Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Kamis, 10 Februari 2011

(mu)SI(k)AL

Oleh: M. B. Winata (@bangkitholmes)


Lelaki itu, Bangkit namanya, Mahasiswa pasif Universitas di Solo, sudah lama terobsesi dengan sastra. Itu secara umum. Cakupan sempitnya adalah Andrea Hirata. Seperti hubungan konsumtif Homer Simpson dan donat, layaknya Alice dan Wonderland-nya, atau kegilaan Jimbron kepada kuda (Sang Pemimpi). Membaca karya-karya idolanya itu bagai candu baginya. Emosinya meletup-letup ketika membaca sayembara Festival Laskar Pelangi. Cukup merekam video dirinya dengan memampangkan novel-novel cercahan tetralogi buatan Andrea Hirata maka ia bisa melayang ke Belitung dengan diongkosi alias cuma-Cuma untuk meramaikan Festival Laskar Pelangi.

Tapi apa mau dikata. Dirinya terlampau introvert untuk mengiklankan videonya itu ke teman sejawatnya. Ia terpaut seratus “like” tertinggal di facebook dari lawannya. Maka Belitung –The Wonderland- yang semula seperti sudah di hadapannya terasa menjauh, jauh dalam arti kias dan sebenarnya. Seratus jempol itu sukses mendorongnya jauh dari sana. Kalau dibilang kecewa ya pastilah begitu. Tak perlu kiranya kekalutan yang menyelimutinya setelah itu kujelaskan panjang lebar. Ia menyumpahserapahi kakaknya, kakaknya yang tidak ada sangkut paut itu jadi sasaran kekesalannya.

Beberapa purnama kemudian telinganya kembali kembang-kempis. “Musikal Laskar Pelangi” sebuah pertunjukan musikal yang akan menampung Belitung dalam satu sketsa panggung akan digelar di Jakarta. Kali ini maaf saja, ia tidak akan begitu saja melewatkannya. Ia mau menonton pertunjukan itu dengan prosedur yang sebenar-benarnya: beli karcis online lalu naik kereta paling pagi esoknya ke Jakarta.

Namun langitpun sepertinya tidak mau membiarkan dengan mudah perjuangan mimpinya kali ini. Tiket minggu terakhir pertunjukan telah habis dipesan. Tinggal hari terakhir yang masih menyisakan bangku kelas tiga. Itupun mengharuskan ia mentransfer ongkos tiket hari itu juga karena arus permintaan yang padat. Bangkitpun sedang bermasalah dengan rekeningnya, maka ia mesti mengendarai sepeda motornya langsung ke bank untuk mengirimkilatkan uangnya.

Seperti yang tersebut barusan, langit yang tidak setuju menunjukkan rintang nyatanya. Tiba-tiba Solo diguyur hujan deras, tak cukup dengan hujan saja, anginpun ikut mengombang-ambingkan papan iklan besar-besar di pinggir jalan.

Tapi bukan Bangkit Sang Pemimpi namanya kalau ia menyerah dengan kedaan ini. Setelah pinjam sana-sini didapatkannya juga “baju anti hujan” dari teman kosnya. Mantel abu-abu tebalnya dipasang erat-erat. Melajulah ia memecah derasnya tusukan-tusukan air dari langit. Peran hujan sebagai penghalang nampaknya cukup sampai di sini. Bangkit masih bisa melewatinya. Kini giliran angin yang beraksi.

“Kraaak”

Bangkit menginjak kaki dan menarik handle depan, ia mengerem tiba-tiba. Bunyi ban mendecit-decit ikut mewarnai kepanikan itu. Ia kaget setengah mati, mengelus dada berulang-ulang. Pohon Mahoni besar di pinggir jalan Ir Sutami roboh tiba-tiba. Benar, terjangan angin dahsyatlah penyebabnya.

Alhasil mimpi itu akhirnya roboh bersama tumbangnya pohon. Satu-satunya jalan penghubung itu tidak bisa dilaluinya. Butuh waktu hingga sore nanti sampai jalan ini bisa dibersihkan. Itu artinya pintu bank sekaligus pintu obsesinya sudah tutup.

Ia pulang sambil mengumpat-umpat.

Esoknya tanpa diduga-duga nomor asing menghubunginya. Malas tapi mau tak mau ia mengangkatnya.

“Halo dengan saudara Bangkit ya?” suara di seberang bersemangat.

“Ya kenapa?”

“Selamat!”

Bangkit tak mengerti apa yang mesti diselamati dari hidupnya akhir-akhir ini yang pahit.

“Selamat kenapa?” Bangkit belum mendapatkan maksud si pemberi selamat.

“Selamat saudara Bangkit memenangkan tiket nonton Musikal Laskar Pelangi! Anda dapat dua tiket, silahkan ajak teman anda untuk nonton!”

***

“Maka merugilah ia yang sedikit tersentuh kesialan. “

“Sebenarnya ketidakberuntungan dari setiap alunan siklus kehidupan yang kita tapak itu tergantung dari lewat cabang mana pikiran kita menilainya. Tergantung pula seluas apa ladang ketabahan hati yang kita bajak dan suburi. Semakin sempit ladang itu maka semakin kecil pula irigasi pengairan yang menyuburkan sebagai urat percabangan si pikiran yang memacu kita untuk selalu positive thinking. Penyempitan ini akan membuat kita selalu mengutuki diri sendiri, mengutuki keadaan, bahkan mengutuki Tuhan. Baiknya perluaslah kesabaran itu aliran energy kepositifan dalam berprasangka. “ begitu bunyi artikel harian yang ia baca di kereta api. Ia diam-diam masih menyimpan rasa penasaran kenapa ia bisa beruntung memenangkan tiket itu. Ia tidak ingat ikut lomba-lomba lagi setelah kekalahan pahitnya dua bulan yang lalu.

Duduk di sebelahnya, seorang pria yang tersenyum di atas kebingungan adiknya. Senyum sang penyimpan rahasia. Secara diam-diam ia ternyata mengirimkan video buatan adiknya itu ke majalah online yang sedang menggelar sayembara. Pria itu tidak membalas sumpah serapah adiknya dengan sebuah kepositifan berprasangka yang selalu melapangkan hatinya.

Keretapun melaju kencang mengantar mimpi-mimpi mereka.

(Solo, 9 januari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!