Oleh: Stephie Anindita (@StephieAnindita)
Violet
Hujan turun lagi ... aku segera beranjak ke jendela kamar dan menyibakkan gorden. Air menampar-nampar jendela kamarku, beberapa kali aku melihat kilatan cahaya yang disusul dengan suara petir. Deras sekali ... aku memeluk diriku sendiri, menahan dingin yang mulai merembes masuk ke dalam kamar yang tak ber-AC, sementara aku merasa air mata mulai menyengat kedua mataku. Dengan jengkel, aku mengusap mata sebelum air mataku sempat meluncur keluar.
Bodoh! Apa sih yang aku tangisi? Sudah 4 bulan berlalu tanpa kabar ... kenapa aku tidak bisa melupakan dia begitu saja? Kenapa setiap memori tentang dia masih teringat jelas di pikiranku seakan-akan semuanya baru terjadi kemarin? Raka ... kuhembuskan nama itu dengan suara lirih, sementara rasa dingin dari hujan mulai terasa mencengkeram hatiku.
Ingatkah kamu akan hujan 5 bulan yang lalu, ketika aku sedang menolongmu mengerjakan tugas sekolahmu? Ketika itu hujan juga turun dengan derasnya sehingga seisi ruang tamu rumahmu terasa seperti lemari es saking dinginnya. Aku diam-diam gemetaran, karena cardigans putih tipis yang kukenakan tidak cukup untuk menahan dingin. Aku sangka kamu tidak memperhatikan, tapi ternyata iya...
“Bu Violet, udaranya dingin sekali, AC-nya saya matikan ya?”
“Oh iya, silahkan, Mas Raka ...”
Raka tersenyum padaku, agak usil. “Kasihan Bu Violet sampe gemetaran begitu ...”
“Hahaha ... keliatan ya?” aku tertawa dengan suara agak bergetar.
“Iya ... tangannya sampai dingin begini!” Raka menempelkan punggung tangannya di jemariku. Dia enggak sadar kalau saat itu jantungku berdetak dua kali lebih keras dan aku tidak lagi merasakan dinginnya cuaca. Aku deg-degan setengah mati. Raka memegang tanganku!! Aku berharap agar hujan deras turun lebih lama lagi, jadi aku bisa punya alasan untuk tinggal di sana lebih lama ...
Aku memeluk tubuhku semakin erat, merasakan dinginnya hujan dan menghirup dalam-dalam wangi tanah basah yang begitu manis ... berusaha tetap tinggal dalam memori indahku bersama Raka yang entah berada dimana saat ini ... Tuhan ... jagalah Raka, jangan sampai dia menderita ditengah hujan deras ini ...
Tio
Hujan turun lagi ... mudah-mudahan air sungai meluap lagi seperti tahun lalu dan jalan di kompleks perumahan belakang sana banjir lagi! Hehehe ... tahun lalu aku berhasil mendapat dua juta lima ratus dari hasil menyewakan gerobak. Mudah-mudahan saja tahun ini bisa lebih banyak lagi. Aku mengangkat kaki ke atas kursi dan meraih kotak rokokku. Kunyalakan satu dan kuhirup asapnya dalam-dalam. Fuhh... aku mulai merasa santai, mencoba melupakan teriakan-teriakan istriku yang marah besar karena belakangan ini aku tidak bisa membawa pulang uang sama sekali. Padahal, Anit sedang sakit panas dan tidak turun-turun walau sudah diberi minum obat.
“Mas sebagai kepala keluarga harusnya berusaha dong! Jangan cuma diem aja kayak patung, ngerokok enggak berhenti-berhenti!!” teriak istriku.
“Sabar, Ma ... namanya aku lagi sepi kerjaan ...” ujarku.
“Sabar! Sabar! Haaahh! Alasan aja! Tau begini aku ikutan si Titin aja kerja ke luar negeri! Ketauan dapet duit banyak!”
“Hei, Ma! Yang bener aja kalau ngomong! Kamu gak dengar cerita orang-orang yang kerja ke luar negeri? Banyak yang mati di sana, atau dipukulin sama majikannya!” sergahku. Aku heran sekali, apa sih yang dipikirkan istriku? Aku sudah sering membaca berita tentang orang-orang yang bekerja ke luar negeri. Ada saja yang terjadi pada mereka di sana, dipukul, diperkosa ... aku enggak mau istriku sampai mengalami hal seperti itu!
“Tapi daripada-...” kata-kata istriku terputus karena ia mendengar suara tangisan Anit dari dalam kamar. Anak itu mulai muntah-muntah. Aku mencoba mengeriki punggungnya agar ia bisa merasa lebih enakan. Dalam hati aku berdoa agar hujan turun deras hari ini, agar aku bisa kembali menyewakan gerobak pada orang-orang kompleks dan mendapat uang banyak. Mungkin aku bisa menaikkan tarifnya lagi, kalau aku ngotot mungkin mereka setuju seratus lima puluh ribu untuk sekali jalan. Dengan begitu mudah-mudahan bisa dapat cukup uang untuk membawa Anit ke dokter.
Aduhhh, sialan! Kenapa hujannya malah mengecil? Baru sepuluh menit ... ayo dong ... menderas lagi! menderas lagi! Tuhan ... ayo turunkan hujan lebih deras lagi! Aku terus berdoa dalam hati. Huhh ... tenang Tio, dari jauh sana masih kelihatan ada awan hitam yang bergulung-gulung. Masih ada harapan ... sebentar lagi pasti hujan deras akan turun ...
Aku meraih kotak rokok, mengambil satu batang terakhir yang tersisa di sana – satu batang rokok keberuntungan, aku harap – lalu menyalakannya sambil terus menatap langit.
Nina
Hujan turun lagi ... duh Tuhan, kenapa hujan harus turun lagi? Deras banget pula ... aku kan perlu uang untuk membayar uang sekolah ... sudah 2 bulan ini aku nunggak uang sekolah dan tadi pagi guruku bilang kalau aku enggak bayar uang sekolah sampai minggu depan, aku enggak boleh ikut ujian. Temen-temenku juga ngetawain aku, mereka bilang tahun ini aku enggak bisa jadi juara kelas lagi. Aku sedih banget ...
Biasanya kalau musim kemarau, jualan mainan dan agar-agar Ibu laku keras karena banyak anak yang bermain di luar rumah. Kalau musim hujan begini, Ibu sepi pembeli. Kemarin ini malah nombok karena banyak mainan yang rusak kena hujan. Mau minjam uang ke Mpok lagi, kayaknya udah enggak mungkin, minggu lalu Mpok marah-marah sampai teriak-teriak di depan rumah karena Ibu enggak bisa membayar utang yang sebelumnya. Aku malu banget karena Lisa, temen sekelasku, tau kejadian itu dan dia cerita ke semua temen-temen aku yang lain.
Tuhan ... hentikan hujan dong ... aku mohon ...
Doaku terputus ketika tiba-tiba terdengar suara berderak dari atap rumah, disusul suara cipratan air. Aku berlari masuk ke kamar dan melihat tripleks penutup atap sudah terbelah dua dan jatuh ke lantai. Hujan deras masuk ke dalam kamar, membasahi kasur dan membuat aliran sungai kecil di lantai kamar. Buku-buku sekolahku! Aku mencoba menyelamatkan buku-buku sekolah yang tadi aku taruh di atas tempat tidur saat aku mengerjakan PR. Buku-buku itu adalah buku paket sekolah! Duh, semoga enggak rusak, semoga enggak rusak ...
Aku melihat tulisan-tulisan di halaman buku itu sudah bercampur menjadi satu. Halaman-halamannya lengket dan salah satu buku malah copot sampulnya ketika aku mengangkatnya. Aku menangis, membayangkan muka judes petugas tata usaha sekolah. Aku pasti bakalan dimarahi. Tubuhku terasa lemas. Aku duduk di atas genangan air dan menangis sejadi-jadinya. Ibu, cepat pulang dong ... Nina takut, Bu ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!