“Nomor yang Anda tuju, sedang malas mengangkat telepon. Silakan datang ke rumahnya kalau ada perlu.”
“Ari! Ri, isi…”
“Beeep!”
Dan habislah pulsa terakhirku dengan biadab, di tangan Januari Setiawan.
Aku memaki pelan sambil memasukkan telepon genggam ke kantung. Anak itu gemar benar menguras pulsaku. Anak setan. Aku ke rumah itu sama juga bohong. Buat apa ada telepon kalau harus mengurus urusan dengan saling tatap muka. Pulsaku sudah ludes dan toko pulsa di sekitar sini sudah tutup.
Oh, tidak. Tidak ada kesialan yang terjadi. Hanya ada malam bertabur bintang yang teramat sangat sempurna.
Jadi ini adalah cerita dari anak perempuan beruntung yang baru saja selesai rapat OSIS. Rapat OSIS benar-benar menyedot umurku. Pulang sekolah selesai jam tiga sore dan sekarang lihat! Lihat jam berapa! Layar telepon genggamku bilang ini sudah sembilan lewat dua puluh. Terlalu luar biasa untuk ukuran anak SMA baik-baik yang biasanya sampai rumah sebelum waktu makan malam.
Hebatnya, orang tuaku sedang keluar kota dan tidak ada yang lebih menjengkelkan dari kekurangan pulsa untuk menelepon telepon rumah, cuma untuk sekadar memberikan alamat lokasi biar supir keluargamu bisa menjemput.
Kubanting tubuhku di halte depan sekolah. Biar tidak kelihatan kesepian, kukeluarkan lagi telepon genggamku. Buka-buka folder pesan atau apalah.
Ri, pulsa lima ribu. Thx.
Status: (masih) pending.
Isi SMS-ku setengah jam lalu. Operator sialan. Mau operator, mau Ari, sepertinya semua bekerja sama untuk membuang pulsaku sia-sia.
Harusnya tadi kuiyakan ajakan Helen pulang naik mobilnya. Ah dasar Karin sombong, ogah-ogahan segala. Sok tidak mau merepotkan. Akhirnya begini kan? Semua sudah pulang dan tinggal Karin. Seorang Karin yang duduk sambil memegang HP, padahal takut, tapi pura-pura sibuk.
Seorang pengendara motor dengan helm terpasang di kepalanya berhenti tepat di depanku. Jantungku berdegup keras. Gila. Jangan-jangan ini anak geng motor? Jangan-jangan preman? Jangan-jangan penculik anak SMA untuk dijual ke Vietnam? Dan sederet jangan-jangan lain yang berkelebatan di kepalaku. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang adalah memasang wajah galak dan tegas.
Sambil tetap sibuk memelototi layar ponsel. Padahal serius, tidak ada apa-apa di sana.
Aku mengutuk pembantuku yang tidak inisiatif menelepon majikannya. Kalau ada telepon dari rumah aku bisa kelihatan aman.
Orang di depanku itu duduk di atas motornya. Mengeluarkan ponsel dan menekan sejumlah tuts. Lalu ponselku bergetar. Ini horror, sebab di layarnya tertulis: private number.
Ini modus operasi baru…angkat tidak, ya?
Ma-masa sih yang meneleponku orang di depan sana? Maksudnya…kalau itu orang baik, itu sopirku, buat apa dia telepon segala. Dan buat apa pakai private number? Tapi ini kan belum tentu orang yang di depan. Siapa tahu yang memanggil ini supirku. Pakai warnet. Gosh. Ambil resiko?
Reject.
***
“Nomor yang Anda tuju sedang sibuk, silakan tinggalkan pesan setelah nada berikut.”
“Ah, Karin. Ini gue, Ari. Iya, yang di depan lo pake helm itu gue. Yaudah sini, lo denger kan suara gue? Buruan sini naik.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!