Peringatan keras: setiap karya yang dimuat di Writing Session dilindungi UU hak cipta & penjiplakan pada karya tersebut memiliki sanksi!

Minggu, 23 Januari 2011

Baris Paling Belakang

Oleh : ellena ekarahendy(@yellohelle)
http://the-possibellety.blogspot.com/


Mungkin aku akan terbiasa untuk berbicara bukan lagi dalam keheningan, tapi juga dengan Keheningan. Aku ingat saat mata kita bertemu waktu itu. Satu, dua, tiga detik kita menyelami kelam iris kita masing-masing. Ganjil dan lucu. Sebagaimana sekarang ini : lagi dan lagi seperti ini. Aku tetap berakhir dengan tanda tanya – dan tentu saja, sebelumnya dimulai dengan duga-duga yang menyenangkan lalu tergeser oleh si Tidak Mungkin.



Keheningan berkata sebentar, “Aku tahu rahasiamu.”

“Apa?” jawabku.

“Kemustahilan yang kamu percayai.”

“Maksudmu?”

“Tetaplah mencari. Ini pertarungan, tapi sudah ada yang terkalahkan sejak ia dimulai. Kasihan,” ujarnya.


Sebentar aku geram dengan tingkahnya yang setengah-setengah. Lalu Hening melanjutkan, “Masa kini. Aku hanya akan mengingatkanmu tentang dimensi yang bisa kita laruti, di dalamnya kamu mengerti kenapa kamu hanya percaya pada kemustahilan, juga pada yang terkalahkan.”



Maka, padamu aku menyerukan kemustahilan yang kudengar dalam Keheningan. Kenapa kamu bertanya alasanku percaya? Kita terjebak dalam kata-kata yang tak kasat mata, dan Hening menginterpretasikannya kemustahilan, jadi kubawa padamu; meski masih kuserukan dalam diam.

Kuterka ini hanya perkara harapan-harapan yang pernah sama-sama manusia bangun, namun telah aku sadari kekliseannya, maka aku berhenti.



Katanya ini pertarungan. Bukan hatiku dan hatimu, kan? Mana bisa kita bertarung ketika kita sama-sama tak tersentuh? Jadi kubenamkan lagi kepalaku dalam genangan ingatan yang berantakan: tentang hari-hari yang kita lalui. Tidak pernah banyak. Hanya sesekali kita bertukar sapa, mengucap pikiran kita tentang dunia dan kompleksitasnya yang tak kita mengerti, dan kita sama-sama tahu betapa kita berambisi menaklukkannya. Hanya itu.

Lalu kita berlalu karena sebagai bukan siapa-siapa dan tidak membangun apa-apa. Hanya aku, dan juga ‘aku’ dalam pribadimu.

Memori? Ya kita memang memilikinya, tapi dalam deretan waktu yang bisa kujejerkan dalam kisi “Lupakan”, tapi tidak kulakukan. Mereka hanya fragmen-fragmen adegan yang terbengkalai.

Lalu kemudian aku ingat tentang bagaimana alam bawah sadarku bekerja dengan menyebalkannya: kunikmati kisah hidupmu dalam malamku, dan kamu terdengar seperti senandung kesayanganku. Betapa lucunya pikiran yang muncul terhadapmu ini.

Mungkin karena kita tumbuh dalam masa yang berbeda, ada tembok besar yang memisahkan kita. Ingin kurubuhkan. Bukankah katamu kita bukan lagi budak otoritas takhayul dan omong kosong? Kamu terus bicara tentang ketidakmustahilan dan kebebasan. Ingin sekali kukecap juga! Tapi selalu saja berakhir dengan kepercayaan tentang kemustahilan (yang akhirnya kusadari).



Tik. Tik. Tik.



Kita masih menatap dalam detik-detik yang mereka anggap adalah kosong. Aku menyukainya. Aku bisa mencandranya: potongan kata-kata yang sama-sama kita keluarkan dalam hembusan napas kita, dalam kedipan mata kita, bahkan dalam setiap kebekuan kita. Pencitraan yang tidak pernah sejelas ini sebelumnya.

Aku selalu suka bagaimana keheningan berbicara. Tapi kulihat ia akan bergegas.

“Aku akan pergi,” ujarnya. Aku mengangguk tahu. “Sudah kamu terka pertarunganmu?”



Aku terkikih. “Ya, aku menyaksikannya dalam kata-kata yang berterbangan dalam Dirimu; juga dalam ingatan-ingatan yang tak kusangka bisa tersimpan. Betapa manisnya. Ada rentetan cita-cita yang kudaraskan. Tak kutangkap sebelumnya, namun kumenyaksikannya turut berbaur barusan, ketika mata ku dan nya tenggelam lebih dalam.”

“Ketika aku pergi, mungkin kamu harus memenangkannya kali ini, sudah terlalu lama ia kau paksa berdiri di baris paling belakang euphoria keheningan kalian berdua.”



Sebelum kujawab, Keheningan pergi. Kutangkap kata sepenggal-penggal: mereka yang terkalahkan dalam keheningan dan ketakutanku akan keklisean. Kali ini harus kumenangkan selagi hati kami (seolah) bicara dalam tatapan tak terdefinisi.

“Hey,” kataku. Dan kamu menjawabnya dengan seruan yang sama. Tersenyum. “Ada kata-kata yang terkalahkan, tertinggal di baris paling belakang.”

Kamu mengernyit, “Maaf?”

Satu tarikan nafas. Aku mengulurkan tangan. “Megan. Siapa namamu?”



Ah, kukalahkan lagi. Dalam kemustahilan dan kekonyolan ini sekali lagi aku menjadikannya kalah “Padamu dan kehidupanmu yang separuh-separuh aku kecap, sisakan aku tempat di masa depanmu. Kita bisa berbagi kehidupan, bukan?”. Kusesakkan lagi di baris paling belakang daftar kata-kataku. Kusimpan sendiri, biar ia menang di waktu yang lebih manis. Sekarang, ijinkan aku dulu menjejakkan kaki dalam ke-apa-anmu, bukan hanya dalam heningmu; biar kita tak lagi jadi bukan siapa-siapa, dan biarkan kita membangun apa-apa. Boleh?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!