleh: Stella Nike || @stellanike
Satu, dua, tiga, empat—
“Hai, hai, hai!”
Suaraku menyambar riang, menyapa seluruh orang yang berada di dalam ruangan gelap dan tertutup ini, memberikan semangat pada mereka semua. Bibir melengkungkan sebuah senyum manis yang menghiasi wajah, tatapan mata lurus dan tegas—aku berharap mereka menangkap pesanku.
“Hai, hai, hai!”
Tiga kata yang kembali kuulangi untuk seluruh sosok ini. Aku tak mengenal mereka semua sehingga tak dapat menyebutkan nama satu persatu walau ingin. Mungkin nanti akan kutanyakan nama mereka sehingga kami bisa mengobrol dengan lebih leluasa.
“Hai, hai, hai!”
Lagi, kuserukan sapaan pada mereka yang masih terus terdiam. Tak ada gerakan sebagai balasan. Hanya aku yang terus saja berjalan berputar-putar, menghampiri setiap orang dan melambaikan tangan di depan wajah mereka seraya memanggil-manggil.
Nama-nama-nama. Harus kupanggil apa mereka?
“Hai, hai, hai!”
Orang asing? Tapi kami telah menghabiskan beberapa malam terakhir bersama-sama, rasanya tak sopan jika terus menyebut mereka orang asing. Teman? Tidak sedekat itu jug, kami bahkan tak saling mengenal nama. Kenalan? Oh, bahkan tak pantas pula kuucap kata itu. Toh memang kami ini asing satu sama lain.
“Hai, hai, hai!”
Aku menatap wajah mereka yang kosong tanpa ekspresi. Senyumku memudar setelah sekian lama berbaik hati untuk menyapa—yang hanya dibalas oleh keheningan semata. Mengerjapkan kelopak mata beberapa kali, tangan semakin erat mencengkeram gagang benda yang telah lama kugenggam, sementara tangan lainnya menyibakkan rambut panjangku yang lengket.
Kutundukkan kepala, mengamati pakaian yang kotor dengan noda-noda cairan berwarna gelap—yang telah mengering. Pasti akan sulit membersihkannya nanti. Kuraba satu lingkaran noda yang paling besar di rok selutut milikku. Kaku dan kasar.
“Hai, hai, hai!”
Lagi-lagi hanya desau angin yang lolos dari sela-sela bawah pintu yang membalas sapaanku. Orang-orang yang berdiam di ruangan ini bahkan tak repot-repot mengeluarkan suara sedikitpun. Mereka masih terus bungkam dan acuh. Membangkitkan amarah dalam dada, membuatku mengangkat benda yang kugenggam seraya menghampiri orang asing terdekat.
“Hai, hai, hai!”
Kusempatkan mengucap sapaan pada sosok asing itu sebelum menghujamkan mata pisau ke dadanya yang penuh dengan darah kering. Tiga orang asing lainnya masih terbujur kaku. Mereka akan mendapatkan bagiannya nanti—setelah aku puas bermain dengan orang asing yang ini.
“Hai, hai, hai!”
—FIN—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!