Oleh: @meiizt
Malam-malam kelabu, aku mengetuk pintumu pelan-pelan. Satu ketuk. Dua ketuk. Ketukan ketiga aku putus asa dan kau membukanya.
Ada air mata di pipiku, mengalir tiada henti dari tadi. Mulanya gerimis, lalu deras menerjang. Ada hujan badai di raut wajahmu.
Tentang pakaianku yang koyak, tentang wajahmu yang runyam. Tentang perawanku yang tak lagi utuh, tentang bayangan masa depan yang keruh.
O, cintai aku, pendosa.
Aku pendosa. Dimana kau, kau pemurni dosa.
Dia kekasihku, yang dia cintai hanya tubuhku. Setelah rebah bunga-bunga di taman depan sana, hilanglah dia tanpa rupa.
Jejaknya adalah sesosok ruh dalam daging yang mulai bertumbuh, menyesap segala sari hidup, berdetak dalam buncit perut. Perutku.
Tapi aku cinta dia, bukan tubuhnya. Aku inginkan, hatinya.
Hatinya mati, kurengkuh lalu hilang.
O, cintai aku, pendosa.
Kau pernah sangka dia akan tinggalkan aku.
Lalu dia tinggalkan aku.
Mana yang lebih sakit, kelaminku atau hatiku?
O, kau yang kuharap-harap, bersihkan aku yang pendosa. Dulu juga kau pendosa. Denganku. Dengan dia.
Dulu kau pendosa dengan dia yang tinggalkan aku menanggung dosa. Salahkan aku mencarimu, aku tak temukan dia. Aku mau kau, aku mau kau, pendosa.
Ah, siapalah aku? Memanggilmu pendosa. Aku pendosa. Kau pendosa.
Selamatkan aku, pendosa.
Cintai aku, pendosa…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!