Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Jumat, 04 Februari 2011

Aku dan Temanku

Oleh: Rikardo Pardede (@rikardopardede)


Kulihat kanan dan kiri dan yang terlihat hanyalah penjual bunga di sepanjang jalan. Kuteruskan langkahku dengan pasti maju mengarah ke suatu tempat yang tak pasti. Tak kupedulikan lagi genangan-genangan air yang bertebaran di jalan seakan-akan mengancam untuk menenggelamkanku.  “Hujan saja tidak kupedulikan, apalagi genangan air,” kataku dalam hati.
Kuhentikan langkahku. Mataku terpusat pada seorang gadis muda berusia kira-kira 20 tahun. Dia mengenakan celana pendek di atas lutut dan baju tanpa lengan berwarna putih. “Wajahnya manis, rambutnya bagus, posturnya menarik. Hmmm...,”gumamku.
Aku semakin terhanyut dalam lamunanku tetapi kali ini bukan  untuk mengagumi paras gadis itu melainkan mengamati peristiwa di depanku. Gadis itu terburu-buru berlari ke bawah tenda pedagang kaki lima setelah turun dari angkutan umum. Dijinjit-jinjitkannya kakinya untuk menghindari air-air yang tergenang. Setelah sampai di bawah tenda, dia membuka tasnya dan mengeluarkan payung lipatnya yang bercorak bunga mawar kuning.  Dengan gaya yang pasti dia melangkah menyeberang jalan raya dan dia menginjak salah satu genangan air. Dia mengumpat pelan, berlari ke sisi sebelah dan berusaha membersihkan sepatunya yang basah dan kakinya yang sedikit kotor terkena cipratan. Saat dia sedikit merunduk, seseorang menyenggol payungnya sehingga terlepas dari tangannya. Dia pun terkena guyuran gerimis yang cukup lebat. Dia mengambil payungnya dan berlari tanpa mempedulikan genangan air yang ada di jalanan. Mukanya kesal dan dia  cemberut sehingga seakan-akan umurnya sudah 50 tahun.
Kupandangi gadis itu hingga tak terlihat mataku. Tiba-tiba sebuah sapaan yang akrab terdengar di telingaku dan membuyarkan lamunanku.
“Apa yang sedang engkau lihat? Serius sekali sepertinya.”
“Lihat apa yang telah engkau perbuat kepada gadis itu. Kasihan sekali dia.”
“Masak? Emangnya apa yang terjadi padanya?”
“Dia basah dan kedinginan pastinya. “
“Apakah engkau basah dan kedinginan? Aku tak melihatmu mengenakan payung atau baju tebal.”
“Tidak.”
“Lalu, apakah aku perlu mengasihani dirimu? Sepertinya tidak.”
“Ya, itu tidak perlu.”
“Lalu kenapa harus ada pengecualian buat gadis itu?”
“Sudahlah, tidak usah dibahas lagi. Sebegitu sayangnya kah engkau padaku hingga tak mau meninggalkanku sebentar saja?”
“Hmm, mungkin. Apakah engkau mau aku pergi sekarang?”
“Mungkin tidak.  Gilakah aku menurutmu?”
“Nope! Menurutmu apakah seseorang yang berjalan sendirian dan mengajak hujan ngobrol dengannya adalah orang gila? Aku tak setuju dengan pendapat itu. Bahkan aku melihat senyuman di wajahmu.”
“Haha. Terima kasih telah menemaniku. Aku sudah sampai di tujuanku dan aku yakin engkau tak mampu ikut kalaupun engkau mau. Jadi sampai jumpa dan tolong doakan aku agar tidak sakit karena telah berlama-lama denganmu.”
Aku berbelok ke kanan dan masuk ke dalam suatu rumah. “Aku telah sampai,” pikirku. Satu hal yang ada dalam pemikiranku saat itu adalah bahwa aku rindu ranjang dan selimutku. Aku sangat kedinginan. Walaupun demikian, aku sadar ini adalah akibat dari keputusanku sendiri. Akhirnya aku hanya bisa tersenyum sendiri dan masuk ke dalam selimutku untuk bertemu dengan temanku yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!