Oleh Gisha Prathita (@geeshaa)
Kamukayakuya.tumblr.com
Ini sudah hari ketiga… dan senyummu belum merekah semenjak kejadian itu.
Kita bertengkar saat itu, aku lepas kendali. Mungkin kata-kataku terlalu keras, memekakkan telingamu, menyakiti hatimu yang begitu lembut. Padahal aku sama sekali tidak menyentuhmu, apalagi memukulmu.
Demi Tuhan, aku hanya emosi saat itu, dan kuakui semua terlalu berlebihan. Aku terlalu meledak-ledak. Aku hanya terlalu sombong untuk mendengarkan penjelasanmu. Logikaku mati—yang ada hanya kecemburuan yang meraja.
Yang kuingat semenjak pertengkaran hebat kita saat itu, kamu pergi meninggalkan aku, berlari sambil menangis… dan semenjak itu aku belum bisa lagi menyaksikan senyum yang terulas di bibirmu. Kamu boleh berbalik marah kepadaku, akan kuterima.
Terserah, bahkan jika kamu ingin menamparku hingga berdarah, aku siap merasakan sakitnya. Asalkan kamu bisa tersenyum lagi kepadaku saat ini. Tolong, aku merindukan senyummu itu, senyum terindah yang menangkan hatiku, selalu.
Tolong, senyumlah padaku. Sudah cukup hukuman yang kau berikan padaku. Sudah cukup juga hukuman dari-Mu atas pelanggaranku terhadap perintah, tidak bisa menahan emosi gila.
Aku bersimpuh di sampingmu saat ini, memohon. Aku bahkan mencium tanganmu berkali-kali. Kumohon, satu senyuman saja, Sayang. Aku benar-benar merindukan lengkungan merah indah di wajahmu itu.
Tuhan, apakah Kau sama marahnya dengan dia sehingga tidak kunjung memberikan maaf di hatinya untukku?
Aku selalu bertanya-tanya tentang itu. Bahkan setelah aku menjelaskan semuanya, meminta maaf, dan memohon-mohon kepadamu—kamu tetap tidak memberikan senyuman itu. Jangankan senyuman, bahkan sejak saat itu kamu belum mau berbicara lagi padaku. Apapun ucapanku, kamu selalu tutup mata, seolah tak mau dengar.
Kumohon, Sayang. Maafkan aku, tersenyumlah.
GREK!
Suara pintu kamarmu terbuka, seseorang memasuki kamar ini. Seseorang berbaju putih, pria—berumur sekitar 40-an. Ia lalu tersenyum ke arahku, ke arahmu juga.
“Hasil diagnosa menyatakan kekasih anda tidak mengalami gegar otak yang serius.” Pria itu kemudian memeriksa denyut nadi di tanganmu dengan santai. “Namun otaknya butuh waktu sampai bisa memulihkan kesadarannya secara penuh. Benturan keras akibat kecelakaan waktu itu cukup fatal, tapi untunglah, ia akan baik-baik saja.”
Mendengar penjelasannya, aku merasa mendapatkan angin surga. Rasanya, pertanyaanku sudah mulai terjawab, kamu dan Dia telah memaafkan kesalahanku. Aku kembali menggenggam tangan yang terkulai lemah di sisi tempat tidur rumah sakit itu, sambil berbisik, “Cepatlah siuman, Sayang. Aku merindukan senyummu.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!