Seseorang boleh mati, tapi tidak semua orang bisa mati dengan cara seenaknya. Orang tidak seharusnya mati dengan mulut berbusa-busa atau dengan guratan panjang di sepanjang lengan mereka.
Kulekatkan kepalaku ke kaca itu. Aku berpikir tentang apakah dia bisa melihatku di sini yang melihatnya. Suster bilang mungkin bisa. Dia belum sadar, masih di bawah obat-obatan yang aku bahkan tidak bisa eja namanya itu. Mungkin saat dia menutup matanya sekarang, mungkin di kepalanya, dia sedang berjalan di lorong yang di ujungnya ada cahaya. Seperti di film-film dan buku-buku itu. Mungkin dia sedang mengobrol dengan sosok bersayap. Berdebat tentang kemana dia harus pergi, membicarakan berbagai hal yang ingin dia tanyakan pada Tuhan. Tentang dunia.
Dan walau aku bahkan tidak tega untuk sekedar berjalan mendekat untuk memegangnya, aku bisa merasakan gerakan perutnya yang lambat-lambat naik turun. Aku bisa merasakan tanganku di sana, merasakan kulitku tersentuh pada kulitnya, saling mengirimkan hawa panas dan hawa dingin. Aku selalu suka melakukannya. Aku senang menyimpan tanganku di lehernya untuk merasakan aliran darahnya. Aku suka kehidupannya.
“Nggak masuk, Ya?” tanya Karina, dengan cardigan putih panjang, di sebelahku.
“Nggak pernah suka lihat dia nangis dari dulu. Setiap dia nangis, aku selalu nggak tega, dan aku selalu tinggalin dia di satu ruangan sampai dia berhenti nangis,” Aku mengepalkan tangan dan menempelkan wajahku ke kaca itu. “Aku harus gimana? Apa aku harus ajak dia ngobrol? Apa aku harus pegang tangannya? Tapi dia kan nggak sakit--”
Karina, satu-satunya temanku yang bisa datang jam 12 malam begini hanya untuk menemaniku, menyilangkan tangannya dan ikut menatap ke arah mataku menuju. “Kalian berantem sebelum ini?”
“Nggak pernah,” Aku merasakan sebagian tubuhku mati rasa. Benarkah? Benarkah kami benar-benar tidak memiliki masalah satu sama lain? Apa dia diam-diam marah padaku? Apa setiap malam, setiap dia akan tidur, dia memikirkan tentangku, dan berpikir, aku harus membalas wanita itu? Sampai dia tiba-tiba melakukan hal seperti ini untuk menarikku, memukul wajahku, menyadarkanku?
Aku menggeleng-geleng. “Dia baik lho, dia baik di rumah... Selalu telepon tiap aku di luar kota, tiap ada penerbangan ke mana... ‘Ma, nilai aku paling bagus’ katanya. Atau pas aku pulang ke rumah, dia ngomong gitu juga...”
Tapi makin kusebutkan berbagai hal yang kami alami, bibirku bahkan tidak bisa lagi mengucapkan semua kata-kata itu. Mungkin karena aku mulai merasa apa yang kukatakan itu bohong. Mungkin kami tidak bicara cukup banyak. Mungkin ada yang harusnya kukatakan, tapi tidak kukatakan. Mungkin ada yang ingin dia dengar. Mungkin aku mengatakan hal-hal yang salah.
Kurasakan remasan tangan Karina yang panjang-panjang di blus biruku. Aku mencengkram diriku sendiri.
Apa yang membuatku yakin bahwa dia baik-baik saja? Karena senyumnya? Karena setiap dia duduk di sofa, menyilangkan kakinya, memakan keripiknya, dan aku pulang, dia akan membalikkan kepalanya dan tersenyum? Walau bahkan dia tidak mengatakan apapun setelahnya? Apakah karena itu?
Atau itu senyum seperti yang kulakukan tiap hari di pesawat? Senyum lebar pada para penumpang yang berjalan dengan baju liburan atau jas-jas mereka? Hanya untuk membuat mereka merasa, ya, pramugarinya nampak waras, saya aman di pesawat ini?
Kulihat lagi garis bergelombang di sebelahnya, yang katanya menunjukkan detak jantungnya. Semakin lama, semakin sedikit garis bergelombang di sana. Lebih banyak garis lurus statis. Kututup mataku. Aku tidak bisa datang ke sana hanya untuk memegangnya dan menemukan bahwa dia tidak baik-baik saja.
Aku tidak ingat banyak hal yang kupikirkan saat itu. Aku ingat beberapa memori tentang beberapa hal yang sering kami lakukan. Sereal cokelat yang dia suka. Lagu-lagu yang sayup-sayup sering kudengar dari kamarnya. Senyum lebarnya. Harum tubuhnya, ketika dia bayi. Ketika dia pulang bermain, penuh lumpur dan keringat. Parfum pria ketika dia SMA. Aku tidak banyak bersamanya, tapi aku tahu dia. Aku tahu kulitnya. Aku tahu suara sepatunya. Aku tahu barang-barang yang dia inginkan, aku tahu--
Kurasakan remasan itu lagi di bahuku.
“Dia senyum, Ya.”
Sebagian diriku bilang aku harus tetap menutup mataku. Sebagian lain menyuruhku membukanya.
Itu. Tarikan otot-otot wajah itu. Ke kanan dan ke kiri. Simbol universal untuk menunjukkan kebahagiaan. Ketenangan. Tak banyak. Tapi aku bisa melihatnya.
Kututup mataku.
Apapun yang terjadi, hanya itu yang perlu aku tahu. Hanya itu yang perlu aku tahu.
Dan di dalam kepalaku, masih kulihat dia di balik sofa hitam kami, menyandar, dan mengangkat kepalanya, menyunggingkan senyum tanpa bicara apapun padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!