Oleh Lidya Christina Y (
@lid_yang)
“Sebenarnya sudah sering aku berpikir untuk meninggalkan rumah ini.”
Inilah kalimat terakhir dari kertas surat di tangan ibu muda itu. Berulang-ulang kali dia membacanya dalam hati. Berulang-ulang kali kata-kata ini menusuk hatinya bagaikan pedang tajam.
Ruangan hening. Hanya terdengar suara jarum jam yang sedang berjalan. Tidak tahu sudah berapa lama ibu muda itu berdiri di samping meja tulis anaknya. Sebenarnya dia hanya ingin melihat-lihat kamar anaknya yang belakangan ini seperti semakin menjauh darinya. Sudah beberapa minggu anaknya tidak makan di rumah. Dia hanya ingin memeriksa apakah anaknya baik-baik saja. Seorang ibu tidak mungkin tidak tahu kalau anaknya menyimpan rahasia.
“Aku menginginkan seorang ayah. Mama tidak pernah menjawab dengan jujur mengapa aku tidak mempunyai seorang ayah.”
Air matanya berlinang. Anaknya ini lahir dari hubungannya dengan pacarnya semasa SMP dulu. Dia memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah setelah mendengar ajakan dari pacarnya itu. Akhirnya, pacarnya pergi meninggalkannya di saat dia paling memerlukannya. Waktu itu dia hamil tujuh bulan.
“Mama selalu marah kalau aku pulang terlambat. Kan aku hanya ke rumah Vita.”
Dia hanya khawatir. Khawatir kalau anaknya mengulang kesalahannya dulu. Dia tahu betapa susahnya menghadapi semua cobaan, menghadapi pandangan-pandangan orang lain, membesarkan anaknya. Tidak ada yang lebih mengerti dari dia.
Jam berdentang memecahkan keheningan di kamar. Jam sembilan.
Sambil memegang kertas tadi, ibu itu bergegas ke luar rumah. Dengan air mata yang bercucuran, dia mencari di semua tempat yang mungkin dikunjungi anaknya. Tidak pernah anaknya pulang di atas jam delapan tanpa meninggalkan pesan apa pun. Saat akan mengeluarkan handphone dari sakunya, dia teringat, handphone anaknya ditinggalkan di atas meja tulis. Anaknya lupa membawanya. Lupa, atau sengaja tidak? Pikirnya dalam hati.
Pikirannya semakin kacau. Dia lari kesana kemari seperti orang gila. Dia tidak melihat kemana dia berlari. Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. Lalu, dia tidak tahu apa-apa lagi. Kata-kata yang dia hembuskan sebelum menutup matanya adalah “Maafkan mama…”
Dia tidak tahu kalau dia silap. Dia lupa memeriksa lantai di dekat meja tulis anaknya. Ada secarik kertas lagi.
“Tapi aku tidak akan pergi. Aku tidak akan meninggalkan mama yang sudah membesarkanku dengan susah payah. Tidak apa-apa mama merahasiakan sesuatu dariku. Karena aku yakin, suatu hari mama akan memberitahukan kepadaku semuanya. Aku akan menunggu sampai datangnya hari itu. Mengapa aku menulis semua ini? Karena aku tidak bisa menyimpan rahasia dari mama.
Nah, minggu depan ultah mama, mama minta cuti dengan bos, ya. Sebenarnya belakangan Tia kerja paruh waktu. Biar bisa beli hadiah untuk mama. Jadi, hari ni Tia pulangnya mungkin agak telat. Kata manager toko buku tempat Tia kerja, malam ini harus lembur. Mama ga usah tunggu Tia, ya. Tidur aja dulu. I LOVE YOU, Mama!”
Kalau saja dia membacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!