Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Sabtu, 12 Februari 2011

A Stranger, A Smile


Oleh: Nadya Nabila | @winterfireworks

Langkah kakinya hampir tak terdengar. Seperti ninja. Seperti hantu.

Kadang – kadang ia memang merasa seperti hantu, berkeliaran di koridor sekolah begini. Tanpa teman, sendirian. Tanpa tujuan dan tanpa niat apapun pada setiap langkahnya. Ditambah lagi tubuhnya yang kian lama kian kurus lagi pucat plus rambut hitamnya yang menggerai panjang hingga pinggangnya tanpa pernah sekalipun terlintas di benaknya untuk menguncirnya membuat ciri – cirinya makin mirip lagi dengan makhluk halus pengganggu macam kuntilanak dan antek – anteknya.

Ekspresi yang disetel di wajahnya pun rasaya hanya itu – itu saja. Senyum terpaksa, tawa hambar yang ganjil, sorot mata kosong yang menerawang, bibir yang lebih sering ditarik membentuk garis lurus tanda tak berkenan. Tampang default-nya memang begitu, ia biasa berkilah jika ditanya perihal lengkungan senyum yang tak kunjung ditampakkannya bahkan disaat ia seharusnya tertawa terbahak – bahak. Ekspresi tanpa ekspresi. Tak terdefinisi.

Ha. Buat apa Renata harus tersenyum, coba? Memangnya ia orang gila, yang senyam – senyum tanpa sebab yang jelas, eh?

Ya, benar. Tidak ada alasan baginya untuk tersenyum.

Hidupnya berantakan—tapi bukan karena dihancurkan seseorang. Karena hidupnya memang sudah tak berbentuk dari sananya.

Keluarganya sama sekali tidak bisa diharapkan untuk memberikan—apa namanya?—kehangatan, bimbingan, canda tawa, atau apapunlah. Bukan kehangatan yang menunggunya saat ia pulang ke rumah, malah caci maki yang sengit. Frekuensi bertengkar papa dan mama bahkan lebih sring daripada frekuensi orang diare bolak – balik ke kamar mandi. Saling lempar – tangkap kesalahan layaknya sinetron murahan, mempermasalahkan kesalahan – kesalahan kecil sepele yang seharusnya bisa dimaafkan lalu diabaikan begitu saja. Bukannya terus saja dililit dan diputarbalikkan hingga menjadi benang kusut yang tak punya harapan untuk bisa terurai.

Lalu adiknya? Lebih parah. Makhluk apatis itu seakan hidup di dunia lain, menciptakan akuarium imajiner yang membatasi dunianya dengan dunia orang – orang awam di sekitarnya dari balik pintu kamarnya yang selalu tertutup.

Bagaimana dengan teman – temannya, kau pasti bertanya.

Ha. Teman apa? Ia tidak punya sama sekali. Tatapan datar dan kosong yang selalu saja ditujukkannya membuat mereka terlalu takut untuk mendekat, bahkan untuk menanyakan ada apa dengannya. But they moved on, membiarkan dirinya berkubang dalam pikirannya sendiri. Seorang sunyi di antara kelakar – kelakar ramai mereka. Orang terakhir yang dipilih saat kerja kelompok, sosok yang paling jarang disebut atau diajak dalam pembicaraan.

Hampir tak kasat mata. Seperti hantu.

Seringainya tersamar, ketukan sol sepatunya pada lantai keramik koridor sekolah terdengar nyaring di telinganya sendiri.

Tekadnya sudah bulat. Renata akan melakukannya hari ini. Hari ini ia akan—

mati. Well, karena ia sudah tidak punya alasan untuk hidup di dunia ini.

Lalu seperti apa sebaiknya kematiannya? Gantung dirikah? Minum racun? Memotong nadinya hingga darah segar menyembur keluar lalu menunggu hingga ia mati kehabisan darah sambil menikmati rasa perih menggigit pada pergelangan tangannya?

Apa sajalah. Yang penting Renata bisa mati. Selesai perkara.

Tepat di depan gudang sekolah, sekarang Renata berdiri. Dimana ia akan segera melaksanakan niatnya. Merengut nyawa dari tubuhnya sendiri. Helaan napasnya seakan mengucap selamat tinggal pada kehidupannya.

“...”

Pintu menjeblak terbuka, bahkan sebelum ia menyentuh pegangan pintu.

“Oh, hai.”

Renata terdiam.

Posturnya yang tinggi berdiri santai di ambang pintu. Satu tangannya memegang bola futsal yang tampak usang, tanda baru diambilnya dari gudang. Tatapannya pada Renata ramah, matanya yang sipit nyaris terpejam. Dua ujung bibirnya tertarik ke atas. Sesuatu yang  gadis itu kenali sebagai sebentuk senyum.

“Ngapain disini?”

Nada suara yang ramah, kata – kata kasual yang terdengar lebih tulus daripada doa yang dipanjatkan seorang hamba pada Tuhannya. Kata – kata baik hati yang baru sekali ini ditujukan kepadanya oleh seseorang yang bahkan belum pernah bicara kepadanya sebelumnya.

Dan senyum itu masih disana. Senyum yang dapat menaklukan gadis manapun yang ia mau.

Oh, bagus. Jantungnya berdetak tak karuan sekarang.

“Pergi aja yuk. Ngapain sih disini.”

Ia menariknya pergi. Dari gudang sekolah dan dari rencananya semula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!