“Uang kertas pecahan Rp50.000 yang nomor serinya ganjil semua sebaiknya disimpan saja. Kalau suatu saat dia dipakai, dia akan kembali lagi.”
***
Ia berdecak lagi. Di hadapannya tergeletak beberapa lembar uang Rp10.000 dan Rp5.000 serta beberapa uang logam. Hanya itu yang tersisa. Sedangkan akhir bulan masih seminggu lagi, dan ia harus bayar hutang Rp25.000 pada temannya.
Ia menghela nafas dalam-dalam. Apa yang harus ia lakukan? Minta tambahan dari orang tuanya? Ah, tidak mungkin. Bulan kemarin dia sudah melakukan itu. Dia tidak tega kalau harus terus-terusan seperti itu pada orang tuanya.
Ia mencoba mencari di sela-sela kamar kosnya. Di bawah kasur, di balik karpet, di belakang lemari, di dalam laci. Lumayan. Ia berhasil mengumpulkan Rp1.700 dalam bentuk uang logam.
Tapi itu masih sangat kurang.
Ia termenung lagi. Lama sekali. Sampai akhirnya ia teringat sesuatu.
“Uang kertas pecahan Rp50.000 yang nomor serinya ganjil semua sebaiknya disimpan saja. Kalau suatu saat dia dipakai, dia akan kembali lagi.”
Ibunya pernah mengatakan itu. Ia memang menyimpan selembar uang kertas Rp50.000 bernomor seri ganjil di suatu tempat dalam laci lemarinya.
Apakah ini saatnya untuk mengeluarkan uang itu? Pikirnya.
Cepat-cepat ia bangkit dan menarik keluar laci lemarinya. Di mana ya? Bisiknya dalam hati. Diaduk-aduknya isi laci itu, sampai ia menemukan sebuah dompet jelek berwarna putih. Dari dalamnya nampak selembar kertas berwarna biru nongol sedikit.
Ini dia!
Uang itu agak lembab karena sudah lama dibiarkan di situ. Dibaliknya dan dilihatnya nomor seri yang tertera pada uang itu:
GDP313519
Ia mengangguk dan melemparkan dompet putih itu kembali ke dalam laci. Ditutupnya laci itu dan dimasukkannya uang Rp50.000 itu ke dalam dompetnya.
***
“Atin... Nih, aku bayar yang Rp25.000,” katanya sambil menyodorkan uang Rp50.000
“Oh. Ini kembaliannya.” Atin menyodorkan selembar uang Rp20.000 dan Rp5.000
“Makasih ya, Tin? Maaf lama bayarnya. Hehe...”
“Ya udah sih nyantai aja.”
***
Ia berjalan keluar dari sebuah minimarket dekat tempat kosnya. Dalam kantung plastik yang ia bawa ada beberapa butir telur, sekilo gula, dan beberapa peralatan mandi. Untung dia ingat pada uang Rp50.000 itu, sekarang dia bisa belanja kebutuhan sehari-hari menggunakan kembalian dari Atin tadi.
Ketika ia berjalan di gang sempit menuju kosannya, tiba-tiba ia diserempet oleh seorang pengendara sepeda motor. Kantung belanjaannya melayang dan masuk ke parit. Telur-telurnya pecah, gulanya larut dalam air parit. Padahal uangnya sudah habis. Ia ingin sekali menangis.
“Aduh, Teh. Teteh gak apa-apa?” kata si pengendara sepeda motor yang tadi menyerempetnya.
Ia menggeleng. “Gak apa-apa, Kang. Tapi itu belanjaan saya...”
Si pengendara sepeda motor itu merogoh sakunya dan menyodorkan selembar uang Rp50.000 padanya. “Ini, Teh. Diambil aja. Saya minta maaf. Saya lagi buru-buru, Teh.” Sambil berkata seperti itu, si pengendara sepeda motor cepat-cepat pergi lagi.
Eh, brengsek! Malah pergi..., pikirnya. Tapi gak apa-apa deh. Toh aku juga gak kenapa-kenapa.
Dipandanginya uang Rp50.000 yang diberikan si pengendara sepeda motor padanya. Padahal total harga belanjaannya tidak segitu.
Iseng-iseng, diceknya nomor seri uang itu:
GDP313519
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SANGAT DIANJURKAN untuk saling mengapresiasi atau mengkritik tulisan satu sama lain. Kita sama-sama belajar ya!