Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 26 Februari 2011

Malam Itu, Langit Menangis

Oleh @abobiltiga


“Aku dapat obatnya.”

Dia pulang, pemudanya pulang.

Gadis itu menolehkan kepalanya cepat-cepat ke arah pintu, menyambut seseorang yang sudah sekitar dua setengah jam ia tunggu dengan gelisah. Dia disana, pemuda itu, menatapnya balik dengan bahu turun-naik karena terengah-engah. Helaian rambutnya basah dan wajahnya nampak lelah, namun kabut yang tadi menghiasi matanya sudah sirna. Ada binar baru yang muncul disitu: sebuah harapan. Tatapnya diterjemahkan dalam secercah senyuman ketika dia masuk, melangkahi ambang pintu, menenteng sebuah bungkusan plastik hitam mungil yang tampak menggembung. Dihampirinya gadis yang sudah menunggunya. Kemudian punggung mungil itu didekapnya, kening itu dikecupnya. Tubuh sang pemuda gemetar tak terkendali, namun elusan lembut di punggung tangan itu menentramkannya sejenak.

“Aku dapat obatnya,” dia mengulangi dengan nada yang lebih lembut.

“Aku tahu,” gadis itu menjawab, mendekap pemudanya lebih erat. Dia mengendus aroma hujan menguar dengan kentara dari tubuh pemudanya. Dia memejamkan mata, mendengarkan denyut jantung si pemuda, merasakan naik-turun punggung dan bahunya dalam birama. Obatnya sudah ditemukan, dia bilang—sungguh, dia akan merindukan suara ini, aroma ini, kehangatan ini nantinya. Matanya basah. “Aku tahu.”

Malam itu, langit menangis.

***

Mereka merajut penyakit-penyakit itu dengan benang-benang dari masa lalu, sampai tibalah keduanya pada satu malam yang dirasa begitu panjang. Gadis itu masih ingat suara derai hujan yang menerpa jendela, temaram ruangan dan atmosfer hangat yang menyusupi relung dalam dadanya, sampai wangi hujan, tanah, dan pinus yang menyergap saraf penciumannya. Wangi Langit. Kejadian itu bergulir cepat dan seringan cahaya, dan begitulah waktu menggelinding dengan sederhana. Disanalah mereka diantarkan pada kenyataan bahwa penyakit mereka bertambah-tambah kadarnya, tak terelakkan.

“Sudah dua bulan,” lirih sang gadis memberi tahu Langit. Pemuda itu mendengarkan dengan mata terpejam, mendengarkan bagaimana suara lembut ini berhasil membuatnya jatuh cinta setiap hari. Suara Gadis. Namun dia menggeleng lembut di akhir pembicaraan mereka. Gadis menangis dalam pelukan Langit, keputusan sudah dijatuhkan. Penyakit itu sudah merongrong masuk ke bagian yang paling dalam. Harus segera diberantas, dibasmi, sebelum penyakit itu membunuh mereka pelan-pelan, menjadikan mereka tetap bernafas tetapi mati.

Untuk pertama kalinya, penyakit itu memaksa mereka untuk membunuh. Mereka melakukannya malam ini, dalam diam, saat bumi pasrah dibanjuri oleh air hujan.

“Kamu baik-baik saja, Dis?”

“Langit,” gadis itu memalingkan muka, bibirnya masih pucat dan matanya menyiratkan kelelahan. Sembab—dia terlalu banyak menangis. “Kita baru saja melakukan pembunuhan.”

“Aku tahu,” sang pemuda membalas dengan suaranya yang kering. “Tapi kita sudah sepakat.”

“Aku tidak tahan...”

Lalu hening saja. Hening yang lama. Hening yang membuat Langit pada akhirnya berdiri tiba-tiba, membuat Gadis menoleh kaget kepadanya.

“Aku tahu obatnya,” suaranya pecah, tercekat.

***


Sungguh? Kau tahu apa obat untuk mengobati penyakit itu? Cinta—kau tahu obat untuk penyakit bernama cinta?

Ya. Ya, aku tahu. Kita hanya butuh melupakan. Lupa—itu dia.

***

“Minum sebutir saja sudah cukup,” Langit menegaskan dengan nada muram. “Selanjutnya kita akan tertidur, ketika kita bangun, maka kita akan saling melupakan satu sama lain.”

Gadis tidak berkata apa-apa. Dia sibuk mengamati pil hitam kecil yang berada di telapak tangannya. Ini obat yang dijanjikan Langit padanya. Khasiatnya dahsyat: agar mereka bisa saling melupakan. Melupakan kesalahan yang mereka perbuat, melupakan dosa yang mereka tanam, melupakan penyakit yang pernah mereka derita. Dia merasakan matanya mulai terasa panas kembali, namun kali ini Gadis sudah berjanji bahwa dia tidak akan menangis. Dia tahu persis mereka hanya sedang mengambil ancang-ancang di depan sebuah gerbang untuk lari sejauh-jauhnya dari kenyataan. Namun dia tidak tahan, dia memang butuh lupa. Dia ingin melupakan ini semua... Sungguh, penyakit ini menyiksanya.

Namanya? Cinta.

“...ya.”

Apakah dia ingin sembuh?

Langit menggeser posisinya sehingga sekarang mereka duduk berhadapan, dengan masing-masing sebutir pil hitam kecil tergenggam di telapak tangan satu sama lain. Gadis menatap lekat-lekat pemudanya, mengerling mata Langit yang kini tampak berkabut lagi, mengamati rautnya yang tampak kelelahan seolah menanggung beban yang sangat berat... Tak lama kemudian dia mengangguk. Langit memejamkan mata dan mulai menghitung mundur, namun Gadis memilih untuk tidak menyaksikan. Pemudanya selesai menghitung, inilah dia saatnya. Yang harus dia lakukan adalah menelan pil hitam itu, lalu selesailah semuanya. Namun Gadis merasakan matanya mendadak basah. Air matanya tumpah ruah tanpa bisa dia kendalikan.

“Aku—aku tidak bisa...” Dia kini terisak keras-keras, genggamannya mengerat. “Aku tidak mau melupakanmu. Aku tidak mau...”

Namun Langit tidak menjawab. Gadis menyadari tubuh itu sudah tergeletak di hadapannya, mata Langit terpejam dan bahunya naik-turun; damai. Nampaknya Langit sudah tertidur. Namun Gadis bisa melihat ada genangan air mata yang turun perlahan dari sudut mata pemuda itu... meluncur ke pipi, kemudian jatuh ke lantai kamar kos yang berdebu.

“Langit?”

Malam itu, Langit juga menangis.

***

“Percobaan bunuh diri?”

“Iya, bertahun-tahun yang lalu. Dia hamil di luar nikah dan atas desakan pacarnya, akhirnya dia aborsi. Malamnya mereka berdua mencoba bunuh diri dengan cara minum racun...”

“Dia berhasil selamat?”

“Karena dia menolak minum racun itu pada akhirnya, namun pacarnya tewas. Sejak saat itu jiwanya terguncang—dia lupa siapa dirinya. Tidak ingat apapun, siapapun. Kerjanya hanya meracaukan satu kata saja setiap hari.”

“Oh, ya?”

“Ya. ‘Langit.’ Hanya ‘langit.’”

“Kasihan, padahal masih muda dan cantik begitu...”

“Ya, kata dokter pun jiwanya terguncang cukup parah. Dia juga tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Kami awalnya kerepotan merawatnya, namun sekarang sudah terbiasa. Dia menjadi semacam penghuni tetap disini, keluarganya pun sudah menyerah. Mereka yakin dia tidak akan pernah sembuh.”

“Wah... Tidak ada obatnya?”

“Mungkin.”

“...kasihan.”

***

Langit? Kau dengar aku?

Aku tidak mau sembuh.

Sampai kapanpun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!