Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Selasa, 08 Februari 2011

Last Word

Oleh Reina Relistha Putri
Blog:  http://elfnite.blogspot.com/
FB: http://facebook.com/elfnite




“Aurell, ketika mencintai itu adalah bagian terindah dalam hidup kita. Melepaskannya adalah satu kesalahan yang fatal.
Kau tak akan merasakan kosong sebelum kau benar-benar kehilangan.”


Aurellia meletakan setangkai lily putih pada pemakan yang masih baru. Wangi bunga mawar yang di tebar dalam jumlah banyak di atas tanah merah menusuk hidungnya. Isak tangis melingkupinya. Tapi tak sedikitpun kesedihan tertusuk dan tertanam padanya. Aurell kaku, seakan dipahat dalam es beku. Dan kemudian dia pun berbalik, dalam balutan gaun hitam selututnya, dia meninggalkan pemakaman.

Aurellia Feriska Oktaviani, meyakini dalam hatinya, dia tak akan pernah merasa hidup lagi.

***

“Rel, gw minta maaf. Tadi ada panggilan mendadak di kampus.”

“Ar, gw ga masalah lu ada panggilan kek, temen lu butuh curhat kek, ada yang sakit kek atau apapalah alasan lu itu! Tapi ngasih kabar sebentar aja kayaknya ga susah deh.”

“Iya gw tau, harusnya gw ngasih kabar. Tapi tadi gw—“

“’Gw lupa Rell.’ Basi tau ga sih Ar!”

“Rell, gw ga—“

Tanpa mau mendengar Ardian menyelesaikan kata-katanya, Aurelliapun memutuskan sambungan telfonnya. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Ardian pasti akan berusaha menelfonnya lagi. Jadi, Aurell mematikan ponselnya, mencabut batrainya dan melemparkan ponsel itu ke atas tempat tidurnya. Lalu dengan menumpahkan kekesalannya, dia melemparkan dirinya ke atas tempat tidur, menutup wajahnya dengan bantal dan berteriak sekencang-kencangnya, menumpahkan kekesalannya.
Bukan untuk yang pertama kalinya Ardian melupakan janjinya bersama Aurell demi teman-temannya. Selama ini Aurell merasa sangat kesal dan marah karena beranggapan di nomor duakan. Tapi dia berusaha menahannya, dan berfikir untuk bersikap dewasa dengan tidak bersungut-sungut dan marah. Tapi kali ini, dia tidak bisa memakluminya lagi. Ini hari ulang tahunnya, dan rencana hari ini sudah nyaris sebulan di pikirkannya. Dipersiapkan secara matang. Bahkan dia sudah berkali-kali meyakinkan Ardian untuk mengosongkan waktunya hari ini. Tapi ternyata, tetap saja dia harus bertemu dengan masalah yang berulang-ulang kali dihadapinya. Untuk kali ini, Aurell benar-benar tak bisa memaafkannya.

“Rell, bangun. Telfon dari Aulia.”

Menggeliat pelan, Aurell memaksa dirinya membuka matanya. Menatap Bundanya yang memegang telfon nirkabel di tangannya dengan wajah muram. Sesaat dia terdiam, berusaha mencerna, tak berfikir apa-apa mengapa Bunda tampak begitu muram, dan mengulurkan tangannya mengambil telfon itu dari Bundanya. “Bunda kenapa?”
Bunda tersenyum lembut, dan menepuk kepala Aurell ringan. “Tidak apa-apa, kalau butuh Bunda, Bunda ada di bawah.” Dan Bundapun keluar dari kamarnya.
Terdiam beberapa saat, sebelum meletakan gagang telfon di telinganya, Aurell baru sadar, entah bagaimana rasa cemas tiba-tiba saja memenuhi pikirannya. Bunda tak akan bersikap seperti itu jika tak ada apapun yang terjadi. “Ya, Li?”

“Ardian kecelakaan, sekarang di rumah sakit. Gw dari tadi ngehubungi ponsel lu, ponsel lu mati ya?”

***
“Tekan angka satu untuk mendengarkan pesan suara anda.”

Berdiri di gerbang pemakaman sendirian, Aurell menyalakan ponselnya, menekan serangkaian nomor dan mendekatkannya ke telinganya. Hujan rintik-rintik membasahi tubuhnya, sementara gadis itu menyenderkan punggungnya pada pagar pemakan, mendengarkan kata-kata yang terucap dari ponselnya. Dalam suara yang di kenalnya. Suara terakhir dari orang yang benar-benar dirindukannya. Diinginkannya.

“Maafkan aku, tapi aku ingin kau tahu, aku mencintaimu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!