Di tanah saya, hujan adalah tetesan gulali yang gemulai mendulang rasa manis dari tiap pemujanya. Langit menjadi mata-mata bagi tiap harap yang tersebar berbinar-binar dalam mata manusia-manusia lelah, keluh kesah tentang hidup yang serba pahit, kecut, asam. Mereka berkumpul sesama mendung meraba-raba kesedihan gundah-gundah yang dikirim pikiran dalam otak yang sedikit sekali digunakannya. lalu menghimpun air mata-air mata juga mata air-mata air yang tiada habisnya untuk mengalir, lewat pipi, lewat bawah tanah, bermuaranya sama.
“Hari ini sial sekali,” kau mengibaskan rambutmu yang basah kena hujan. “Hujan badai sedari pagi, dan payung ini tak cukup kuat melawan angin. Bagaimana kalau nona sampai sakit?”
“I’m okay,” senyumku, aku menggelayut di lengannya yang kuat. Titik-titik air menerpa mukaku, tapi aku tak peduli. Kau bersamaku disini.
“Harusnya mobil bisa masuk ke dalam area sekolah, jadi nona tak akan kena basah.”
“Ini bukan hotel, Bim. Aku nggak alergi hujan kok. Lagipula aku suka payung ini, paying kesayangan mama”
“Tapi nona sedikit basah, untungnya pake jaket.”
“Kamu lebay, Bim,” aku terkikik. Wajahmu memerah, dan aku sangat suka itu.
Kamu mengantarku sampai ke gerbang sekolah, lalu berbalik. Ah, aku berharap jarak parkir mobil dan gerbang sekolahku lebih jauh, agar aku bisa lebih lama menggenggam lenganmu.
***
Di tanah saya, hujan adalah sekedar tanda pengingat bahwa kita pernah ada, mungkin dulu bersama-sama minum kopi hangat atau menelan nasi basi dalam rumah kardus pinggir kali. kalau nasib berubah setelah itu menjadi gulali atau mungkin menuntun mati. Mengguyur duka menjadi suka atau bisa saja menyiram luka yang masih bernanah lalu jadi berdarah dan akhirnya terbaring di rumah duka.
Aku tak pernah merasa berbeda denganmu. Orang luar mungkin melihat kita adalah sebatas anak majikan dan anak pembantu. Tapi, aku menganggap kita adalah seorang pecinta dan orang yagn dicintainya. Pecinta itu aku, dan aku mencintaimu. Umur kita berbeda 6 tahun, tapi sedari kecil kau selalu mengurusku. Menyiapkan segala keperluanku. Menjadi teman bermainku. Mengantarku ke sekolah. Menjadi supir pribadiku. Menjadi sahabatku.
Dan sedari awal juga aku tahu, aku akan selalu jatuh cinta sendirian kepadamu. Bertepuk sebelah tangan tanpa tahu ada harapan. Orangtuaku tak mungkin mau mempunyai menantu sepertimu. Ah, aku sudah dijodohkan dengan pangeran dari negeri seberang. Padahal aku hanya mencintaimu. Mencintaimu, Bima…
“Kau percaya reinkarnasi?” tanyaku suatu hari.
Kau menatapku dengan satu alis terangkat. “Nggak sama sekali.”
“Aku juga nggak percaya sih,” ujarku gugup. “Tapi.. mungkin nggak sih, kalau di suatu masa yang duluuuu sekali, kita pernah bersama-sama juga. Tapi nggak dalam kondisi seperti ini.” Aku mulai meracau, gugup dan bicaraku jadi cepat.
“Apa? Maaf nona, saya nggak terlalu mengerti.”
Aku tahu kau pura-pura tak mengerti. Aku tak mengulangi perkataanku.
***
Di tanah saya, hujan adalah yang mengantar beribu pesan atau mungkin jutaan tak terhitung. Masuk akalnya dari rakyat kepada penguasa karena yang di sana sekali bicara saja bisa didengar di ribuan layar dan penyadap negeri sebelah-sebelah. Itu juga kalau uang belum menjadikan beliau buta atau tuli atau bahkan lumpuh tak berdaya di kendali dari jauh oleh perputaran uang yang suatu hari bisa menggantikan air sebagai hujan.
“Aku nggak mau menikah sama dia!” aku berteriak keras, menggebrak meja makan dengan kedua tanganku.
Papa melotot, wajahnya merah karena marah.
“Elfa! Kamu nggak boleh nolak lamaran Andreas!”
“Aku nggak pernah setuju dengan perjodohan ini! Aku nggak cinta sama dia! Aku nggak mau!”
“Cinta, cinta! Cinta itu nggak berguna! Pokoknya bulan depan kamu nikah sama dia!”
“Papa cuma mau kekayaan Andreas aja kan, Pa?! Apa Papa belum cukup puas dengan semua harta ini, hah?!”
“Jaga mulut kamu, Elfa!” Papa bangkit dari kursinya. Aku telah benar-benar membuatnya marah.
“Aku nggak mau nikah sama Andreas! Aku cuma mau nikah sama Bima!” tanpa bisa kutahan, aku sudah meluapkan perasaanku yang kupendam selama ini. Papa tampak sangat terkejut.
“Elfa?! Apa yang kamu pikirkan? Bima itu nggak selevel dengan kita!”
“Level? Kita sama-sama manusia, Pa! Manusia itu sederajat!” teriakku tak kalah keras. Tak sanggup lagi menahan tangis, aku berlari menuju kamarku, lalu membanting pintunya. Aku menangis sambil memeluk foto almarhumah mama. Saat itu umurku 23 tahun dan aku baru lulus kuliah. Bima masih bekerja di rumahku, meski sudah tak mengurusi segala keperluan hidupku karena ia menjadi supir tetap papa. Dan aku masih mencintai Bima. Akan selalu mencintai Bima.
***
Di tanah saya, hujan adalah hiburan bagi lara-lara terpendam. Kecewa yang tiada akhir karena mereka menggolongkan cinta dalam nafsu atau mencampuradukkan keduanya lalu meleburnya dalam tangan-tangan romantis entah kepentingan apa. Marah tiada sembuh karena politik-politik dalam pikiran busuk menjilat-jilat kuasa berebut tahta untuk keluarga. Egoisme selalu ada, diri sendiri yang terpenting adanya tapi bagi mereka yang berdoa dunia hanyalah bukan apa-apa, hanya sekedar jalan pengumpul bekal belaka.
“Elfa, Elfa! Sadar nak!” Papa menggoyang-goyangkan bahuku. Tapi aku sudah tak punya kuasa untuk menggerakkan tubuhku atau menjawab panggilannya.
Di luar hujan badai, sederas saat dulu Bima mengantarku ke sekolah dengan payung kesayangan mama. Ah, Bima… Papa telah mengusirmu dari rumah ini, tapi tak pernah bisa mengusirmu dari hatiku.
Kalau tidak bisa hidup denganmu, maka aku tak mau hidup lagi. Pagi ini aku mengiris pergelangan tanganku di dalam kamar. Tiga jam kemudian papa membuka kamarku dengan kunci duplikat miliknya dan menemukan darahku yang sudah menggenang di lantai kamar. Tubuhku tergeletak tanpa detak di dekat foto almarhumah mama dan juga foto Bima yang kuambil diam-diam.
Sudah terlambat, Papa… aku tak mau lagi hidup di dalam rumah tanpa Bima…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!