Oleh: Gisha Prathita (@geeshaa)
Kamukayakuya.tumblr.com
Langit, 2 Februari 2011
Perjalananku sudah sangat jauh. Aku sudah tua, aku sudah lelah. Baru beberapa hari yang lalu rasanya aku menapakkan kaki di bumi, diiringi sorak-sorai girang dari kiri dan kanan. Benar, aku bagaikan seorang anak dari garis keturunan darah biru yang kelahirannya sangat ditunggu-tunggu. Hanya saja ada perbedaannya aku tidak lahir di tanah kerajaan. Aku lahir ke tanah dekat Samudera Hindia, jauh ke kerajaan manapun.
Bisa dibilang, aku tumbuh di sekitar samudera tersebut. Aku akrab dengan tiap butiran air laut yang asin karena keringat ikan, aku juga sangat mengenal tiap lekukan dari dasar samudera tersebut. Kami bagaikan satu kesatuan—aku dan Samudera Hindia.
Sampai akhirnya tiba saatku untuk berhenti bermain-main di tanah kelahiranku. Aku memutuskan untuk menjelajahi tanah Jawa dengan caraku sendiri, berjalan, merayap atau berguling-guling—semua terserah padaku. Aku hanya harus mencapai gunung yang tertinggi. Pernah dengar kata Bung Karno, bahwa selama masih ada anak negeri yang bisa mendaki puncak gunung, maka Negara ini tidak akan pernah kehabisan generasi penerus? Yah, kurang lebih itulah pembuktian yang akan kulakukan tak lama lagi. Kurang lebih sama seperti itu hakikatnya, tapi maaf, saya bukan seorang yang nasionalis, jadi jangan tiru aku.
Sepanjang perjalanan menuju gunung, aku menyaksikan segala hal yang tidak pernah kulihat di sekitar ‘tanah kelahiran’-ku sebelumnya. Mulai dari area persawahan sampai tanah longsor di sekitar gunung yang akan kudaki. Tanah longsor, katanya akibat kelalaian manusia, ada juga yang bilang akibat erosi air hujan… tapi aku yang apatis ini cukup menyebutnya dengan bencana alam, selesai kasus kan?
Setelah beberapa hari perjalanan menuju puncak gunung, akhirnya aku sampai juga, di puncak tertingginya. Aku bisa melihat awan-awan yang melayang di sekitar tanah yang kutapaki. Ingin rasanya aku melompat dan bergabung bersama mereka. Sampai akhirnya matahari menyinari tempatku berdiri dengan terik. Terik sekali—seolah-olah aku bisa menguap. Rasanya tiap bagian dari diriku menjadi uap air dan terbang ke langit. Aku merasa seperti melayang, menguap karena panasnya matahari dan kencangnya angin yang menerpa.
Siapa sangka?
Ini bukan mimpi, tapi aku mendapati diriku melayang di udara! Aku terbang ke langit!
Bukan main aku girang saat itu. Tuhan mengabulkan mimpi konyolku semenjak aku turun ke bumi—aku ingin bisa terbang. Dan hal itu Ia kabulkan hari ini. Saking bahagianya, aku terbang ke sana kemari. Dengan kepercayaan diri yang berlebih, aku mencari gunung mana lagi yang lebih tinggi dari yang sudah kudaki. Tentunya dengan terus melayang. Aku tidak ingin melangkah di tanah yang kotor lagi—aku ingin selalu terbang!
Rasanya semua itu baru beberapa hari yang lalu kurasakan, tapi ternyata aku salah. Aku kini sudah merasa tua. Warnaku memudar. Tubuhku semakin tambun, beban yang kupikul pun semakin berat. Rasanya seperti mengangkat galonan air di udara. Sumpah, inilah akibatnya kalau tidak pernah berolah raga. Lelah, mudah menyerah.
Sampai akhirnya aku berdoa lagi pada Tuhan, bahwa aku sudah tidak kuat melayang di udara, karena aku sudah tidak muda lagi dan tidak sanggup memikul beban berat ini. Aku ingin dilahirkan kembali ke bumi. Kembali muda belia, kembali menjelajahi isi daratan bumi di belahan bumi yang lain. Kumohon, Tuhan, kabulkanlah doaku yang kali ini juga.
Kurasa global warming semakin menggila. Aku sampai tak tahan di atas langit yang biru ini. Aku ingin segera turun lagi ke bumi. Tuhan, aku ingat apa yang Engkau katakana bahwa aku baru boleh turun ke bumi lagi setelah menemukan gunung yang lebih tinggi dari gunung pertama yang kudaki—sampai aku tidak bisa mendakinya, meskipun dari atas langit ini. Huff… dan syukurlah, kali ini aku sudah menemukannya.
Aku berusaha untuk mendaki gunung itu—dengan terbang tentu saja, namun bebanku terlalu banyak. Aku benar-benar sudah tidak kuat lagi. Aku merasa sedih sekaligus malu dengan kesombonganku tempo hari. Aku nyaris menangis. Kuliaht langi sekelilingku menghitam, mereka marah, namun di lain sisi mereka pun berkabung iba meihat keadaanku.
Aku berusaha bertahan, namun… Tuhan, aku tidak kuat lagi. Badanku terasa remuk semua, aku khawatir semua bebanku akan jatuh berantakan di bawah sana.
Akhirnya aku menutup mataku, merasakan bahwa para penghuni langit telah benar-benar mengusirku, bahwa aku dudah terlalu tua untuk terus beterbangan sebagai seorang yang bebas. Mereka berbunyi keras membentakku.
Apapun yang terjadi, Tuhan, ini pasti kehendakmu.
Akhirnya kulepaskan semua genggamanku—semua bebanku lepas. Aku menjerit kesakitan, membuat langit ikut membelelak saat mendengarnya. Badanku terasa hancur. Aku terhempas jatuh menuju tanah bumi. Perlahan, semakin cepat, semakin cepat, bahkan terlalu cepat, sampai akhirnya aku benar-benar hancur berkeping-keping, menimpa seorang anak kecil di daratan bumi—dan semua menjadi gelap.
***
“Aduh!” Seorang anak kecil mengusap hidungnya yang mancung dengan cepat. Sebutir air telah mendarat di hidungnya. Basah. Ia menegadah ke langit, dan butiran air lainnya susul menyusul menjatuhinya, menimpanya tanpa ampun dan sopan santun.
Ia lalu berteiak pada teman-temannya yang sedang berlarian mengejar bola di lapangan hijau, “Teman-teman udahan yuuuk! Mau hujan gede niiih!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!