Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 12 Februari 2011

Semburat


oleh Ellena Ekarahendy | @yellohelle | the-possibellety.blogspot.com

Kala itu senja, dan yang kubawa kembali ke rumah adalah peluh dan keluh. Bagaimana harus kusampaikan padamu? Dalam kesenyapan yang menyambutku pulang, seketika enggan aku bicara. Sebentar aku melongok ke balik pintu kamarmu, ingin sekedar mengucap “Aku pulang”, tapi kamu hanya mematung di depan cermin, duduk dalam diam sambil menyisir rambut. Wajahmu malah sendu, seperti biasa. Dan di antara senandung-senandung sederhana yang kamu gumamkan, kudengar sepi; jadi kubiarkan rindu membawa aku memelukmu dari belakang.

“Loh, sudah pulang?”, tanyamu sambil meletakkan sisir yang penuh dengan rambut yang sudah melemah dimakan usia.
“Iya, Bu. Ada proyek yang bisa dikerjakan di rumah, jadi kupikir akan lebih baik jika aku cepat pulang. Biar Ibu ada teman bicara di rumah.”

Ada bias kemerahan dari cahaya petang menyusup dari jendela yang menjadi pengalih tatapku selagi melarikan diri dari penenggelaman diri lewat matamu yang melemahkan. Sambil menelan ludah aku melonggarkan ikatan dasi yang mendadak terasa mencekat tenggorokan, atau mungkin hanya saluran respirasiku saja yang menggemakan gelisah terlalu liar. Ah. Terpaksa aku menarik bangku untuk duduk di sebelahmu, ketika tangan tua dengan keriput-keriputnya merengkuh telapak tanganku.
Tadinya kukira akan ada kecurigaan yang tak bisa ditahan, tertumpah dalam pertanyaan-pertanyaan yang hanya akan terjawab oleh kegagapan.
“Baguslah kalau begitu. Ibu masak makanan kesukaanmu untuk malam malam.”
Namun kamu hanya melempar senyum. Sama seperti biasanya, seolah firasatmu tak membisiki apa-apa.
Pada lekungan itu aku tenggelam.

Kusaksikan beban-beban kehidupanmu lewat gurat-gurat yang tercipta dari lengkungan kedua bibirmu. Beban-beban akan masa lalu yang tidak bisa dikoreksi. Ibu, ibu. Andai memang diperbolehkan, kenapa tidak kita bagi bersama sesak yang kamu bawa di sepanjang usiamu? Bahkan dalam senyuman yang kamu torehkan, pikiranku tetap terbawa terbang pada pilu yang terironi. Matamu yang mengapur menyelami kelelahan pandangku. Matamu masih cantik. Kupikir itu yang menjadikan mereka enggan mencabut label dari padamu, enggan membiarkanmu memberi koreksi pada hari-harimu yang dilalui oleh lalai dan ketergesa-gesaan.
Tapi senyummu yang membuat rindu itu tak menurun padaku. Sial. Mereka bilang yang kubawa adalah senyum ayah. Iri juga aku, kenapa pada lekukan yang meluruskan segalanya itu, ayah harus terjelmakan. Mungkin memang benar kata orang, bhawa di balik setiap keluarbiasaan, ada ironi yang membangunnya. Tapi kenapa harus ayah? Jalang yang kubenci, musuh yang tak pernah kutemui.
Ayah adalah dusta, dan mereka menyebut Ibu murah. Kemudian kalian terjebak dalam kontrak-kontrak yang mereka beri label zinah, menghasilkan gen yang mereka terka akan menjadi sia-sia: aku. Tapi kemudian kamu meninggalkan kemuraman masa lalumu, meski noda tidak bisa kamu lepaskan, terbawa sampai akhir hayat. Tak apalah. Hidup adalah kumpulan bising cerita yang enggan diutarakan, bukan? Karena aku akan menjadi saksi bahwa dari kisah yang tertimbun dari ketabuan bisa menjadi pijakan akan keberhasilan.

Tapi itu adalah teori yang aku ciptakan dalam utopiaku sendiri, yang sayangnya tak pernah aku wujudkan. Kadang kupikir bahwa hidup semata kumpulan pertanyaan yang enggan disampaikan, yang tersimpan di dalam pikiran, lalu berubah wujud menjadi kepercayaan personal sebagai asumsi subyektif yang cenderung mematikan. Namun itu tidak kulihat dari senyummu, Bu. Kuartikan mereka sebagai bahasa yang bicara dalam diam, untuk kita menyaksikan cinta yang terjelma dengan ajaibnya.
Tapi senyummu yang tak pernah mencekung bersama air mata yang sudah tak pernah aku saksikan, malah membawa aku pada asumsi yang tidak bisa aku tahan. Kurasa palsu telah menjadi bagian dari hipnosimu pada buah hati yang enggan kamu lukai. Jika itu menyenangkanmu, tetap biar bertengger saja senyummu. Pun aku mencintaimu karena itu. Bu, betapa aku rindu untuk terus menghabiskan waktu denganmu sampai menit-menit kita berakhir.

Namun aku enggan membawa terus membawa dusta ketika nanti tiba masa dimana kita tidak lagi sempat berbagi cerita. Rasanya Dia mengingatkanku untuk mengungkap padamu hari ini, hanya caranya saja yang semena-mena. Tidak bisa aku kembalikan lagi seperti semula.
“Bu, aku senang menjadi anak Ibu,” kataku. Meluncur begitu saja, menyisakan kekagetan pada diriku sendiri.
Ibu masih tersenyum. Ibu tolong hentikan. Aku ingin bicara.
“Kalau begitu, Ibu tidak pernah salah untuk tetap percaya kamu akan menjadi kebanggaan.”
Aku berpura tidak mendengar. Semakin kuresapi katamu, semakin aku menekan balik pengakuan yang ingin aku bawa.

“Mereka bilang, orang tua mendidik anaknya sebagai pengabdian. Sebagian membesarkan anaknya, agar pada buah hati mereka itulah, proyeksi mimpi mereka yang tak tercapai bisa diwujudkan.”
Ibu menggenggam tanganku semakin erat, dengan senyuman yang menempel semakin erat juga di dalam kepalaku. “Sekarang pun kamu berhasil menjadi akuntan seperti cita-cita Ibu. Semoga kamu tidak marah kalau ternyata kamu juga jadi proyeksi ibu.”
Asal bukan jadi proyeksi ayah, kataku dalam hati. “Tapi bagaimana kalau stigma yang terproyeksi, Bu? Apakah Ibu akan marah?”
Alismu melengkung, menambah jelas kerutan di dahimu. Ibu tak bertanya, tapi senyumannya mempersilahkan aku melanjutkan. Sesak, kulepas dasi untuk sekedar mengambil lebih banyak oksigen.

“Jabatanku tak tinggi, Bu. Sementara kita, meski hanya hidup berdua, tetap harus menghabiskan banyak uang pada keperluan kita, serta pengobatan diabetes Ibu.”
Ibu mengangguk. Masih menggenggam tangan dan tersenyum. Kedua matamu menyala, bertanya-tanya.
“Dengan demikian, dengan sangat terpaksa aku meraup rupiah dengan jalan yang lebih tepat di sela kesibukanku yang tak berbuah apa-apa. Dan Bu, nilaii dan norma harus aku lupakan.”
Mata Ibu membesar. Senyumannya menjadi katupan bibir yang datar.
“Pada malam-malam aku tak pernah pulang, kubiarkan aku mengabdi pada realita, Bu. Mereka menganut hukum rimba, Bu, dan aku bertumbuh dalam liar. Dan di situlah terpaksa kubiarkan masa lalu yang kutahu Ibu berusaha begitu keras untuk lupakan, harus kuproyeksikan dalam individuku. Untuk menghidupi kita. Dan ini bukan salah Ibu. Tapi kuharap Ibu tak marah.”
Mata ibu nanar. Bibirnya gemetar.
“Karena meski harga diri ketika dikomodifikasikan tidak menghasilkan hasil yang setimpal, tapi tetap menghasilkan nominal yang luar biasa di rekeningku; juga mengefisiensi waktu dan tenaga, jauh lebih cepat menjawab kebutuhan kehidupan konsumsi kita.”
Ibu membuka mulut ingin bicara, tapi tak kudengar suara apa-apa. Sekarang tangannya yang masih menggenggamku yang gemetar.

“Ibu, maafkan aku. Karena tetap kurpercaya bahwa surga ada di bawah telapak kaki Ibu, harus kusampaikan ini pada Ibu. Tak tenang aku membawa rahasia sementara Ibu member cinta tanpa meminta apa-apa. Tapi aku sudah tidak peduli surga. Pada tempat dimana senyum Ibu bisa selalu menyambutku pulang, di sanalah aku ingin berada.”
Gelisah aku melihat ibu yang bersusah payah buka suara. Ketika aku ingin melanjutkan bicara, Ibu menutup mulutnya lagi. Kemudian pandanganku buram karena air mata yang mengambang. Sekarang aku yang tak bisa bersuara.

“Bu, bukan itu yang ingin kusampaikan. Aku tidak masuk kerja hari ini. Aku pergi mengunjungi dokter. Dan Ibu, tolong maafkan aku.”
Ibu mencengkeram tanganku. Sakit. Mungkin firasatnya telah membisiki sesuatu. Bibir bawahnya memerah karena digigit terlalu keras.

“Kata dokter tadi sore, Bu, aku positif.”
Ibu menatap, masih dalam diam.
“HIV AIDS.”
Aku menunduk malu.
Namun kurasakan tangan kirinya melepas tanganku, mengangkat daguku, memaksa aku untuk menjadi semakin hina di depan matanya. Kupikir akan ada kekecewaan yang berakhir dengan tamparan keras di pipi, namun yang kutatap di wajahnya menampar lebih menyakitkan.
Mata ibu memang nanar, namun bibir tipisnya melengkung. Ibu tersenyum, tetap dengan senyuman yang membawa aku pada tanda tanya. Aku enggan bertanya. Kuresapi dalam-dalam senyumannya. Aku tak kuat untuk terisak ketika kusaksikan air mata menetes pelan ke atas bibirnya yang masih melengkungkan senyuman.
Dalam hening itu kudengar hatinya menjerit. Dan semburat senyum yang dipasangkan di wajahnya tetap semu seperti biasanya. Tak berani kutatap. Kuhabiskan saja air mata di ujung kakinya, biar kepalsuan tidak menghukum aku lebih berat dengan senyumnya yang menggetirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!