Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Rabu, 02 Februari 2011

Sekelumit Pelajaran Dari Bioskop

Oleh: Nathania Ganda



Biskop. Movie theatre. Apa yang ada di dalam benakmu saat mendengar salah satu dari dua kata tersebut? Secara spontan, secara naluriah, mungkin kau akan memikirkan sebuah tempat megah yang nyaman, dipenuhi ratusan tempat duduk yang menghadap ke layar raksasa. Atau mungkin kau akan memikirkan kelezatan popcorn yang biasanya menjadi cemilan yang menemani saat-saat menonton film. Biskop memiliki arti tersendiri bagi setiap orang, termasuk juga bagiku. Bagiku, biskop adalah sebuah pelajaran.

Ya, sebuah pelajaran. Lebih tepatnya, sebuah tempat dimana aku mendapat sebuah pelajaran yang mungkin takkan kulupakan untuk waktu yang lama, jika aku diizinkan menikmati anugerah itu dari Yang Di Atas.

Bioskop telah mengajariku tentang keteledoran, yang mungkin akan selalu menjadi bagian dari sifatku.

Aku masih mengingat dengan jelas kejadian pada hari itu, seakan kejadiannya baru saja terjadi kemarin. Saat itu, hari Jumat tanggal 26 November 2010, aku dan teman-teman sekolahku sepakat untuk menghabiskan sore kami dengan menonton film. Saat itu, aku masih ingat dengan jelas bahwa kami berjumlah sepuluh orang, yang terpecah ke dalam dua kelompok. Satu kelompok ingin menonton film Harry Potter and the Deathly Hallows I, sedangkan yang satunya, termasuk aku, memilih untuk menonton Unstoppable. Keinginan kami terlaksana. Kami menonton di bioskop Platinum XXI yang berada di fX Sudirman.

Saat itu, aku masih ingat dengan jelas betapa pada awalnya aku tidak tertarik menonton Unstoppable. Hanya karena aku sudah menonton film Harry Potter sajalah aku memilih menonton Unstoppable. Ditambah dengan rekomendasi dari teman-temanku, tentunya. Namun, kurasa rasa kurang tertarik itu berakibat lebih fatal dari yang semula kubayangkan. Rasa kurang tertarik itulah yang menyebabkan perhatianku terpecah menjadi dua, antara film dan Blackberry Onyx milikku. Ya, aku berbalasan BBM dengan temanku di saat aku sedang menonton film, tentu saja setelah mengatur Blackberry-ku dengan mode vibrate only sebelumnya.

Meskipun pada awalnya aku tidak merasa tertarik pada film Unstoppable, kian lama aku kian menaruh perhatian pada film, dan menghentikan aktifitasku dengan Blackberry milikku. Di sinilah letak kesalahan fatal yang kuperbuat. Aku tidak memasukkan Blackberry itu ke dalam tas tangan yang sedang kupegang.

Singkat cerita, film selesai. Aku dan teman-temanku pun beranjak keluar dari studio bioskop itu. Saat kami selesai, rupanya kelompok yang menonton film Harry Potter belum selesai menonton, sehingga kami dapat melakukan hal-hal lain terlebih dahulu. Kami memutuskan untuk pergi ke toilet, seperti yang sewajarnya dilakukan setelah ke luar dari studio bioskop. Betul, kami memang kedinginan.

Saat aku keluar dari toilet, semua temanku sedang menungguku. Kami pun berjalan keluar dari bioskop sambil mengobrol, apa yang sebaiknya kami lakukan untuk menunggu sisa teman-teman kami yang masih menonton. Saat itu, salah satu temanku meminta tisu dariku. Aku berkata padanya bahwa aku tidak punya, namun suatu ingatan mendesakku. Rasanya, di dalam tas yang kupegang ini memang ada tisu, namun aku tidak yakin. Sambil berjalan menuju lift, akupun mengaduk-aduk isi tasku, mencari tisu.

Aku terkesiap. Tisu itu memang kutemukan, namun aku sama sekali tidak bisa menemukan Blackberry-ku! Cepat-cepat, aku serahkan tisu itu pada temanku, kemudian memohon padanya untuk menelepon ke hpku. Ia pun melakukannya, dan aku tak merasakan getaran Blackberry-ku sama sekali. Teman-temanku mulai bertanya apa yang terjadi, dan sambil menjawab pertanyaan mereka, benakku menerawang mencari-cari. Di mana? Di mana terakhir kali kulihat Blackberry itu? Nyaris seketika, aku mendapatkan jawabannya. Bioskop!

Tepat pada saat itu, pintu lift terbuka. Tanpa pikir panjang, akupun lari ke luar, diikuti oleh teman-temanku. Aku menceritakan kepada mereka apa yang menjadi dugaanku, dan mereka setuju untuk membantuku. Rasanya seperti seabad lamanya menunggu lift yang akan membawaku ke lantai bioskop lagi.

Saat aku tiba di lantai tempat bioskop berada, aku langsung berlari menuju studio tempat kami menonton tadi. Ada seorang cleaning service di sana, dan aku bertanya kepadanya. Ia menjawab, tidak ada hp yang tertinggal di tempat ini tadi. Seketika, lemaslah aku mendengar jawabannya. Mungkin Blackberry-ku sudah raib, entah diambil oleh siapa. Tiba-tiba, ada suara yang memanggilku. Seorang wanita petugas bioskop menghampiriku, bertanya ada apa. Saat mendengar jawabanku, ia mengangguk-angguk. Ia berkata, aku harus mencoba bertanya pada security di counter depan. Siapa tahu Blackberry-ku ada di sana.

Secercah harapan muncul di hatiku. Setelah mengucapkan terima kasih, akupun segera lari lagi ke depan. Sesampainya di sana, dengan napas yang masih tersengal, akupun bertanya pada seorang security di counter itu mengenai Blackberry-ku. Ia bertanya padaku tentang model dan ciri-ciri khusus Blackberry-ku itu, dan aku jawab apa adanya. Kemudian, dia menghela napas dan memberiku sebuah nasihat. Aku masih ingat dengan jelas setiap kata yang diucapkannya.

“Makanya, mbak. Kalau di bioskop, setelah selesai menonton, pastikan cek barang-barang yang dibawa. Hp mbak ada, mbak sungguh beruntung. Cobalah lain kali supaya nggak teledor. Kalau ada barang yang hilang kayak begini kan kita-kita juga yang repot, mbak.”

Saat itu, setiap kata seperti menamparku dengan keras. Aku memang teledor, namun aku sudah mendapatkan pelajaranku. Berkat bioskop, aku belajar tentang keteledoran. Berkat bioskop, aku belajar untuk tidak mengulangi keteledoranku itu, dimanapun aku berada.

2 komentar:

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!