By : Motazella (senni@hervemagazine.com)
Dear Alia.
Malam ini aku tahu kamu pasti sedang tidur nyenyak. Kamu selalu tidur nyenyak sejak seminggu yang lalu, meninggalkan aku yang saat ini tengah memanfaatkan waktu insomniaku untuk menulis kepadamu. Berharap agar tiap kata yang tertulis semakin memberatkan mataku untuk segera menutup dan pergi ke alam mimpi.
Alia, tiba-tiba saja aku ingin bertemu denganmu, menyisir pelan rambut panjangmu. Seperti dulu. Ya, seperti dulu. Aku hapal sekali kebiasaanmu, kamu merasakan kepuasan tersendiri saat orang lain menyisir rambutmu. Kamu mengalami orgasme, kamu bilang. Dan kamu selalu memanggilku jika hasratmu ingin terpuaskan.
Aku pribadi senang sekali kamu dapat memberiku kesempatan untuk dapat menyisir rambut indahmu itu, Alia. Kamu tahu secara pasti, aku tidak ada kesempatan untuk menumbuhkan rambut, setidaknya untuk saat ini, Alia. Tapi aku senang, dulu kamu selalu peduli denganku, membelikanku wig beraneka macam untuk menghiasi kepala gundulku ini. Kamu bahkan bilang aku sebetulnya cantik sekali dalam keadaan gundul, meski aku tahu itu yang disebut Mama sebagai “menyenangkan hati orang lain”. Mama memang mendidik kita untuk dapat selalu menyenangkan hati orang lain, tidak membuat orang lain tersakiti hatinya. Dan itu ternyata berpengaruh kepada sifat kita, Alia. Kamu, dan juga aku.
Saat menuliskan ini, aku tengah memakai wig rambut panjang bergelombang berwarna ungu, lagi-lagi pemberianmu. Papa dan Mama memang membelikanku wig lainnya, namun aku hanya ingin memakai wig darimu, entahlah, mulanya sejak seminggu yang lalu. Aku merasa dengan memakai wig ini, kamu sedang tengah menyatu denganku, dalam satu waktu. Padahal aku tahu, kamu tengah berada jauh sekali dariku. Alia, aku rindu.
Alia, masa kanak-kanak kita selalu kita habiskan bersama. Memori itu tiba-tiba saja muncul saat aku tengah menulis di diary-ku ini. Dulu kita selalu memakai baju yang sama, sampai orang-orang tidak dapat membedakan kita satu sama lain, wajah kita identik, baju kita identik. Haha, jika aku mengingatnya, aku hanya bisa tersenyum, Alia. Kenangan memang diadakan oleh Tuhan untuk mengisi ruang otak kita yang kosong. Kadang itu membuatku tetap semangat untuk hidup, Alia.
Tapi ada satu hal kini yang membuatku tidak semangat hidup, hidupku kini seolah berlumurkan dosa kental yang menghiasi wajahku, hatiku, juga seluruh jiwaku. Saat itulah saat aku mulai mengenal Beno, tepatnya saat kamu mengenalkan Beno kepadaku. Disini, di rumah sakit ini.
Aku baru saja selesai kemoterapi dan tengah dilanda rasa mual yang begitu dahsyat, saat kamu dan Beno memasuki kamarku. Kamu segera mendekatiku untuk memasangkan wig kepadaku,--aku ingat, itu wig rambut pendek berwarna merah—dan mulai mengelus-elus punggungku untuk membantu meredakan mualku. Kamu selalu tahu, saat bertemu orang asing, aku tidak mau mereka melihatku dalam keadaan kepala gundul. Alia, kamu memang sangat mererti aku.
Saat kamu membuka tirai kamarku agar Beno dapat masuk, kamu menggandeng Beno dengan mesra dan dengan resmi mengenalkan Beno sebagai kekasihmu. Aku menatap kalian berdua, Beno tampak malu-malu dengan lesung pipitnya, dan ah wajahmu terlihat berseri-seri sekali, Alia. Kamu bilang Beno menyatakan cinta saat Valentine. Entahlah Alia, aku tidak pernah merasakan Valentine, karena aku tidak dapat mengecap aura pink di dalam rumah sakit ini. Aku hanya bisa tersenyum, aku bahagia untukmu, Alia, meski hatiku perih. Aku tahu bahwa hidupku sebetulnya tidak akan lama lagi.
Beno melirikku sekilas dan berkata bahwa aku tampak cantik dalam balutan wig merahku ini. Aku tidak tahu seperti apa wajahku saat itu, tapi yang aku tahu detak jantungku makin kencang, dan Alia, kamu berkata wajahku memerah. Seandainya saja kamar rumah sakitku ini dindingnya berlapiskan kaca semua, aku dapat melihat perubahan mimic mukaku. Sayangnya itu hanya menjadi bagian imajinasiku saja.
Tak lama setelahnya, Beno semakin sering datang mengunjungiku, Alia. Kadang bersamamu, dan seringkali sendirian. Saat aku menanyakan kamu ada dimana, Beno hanya berkata bahwa kamu sedang les piano. Ah, mendadak aku flash back ke masa saat kita bersama-sama les piano. Alia, kalau saja aku tidak terkena penyakit ini, kita tentunya saat ini tengah mengikuti les piano bersama. Kalau saja.
Mama pun lama-lama mempercayai Beno untuk menungguiku sebentar saat Mama hendak pulang ke rumah untuk mengambil baju, Alia. Tentunya Mama mungkin sudah menganggap Beno bagian dari keluarga kita, berposisi sebagai calon menantu.
Beno mulanya membacakan aku beberapa kalimat dari novel kesukaanku, novel kesukaan kita, Alia. Tentunya kamu tidak akan pernah lupa dengan novel To Kill A Mockingbird karangan Harper Lee kan? Aku rasa dalam tidur nyenyakmu kini, kamu pasti akan mengenang novel itu, Alia.
Beno terus membacakan novel itu sembari matanya berkali-kali beralih dari buku-wajahku-buku-wajahku. Lagi-lagi aku dihinggapi perasaan malu dan jantungku berdegup dengan tidak normal. Aku baru saja hendak memanggil perawat, untuk mengecek kondisiku yang tidak menentu, tapi Beno mencegahku. Ia menutup buku, dan beranjak mendekatiku. Dan ia, mengelus rambutku, maksudku wig hitamku yang saat itu aku pakai, dan tangannya perlahan-lahan memegang pipiku. Aku membeku, Alia. Seperti komponen air yang dipaksa mengeras menjadi es batu.
Lalu Mama pun datang kembali dan Beno pamit pulang. Mama bertanya kenapa wajahku merah seperti kepiting rebus, namun aku hanya bisa menggelengkan kepala.
Frekuensi Beno datang mulai tinggi dan alasan ia tidak mengajakmu lagi-lagi karena kamu les piano. Aku merasa curiga pada awalnya, namun aku hanya diam tidak berkutik jika ia lagi-lagi mendekatiku untuk menyentuhku. Alia, sentuhan Beno begitu menyandu, aku tahu pasti kamu menyukai jika ia kelak yang meneruskanku menyisir rambut indahmu.
Hari itu, pagi itu aku ingat sekali kamu datang menjengukku sebelum berangkat kuliah, Alia. Kamu memakaikanku wig hitam berambut panjang, sama seperti rambut indahmu itu. Jika orang melihat kami, tidak ada perbedaan sama sekali yang selintas dapat terlihat. Aku identik denganmu, Alia. Dan kamu, identik denganku.
Setelah berpamitan dengan Mama dan aku, kamu pun akhirnya pergi untuk berangkat kuliah. Tak lama kemudian, anehnya, Beno datang memasuki kamar. Mama sedang mengurusi administrasi di lantai dasar, sehingga kamarku hanya berisikan aku. Dan Beno.
Ia menatapku dengan tidak berkedip, berkali-kali mengucap kata “cantik” yang ditujukan kepadaku. Aku hanya merasakan gelagatnya yang semakin tidak wajar mulai membuatku tidak nyaman, namun terenyuh dalam satu waktu. Beno mendekatiku, kembali membelai rambutku, dan aku merasakan sensasi yang luar biasa. Orgasmemu, Alia, seolah menular via wig, merambati tubuhku. Aku menikmati tiap belaian tangan Beno di tubuh kurusku ini. Mulai dari rambut, leher, dan menuju tempat-tempat terlarang yang seharusnya tidak ia gapai. Kemudian ia berkelana menuju bibirku dan mencumbuku dengan penuh nafsu.
Saat itu, aku membalas cumbuannya dengan perasaan yang senang sekaligus bersalah. Aku tahu sekali, Alia. Beno ini milikmu, ciuman ini milikmu, bukan milikku. Tapi aku juga tidak berkuasa untuk memberhentikannya. Aku telah menjelma menjadi magnet kuat sebagai kutub selatan, sementara Beno kutub utaraku.
Namun tiba-tiba Beno berhenti saat terdengar suara benda jatuh di pintu kamar. Saat itu, berdiri kamu. Tasmu jatuh saat kamu melihatku bercumbu dengan Beno. Aku yang terbalut dengan selang infus dimana-mana tidak dapat bergerak saat Beno berlari mengejarmu, Alia. Aku hanya dapat menangis, menyesali diri, berlumurkan dosa-dosa disekelilingku.
Aku tidak tahu bagaimana kelanjutannya, yang aku tahu, pandanganku menggelap dan tiba-tiba aku dibawa ke ruang ICU.
Saat aku bangun, Mama tengah menangis, Papa tengah menangis, Beno tengah menangis, namun mataku tidak dapat menemukan sosok Alia. Apakah aku telah mati? Apakah kini arwahku yang sedang menonton adegan sedih ini? Tapi saat aku membuka mata dan Mama menghampiriku dan memelukku, aku baru menyadari bahwa aku belum mati. Kanker darah belum merenggut usiaku. Tapi kemanakah Alia?
Telah dua hari aku berada dalam keadaan koma, kata Papa. Alia kemana? Aku bertanya. Mama kembali menangis dan Beno menunduk begitu dalam. Aku merasa ada yang tidak beres, Alia.
Saat situasi telah tenang, Mama menarik napas perlahan-lahan untuk meredakan tangisnya dan mulai berbicara dengan terpatah-patah kepadaku. Mama menceritakan semuanya.
Aku terdiam saat telah mengetahui semuanya. Semuanya, saat kamu berlari keluar kamarku sambil menangis, saat Beno mengejar kamu, saat kemudian kamu hendak menyebrang jalan dengan tergesa-gesa…..dan saat sebuah mobil berkecepatan 110 km/jam menabrakmu.
Hanya bulir-bulir airmata yang kemudian menghiasi wajah pucatku. Hanya berlangsung selama semenit, dan aku pun tidak sadarkan diri.
Saat menuliskan ini, Alia, adalah hari ketujuh setelah kepergianmu. Aku sudah mengatakan di awal, aku terkena insomnia. Dan kamu pastinya sedang tidur nyenyak di alam sana. Aku belum sempat meminta maaf kepadamu, Alia. Aku belum sempat membuatmu bahagia, Alia. Aku….
Aku berharap ini semua hanya mimpi, Alia. Tapi aku tetap terbentur realita bahwa memang tidak ada lagi yang akan memasangkan wig di kepala gundulku, tidak akan ada lagi kamu yang dengan ceria menghiburku saat aku tengah melawan sakitku ini. Tidak ada lagi kamu, Alia.
Seandainya aku dapat mengembalikan waktu, Alia. Seandainya saja aku dapat mengembalikan waktu dan tidak mengenal Beno. Aku membenci Beno setengah mati, Alia.
Kalau saja bisa meminta apa saja kepada Raja Waktu, aku akan menitip Raja Waktu untuk menghadirkan kamu kembali. Di sisiku.
Aku minta maaf, Alia. Aku minta maaf. Alia, apa kamu bisa mendengarku?
Sincerely yours,
Saudara kembarmu,
Naila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!